Saat ini tak perlu kita risau karena orng-orang ahli di berbagai ilmu sudah bertebaran di mana-mana. Gelar professor, doktor dan gelar keilmuannnya sudah begitu banyak di negara kita.
Masalahnya, begitu banyak kaum cerdik pandai di negeri ini, tak berbanding lurus dengan perbaikan akhlak. Malah yang terjadi kerusakan akhlak makin dipertontonkan.
Makanya tidak heran saat ini orang-orang yang kuat mengeksploitasi yang lemah, yang pandai mengeksploitasi masyarakat awam. Tidaklah cukup bagi bangsa ini meraih kemajuan sekadar berbekal kecerdasan, kepakaran dan ilmu pengetahuan dan teknologi jika tanpa akhlak yang terpuji.
Dalam bidang ekonomi, kerusakan akhlak menyebabkan terjadinya praktik kapiatalistik yang mengubah wajah kaum cerdik cendekia menjadi predator bagi yang lain.
Bagaimana kita memahami jika seorang yang paham ekonomi namun justru menciptakan sistem ekonomi ribawi yang menjerat leher masyarakat bawah? Inilah problem akhlak tercela.
Dalam bidang pendidikan, kerusakan akhlak menyebabkan orientasi pendidikan berubah menjadi sekedar untuk kepentingan materialisme. Efeknya, pendidikan gagal melahirkan produk yang memiliki karakteristik Islami yang mampu menjawab tantangan zaman.
Jika akhlak tak dijaga, tentu akhlak akan runtuh dan yang akan datang selanjutnya adalah kehancuran. Maka itu pembangunan berbasis akhlak adalah sebuah keniscayaan, keharusan dan bahkan juga kewajiban yang mendesak.
Sungguh, kita tidak punya waktu lebih banyak lagi selain melakukan gerakan besar mencegah dekadensi moral dengan gerakan revolusi akhlak, sebuah gerakan mendasar yang harus dilakukan secara massif.
Perbaikan akhlak harus dilakukan dengan melibatkan seluruh sarana dan prasarana, memaksimalkan seluruh sumber daya manusia dan dengan waktu yang lebih ekstra. Sebab, jangkauan perbaikan akhlak ini sangat luas, meliputi seluruh tatanan kehidupan.
Aspek sosial budaya, dunia perekonomian dan pasar, politik, pendidikan, keamanan dan sebagainya. Semuanya membutuhkan sentuhan pembangunan akhlak.
Jangan lagi kita mendengar tugas perbaikan akhlak hanya dibebankan pada satu kelompok, dan bahwa akhlak terpuji hanya harus dimiliki oleh sekelompok santri.
Kita membutuhkan pembangunan akhlak yang meliputi seluruh status sosial dan strata di masyarakat, dari yang miskin sampai yang kaya, yang tidak berilmu sampai yang berilmu, yang tidak berpendidikan sampai yang berpendidikan hingga seterusnya.
Kita harus memastikan bahwa masyarakat kita dalam status sosial manapun harus memiliki akhlak yang mulia, seperti malu, baik hati, jujur, sedikit bicara, banyak bekerja, meninggalkan segala hal yang tidak penting, berbakti kepada orang tua, silaturahim, sabar, bersyukur, lembut, dan pemaaf.
Kita juga harus memastikan tidak ada lagi sifat-sifat buruk dalam diri kita dan masyarakat kita serta bangsa ini. Tidak ada lagi sifat pendendam, suka memfitnah, buruk sangka, mengumpat, mencaci maki, memutus tali silaturrahmi.
Menurut Imam Al Ghazali, akhlak bisa diubah dan diperbaiki, karena jiwa manusia diciptakan sempurna atau lebih tepatnya dalam proses menjadi sempurna. Oleh sebab itu, ia selalu terbuka dan mampu menerima usaha pembaruan serta perbaikan.
Al Ghazali menambahkan, perbaikan harus dilakukan melalui pendidikan dan pembinaan pada sikap dan perilaku konstruktif. Pembiasaan tersebut dilakukan melalui metode berbalik.
Sebagai contoh, sifat bodoh harus diubah dengan semangat menuntut ilmu, kikir dengan dermawan, sombong dengan rendah hati, dan rakus dengan puasa. Proses pembiasaan ini tentu saja tidak bisa dilakukan secara instant tapi membutuhkan waktu, perjuangan, dan kesabaran yang tinggi.
Betatapun tingkat kesulitan yang dihadapi, perbaikan akhlak harus tetap kita upayakan. Soalnya, agama itu pada akhirnya adalah akhlak. Dalam perspektif ini, seseorang tak dapat disebut beragama jika ia tidak berakhlak.
Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya aku tidak diutus kecuali untuk membangun kualitas-kualitas moral.” (HR Malik). Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)