PALU – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) RI Perwakilan Sulawesi Tengah (Sulteng) menilai adanya sistem tebang pilih yang dilakukan aparat kepolisian dalam menertibkan Pertambangan Tanpa Izin (PETI), khususnya yang ada di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo).
Ketua Komnas-HAM RI Perwakilan Sulteng, Dedi Askary, Kamis (28/01), mengatakan, di satu sisi, penertiban yang dilakukan jajaran Polres Parimo terhadap aktivitas PETI di wilayah Kecamatan Moutong, memang patut diapresiasi.
“Namun di sisi lain, sesungguhnya membuat kita miris dan prihatin atas apa yang telah dilakukan oleh Polres Parimo. Bagaimana tidak, PETI yang begitu jauh dengan menempuh jarak ratusan kilometer dan menghabiskan waktu kurang lebih enam sampai tujuh jam perjalanan, seketika bisa ditertibkan,” ujarnya.
Sementara, kata dia, pengelolaan PETI yang hanya diujung hidung, tepatnya di Desa Kayubuko dan Salubanga, maupun Buranga, justru dibiarkan terus melakukan eksploitasi sumber daya alam emas.
“Ini sesuatu hal yang mengherankan dan sangat memprihatinkan. Tindakan ini nyata merupakan praktek tebang pilih. Ini nyata tindakan yang parsial atau memihak. Saya kira ini satu kekeliruan besar, jelas ini sangat jauh dari semangat institusi kepolisian yang Promoteur apalagi semangat presisi sebagaimana konsep yang hendak diterapkan dalam penataan institusi yang ada di republik ini,” tutur Dedi.
Ia menambahkan, perusahaan yang memiliki izin operasi saja tetap ada kerusakan dan pencemaran yang terjadi jika tidak diawasi secara ketat, termasuk risiko kecelakaan kerja dan kematian.
Sebab, kata dia, kecelakaan akibat kelalaian perusahaan, dalam instrumen hukum terkait pengelolan pertambangan, maka pihak perusahaan atau pemilik usaha diancam dengan tindak pidana.
“Hemat kami, tidak ada alasan atau dalil apapun yang membenarkan praktik PETI. Lebih banyak mudharatnya daripada maslahatnya. Maslahatnya hanya dirasakan segelintir orang tertentu utamanya pemilik modal atau cukong. Sementara dari sisi pendapatan daerah, nol besar,” tegasnya.
Sebab, lanjut dia, pemodal tidak menitip sejumlah dana rehabilitasi dan dana pasca tambang ke pemerintah. Bahkan, kata dia, sudah dapat dipastikan terjadi laju kerusakan hutan dan lahan serta pencemaran yang luar biasa.
“Semua itu bentuk pelanggaran hukum dan itu adalah tindak pidana, baik dari pendekatan sebagaimana yang diatur dalam berbagai instrumen hukum tentang pengelolaan SDA sektor pertambangan, maupun dari pendekatan lingkungan dan kehutanan,” ujarnya. (RIFAY)