POSO – Pemilihan Umum (Pemilu) sedianya menjadi sarana konstitusional untuk menyeleksi dan memilih orang-orang terbaik, terpercaya dan kompeten yang diharapkan mampu memperjuangkan kepentingan masyarakat dan mewujudkan kesejahteraan, baik di pedesaan maupun di kota.
Pemilu yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan juga diharapkan melahirkan pemimpin yang memiliki komitmen tinggi pada perjuangan kebangsaan, ke-Indonesia-an dan kerakyatan.
Namun di sisi lain, Pemilu juga menjadi arena kontestasi memperebutkan kekuasaan yang masih membutuhkan biaya tinggi.
“Kondisi objektif pemilu kita memang masih mahal. Tingginya biaya politik dalam pemilu disebabkan karena biaya sosialisasi, kandidat, kampanye partai politik dan pembiayaan saksi saat pemungutan dan penghitungan suara di TPS,” ungkap Dr Sahran Raden, Ketua Divisi Sosialisasi dan Pendidikan Pemilih (Sosdiklih), Partisipasi Masyarakat (Parmas) dan Sumber Daya Manusia (SDM), Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng).
Hal ini disampaikan Sahran saat menjadi narasumber diskusi kepemiluan bertema “Pemilu 2024 Sarana Integrasi Bangsa” yang digelar KPU Kabupaten Poso, Selasa (08/11) tadi malam.
Di hadapan partai politik, ormas, OKP dan LSM, Sahran mengungkap penyebab lain tingginya biaya politik di Indonesia, yakni kondisi geografis yang tediri dari pulau dan daerah terpencil.
Tak hanya itu, Pemilu sebagai pekerjaan administratif juga memiliki sekelumit persoalan, seperti politik uang yang masih terus ada dalam setiap momentum pemilu.
“Politik uang terjadi pada saat kampanye, masa tenang, menjelang hari pemungutan suara dan pada hari pemungutan suara,” ungkapnya.
Persoalan lain adalah profesionalitas penyelenggara pemilu terkait ketaatan terhadap etika.
Ia menjelaskan, penyelenggara Pemilu diikat kode etik sebagai satu kesatuan landasan norma moral, etis, dan filosofis yang menjadi pedoman perilaku penyelenggara pemilu yang diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dalam semua tindakan dan ucapannya.
“Penyelenggara pemilu dipandang sebagai kategori profesional lantaran dituntut memiliki keahlian dan keterampilan yang spesifik di bidang kepemiluan,” ujarnya.
Bagi dia, penyelenggara pemilu tidak cukup independen, tapi juga profesional. Tidak cukup hanya memiliki pengalaman, tetapi ada keahlian dan pengetahuan.
“Karena sifatnya yang spesifik keilmuan dan keahliannya, tidak dimiliki oleh masyarakat umum, pekerjaan dalam kategori profesional ini perlu diawasi karena punya potensi disalahgunakan,” tuturnya.
Persoalan selanjutnya dalam pemilu adalah isu SARA dan politik idenfitas. Menurutnya, dua hal itu merupakan tantangan besar bagi demokrasi elektoral Indonesia di Pemilu dan pilkada.
“Polarisasi berbasis irasionalitas politik identitas yang diterjemahkan dalam bentuk kampanye jahat, berita bohong (hoax), fitnah, dan politisasi SARA menjadi potensi yang menguat dalam pemilu,” katanya.
Kedua hal itu, lanjut dia, dilakukan melalui platform media social dan ternyata jadi pisau bermata dua.
“Media sosial bisa menjadi medium luar biasa berkembangnya kampanye jahat, hoax, fitnah, dan politisasi SARA,” ujarnya.
Selanjutnya, problem taat asas. Prinsipnya, kata dia, pemilu dilaksanakan secara luber dan jurdil. Pemilu juga harus dilaksanakan sesuai aturan untuk memastikan setiap warga negara yang memiliki hak, dapat memilih sesuai dengan kehendaknya.
“Pemilu yang adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu,” tekannya.
Untuk itu, guna mewujudkan Pemilu damai berintegritas di tahun 2024, Sahran menyampaikan beberapa strategi yang bisa ditempuh, antara lain memperkuat strategi politik kebudayaan. Politik yang berdasarkan nilai kearifan budaya.
“Kita berharap politik kebudayaan menjadi bagian integral dari sarana integrasi kebangsaan. Karena pemilu juga adalah sarana integrasi yang sangat relevan dengan kondisi masyarakat majemuk, terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras dan idiologi serta mazhab yang berbeda-beda,” jelasnya.
Strategi selanjutnya adalah mematuhi etika dan hukum. Menurutnya, hakikat ketaatan hukum adalah kesetiaan peserta dan penyenggara pemilu serta pemilih terhadap hukum dan etika yang diwujudkan dalam bentuk perilaku yang nyata.
“Sehingga pemilu memiliki kepastian hukum,” tandasnya. RIFAY