OLEH : Muhammad Qadri*
Demokrasi Indonesia tidak cukup hanya dijaga pada saat Pemilihan Umum berlangsung.
Pengalaman penyelenggaraan pemilu dan pemilihan kepala daerah selama ini menunjukkan bahwa kualitas pemilu sangat bergantung pada kesadaran kolektif masyarakat dalam menjaga integritas proses demokrasi.
Di sinilah peran strategis pengawasan partisipatif menjadi instrumen vital dalam memperkuat ekosistem demokrasi kita.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Sulawesi Tengah, bersama Bawaslu di 13 Kabupaten/Kota, memiliki tanggung jawab konstitusional yang tidak terbatas pada masa tahapan pemilu semata.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023, Bawaslu memiliki mandat berkelanjutan dalam pencegahan pelanggaran dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu termasuk di masa non-tahapan seperti saat ini.
Paradigma Baru: Dari Represif ke Preventif
Dinamika politik lokal Sulawesi Tengah yang dinamis mengajarkan pentingnya pergeseran paradigma pengawasan.
Selama ini, pengawasan pemilu sering reaktif menunggu pelanggaran terjadi baru kemudian ditindak, namun seiring berjalannya waktu dari pemilu ke pemilu dengan berbagai evaluasi empiris yang dilakukan ternyata langkah pencegahan jauh lebih efektif dan efisien dilakukan.
Dinamika pelanggaran pemilu di Sulteng, mulai dari politik uang yang selalu menjadi isu strategis dan kini proses transaskinya bertransformasi ke arah yang lebih modern (digitalisasi), kampanye terselubung yang dikemas dalam bentuk bantuan sosial, hingga mobilisasi aparatur sipil negara (ASN) serta berbagai tren pelanggaran pemilu lainnya.
Dari semua dinamika tersebut sebenarnya bisa dicegah jika masyarakat memiliki kesadaran dan pengetahuan yang memadai.
Sebab, masyarakat yang melek terhadap potensi pelanggaran pemilu akan menjadi benteng pertama pencegahan pelanggaran.
Pendidikan Pengawas Partisipatif sebagai Investasi Jangka Panjang
Pendidikan Pengawas partisipatif yang diinisiasi oleh Bawaslu merupakan salah satu upaya strategis untuk membangun kesadaran dan keterlibatan aktif masyarakat secara kolektif dalam menjaga integritas penyelenggaraan Pemilu.
Melalui pendekatan ini, masyarakat didorong untuk berperan dalam dua aspek utama: pertama, menjadi perpanjangan mata dan telinga Bawaslu dengan melaporkan setiap dugaan pelanggaran yang mereka temukan di lapangan; dan kedua, berfungsi sebagai agen pencegahan di lingkungan masing-masing dengan turut mengidentifikasi, mengantisipasi, serta meminimalkan potensi terjadinya pelanggaran Pemilu.
Dengan demikian, pengawasan partisipatif dipandang sebagai instrumen penting dalam memperkuat kualitas demokrasi dan memastikan proses elektoral berlangsung secara jujur, adil, dan transparan.
Pengawasan partisipatif bukan hanya sekadar proyek temporer, ini adalah investasi sosial untuk membangun ekosistem demokrasi Sulawesi Tengah yang sehat dan berkelanjutan.
Bayangkan jika di setiap Desa di 13 Kabupaten/Kota se-Sulteng ada kelompok warga/komunitas yang memahami hukum pemilu, yang berani melaporkan pelanggaran, yang aktif mengedukasi tetangganya, dan tak henti dalam menggaungkan pesan-pesan untuk mencegah pelanggaran pemilu, maka kita sedang membangun benteng pertahanan demokrasi yang kokoh.
Hal ini diharapkan agar pemilu tidak hanya menjadi tanggung jawab penyelenggara semata, melainkan benar-benar menjadi ruang demokrasi yang dimiliki dan dijaga oleh seluruh rakyat.
Keterlibatan masyarakat diharapkan dapat mengatasi keterbatasan sumber daya manusia dalam pengawasan, sekaligus memperkecil peluang terjadinya pelanggaran.
Selain itu, program ini bertujuan meningkatkan kesadaran kolektif masyarakat terhadap pentingnya proses pemilu yang bersih dan transparan, sehingga tumbuh semangat kepedulian untuk berpartisipasi aktif dalam pengawasan dan pelaporan setiap pelanggaran yang ditemukan.
