Di Palu dan di Sigi hampir tiap hari kita liat pengemis yang kita tau dorang ini komunitas/suku terdalam. Banyak orang bilang “pengemis dari gunung”. Padahal sebenarnya dorang mungkin tinggal di kaki-kaki bukit, tidak juga barangkali di gunung sekali.
Dorang ini beda dengan pengemis yang punya tempat bamangkal. Bukan kayak di lampu merah atau duduk di depan pintu swalayan. Dorang ini datang dari rumah ke rumah, dari kios ke kios, dan dari orang badiri ke orang yang badiri. Dan biasanya bikin kaget, so di belakang.
Kalo kita badiri atau duduk te jauh dari dekatnya dorang. Dorang punya insting mengemis langsung jalan. Datanglah dorang baangkat sebelah tangan, baminta uang. “Pombeli makan!” dorang bilang.
Kalau tidak ada uang, dorang agak lama di situ. Bahkan ada yang bertahan sambil mengomel-omel. Kalau sudah dikase ada yang baterimakasih ada juga yang kadang baminta yang lebih. Misalnya,”Ada sarung!” Hamaa…
Sebenarnya banyak masyarakat yang resah. Apalagi dorang babawa parang (padahal parang itu cuma aksesoris dorang pe budaya). Tapi ada juga yang lama kelamaan kayak so berdamai juga dengan suasana itu. Nah, dorang ini, karena suku terdalam, jadi secara fisik berbeda dengan kehidupan normal biasa di kampung atau kota.
Mungkin ada yang merasa dorang itu kayak tidak normal kehidupanya. Hal itu, karena dorang keliatan cuma bajalan, baminta, bajalan, baminta, bajalan, baminta dan jarang bicara antar dorang, baru penampilannya dorang, maaf, aga kusam, padahal dorang ini sama kayak kita. Berkomunikasi satu sama lain. Kadang bercanda antar dorang, perempuannya bagosip juga, bacerita hal-hal yang penting menurut mereka. Dorang juga tau bahitung, kayak bahitung uang, dengan bahitung waktu. Dorang juga tau perhitungan bulan, makanya, kalau Ramadhan, semakin banyak dorang turun.
Sebenarnya dorang begitu karena “miskin struktural” kalo orang Kaili Kontemporer bilang. Dorang terhambat dari sistem sosial, ekonomi, dan politik. Dorang tidak barasakan sekali akses ke layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan administrasi kependudukan. Ini yang babatasi kesempatannya dorang untuk baakses sumber daya dan batingkatkan kualitas hidupnya dorang.
Sepertinya pekerjaan mengemis di dorang itu, kayak so jadi budaya, karena diikuti sama komunitasnya dorang. Bahkan kalau dorang libatkan terus anaknya, dikhawatirkan so mo jadi warisan budayanya dorang. Haidodo!
Mungkin di dorang tidak punya hak tanah, atau ada sawah tapi tidak menghasilkan lebih, akhirnya dorang turun dari “gunung”, pigi mengemis. Menurut Kaka Ibelo, pada dasarnya dorang itu, kayak kehidupannya kita pada tahun 90-an atau 80-an. Cuma bedanya kita dulu, kehidupan merata, tidak merasa kaya sekali dan tidak merasa miskin sekali, maka mental kita dulu memanfaatkan lahan di sekitar dan tidak meminta kayak dorang sekarang. Sekarang kayak langit bumi kehidupan kota/desa dengan yang ada di pedalaman/gunung. Itulah dorang anggap sebagai peluang cari uang.
Jarang sekali kita liat pemerintah baperhatikan dorang ini. Mungkin ada, tapi cuma seremoni, karena betul-betul tidak nampak ada peran pemerintah batangani dorang. Jadi harapannya kita dengan Wali Kota Palu atau Bupati Sigi yang baru terpilih, perhatikan ranga dorang itu. Kase dorang peakses layanan dasar yang layak (pendidikan yang lebih utama, kesehatan dan catatan administrasi kependudukan). Kasian juga sebenarnya dorang itu. Berimba? Tabe!