Target peserta 0endidikan pengawas partisipatif beragam yang diantaranya pemuda dari organisasi kepemudaan, organisasi masyarakat, mahasiswa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama, yang mana keragaman peserta ini penting untuk memastikan pesan integritas pemilu menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Ini adalah program flagship Bawaslu di masa non-tahapan.
Program ini dirancang untuk menghasilkan kader-kader pengawas partisipatif yang tersebar di 13 Kabupaten/Kota di Sulteng, hingga ke tingkat kecamatan dan Desa/Kelurahan.
Kurikulum pendidikan disesuaikan dengan konteks lokal. Peserta tidak hanya dibekali pengetahuan hukum kepemiluan, tetapi juga pemahaman tentang dinamika politik lokal Sulteng, pola-pola pelanggaran yang sering terjadi di daerah, hingga strategi komunikasi yang efektif dengan mempertimbangkan keragaman bahasa dan budaya di Sulteng.
Urgensi di Masa Non-Tahapan
Masa non-tahapan adalah momentum emas untuk membangun kesadaran kolektif.
Ketika masyarakat sudah teredukasi sebelum tahapan dimulai, mereka tidak akan mudah termakan isu SARA, berita HOAX, dan tentunya secara tegas menyatakan menolak segala bentuk aktifitas politik uang, serta tidak akan diam ketika melihat adanya penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan elit politik.
Dengan membangun kapasitas masyarakat sebagai pengawas yang kritis dan mandiri sebelum tahapan pemilu, risiko manipulasi politik yang bersifat destruktif seperti polarisasi berbasis SARA, persebaran informasi palsu, dan praktik black campaign dapat diminimalisir secara signifikan.
Pendekatan ini sejalan dengan teori partisipasi demokratis yang menyatakan bahwa kualitas demokrasi sangat bergantung pada tingkat literasi politik dan kesadaran kolektif masyarakat sebagai pilar utama kontrol sosial terhadap penyelenggara pemilu dan elit politik.
Membangun Ekosistem Demokrasi Sulteng yang Berkelanjutan
Pengawasan partisipatif adalah tentang membangun ekosistem demokrasi yang berkelanjutan.
Ini bukan proyek jangka pendek yang berakhir setelah satu periode pemilu, melainkan bagian dari ikhtiar Bawaslu Sulteng dalam membangun investasi sosial yang akan terus memberikan return dalam bentuk kualitas demokrasi yang lebih baik.
Ketika masyarakat memahami bahwa mereka adalah pemilik sejati kedaulatan, mereka akan menjaga demokrasi dengan penuh tanggung jawab.
Ketika masyarakat menyadari bahwa pemilu yang berkualitas adalah hak mereka, mereka akan menolak segala bentuk manipulasi, dan ketika masyarakat terorganisir dalam jejaring pengawasan partisipatif, tidak ada ruang bagi praktik-praktik curang untuk tumbuh subur.
Penutup: Panggilan untuk Berpartisipasi
Demokrasi yang kuat akan menghasilkan Pemilu/Pemilihan yang berintegritas, jujur, adil dan bermartabat.
Tentunya untuk mewujudkan semua itu harusnya menjadi tanggung jawab bersama.
Tidak ada lembaga sehebat apapun yang mampu menjaga demokrasi sendirian tanpa dukungan aktif warga negara.
Oleh sebab itu, Bawaslu Sulteng tak pernah berhenti untuk selalu mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terlibat aktif dalam pengawasan yang partisipatif.
Bagi pemuda, ini adalah kesempatan untuk berkontribusi nyata bagi negara.
Bagi akademisi, ini adalah arena untuk mengaplikasikan disiplin keilmuan dalam melihat fenomena dan berkontribusi dalam kemajuan demokrasi.
Bagi tokoh masyarakat, ini adalah panggilan untuk menjadi teladan.
Dan bagi setiap warga negara, ini adalah kewajiban konstitusional yang mulia.
Mari kita kawal bersama demokrasi Indonesia dan Sulawesi Tengah pada khususnya.
Karena demokrasi yang kuat dimulai dari warga yang sadar dan berpartisipasi aktif, dan pengawasan pemilu yang efektif dimulai jauh sebelum hari pemungutan suara dimulai dari kesadaran yang kita bangun hari ini, di masa non-tahapan.
*Staf Bagian Pengawasan Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah

