PALU- Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah menegaskan untuk menghidupkan kembali fungsi Taman Budaya telah lama kurang dimanfaatkan, paska bencana 2018 silam.

Dengan luasan lahan 21.000 meter persegi, pemerintah berencana membangun Balai Pelestarian Kebudayaan, merehabilitasi gedung pertunjukan tertutup, dan mendirikan gedung pertunjukan terbuka.

Rencana tersebut merupakan hasil kunjungan bersama Kementerian Kebudayaan digelar pekan lalu dan pembangunannya direncanakan mulai 2026,” kata Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah Andi Kamal Lembah dalam silaturahmi dan dialog publik Recovery Taman Budaya, Sulawesi Tengah (Sulteng), diselenggarakan oleh Forum Seniman Budayawan Sulteng, bertempat di Taman Budaya Sulteng, Jalan Abd.Raqie, Kota Palu, Ahad (29/9) petang.

Abdi mengatakan, Dinas Kebudayaan Provinsi Sulawesi Tengah baru berdiri pada 2023, kini mulai bergerak aktif mengelola kebudayaan secara terintegrasi. Koordinasi dengan 12 kabupaten/kota, termasuk Banggai, Buol, dan Poso, menjadi bagian strategi pemerintah daerah dalam memperkuat pelaku budaya di seluruh wilayah.

“Pemulihan fungsi Taman Budaya juga dipandang sebagai langkah strategis dalam mendukung pengembangan seni dan budaya lokal yang tersebar di berbagai daerah,” ujar Andi.

Selain itu, kata dia, pemerintah daerah telah menetapkan peraturan daerah tentang perlindungan dan pelestarian cagar budaya sebagai upaya menjaga warisan budaya yang kaya di Sulawesi Tengah.

“Nota kesepahaman antara Gubernur Sulawesi Tengah dan Menteri Kebudayaan ditandatangani pada Juli lalu membuka peluang kerja sama dalam bidang seni, musik, film, dan pelestarian budaya,” tuturnya.

Andi menambahkan, melalui langkah tersebut Sulawesi Tengah diharapkan menjadi pilot project dalam pengembangan dan pelestarian kebudayaan nasional, khususnya di wilayah timur Indonesia.

Sekdis Kebudayaan Sulteng, Rahman Ansyari mengatakan, Sulawesi Tengah mengalami bencana besar, dampaknya dirasakan tidak hanya di tingkat lokal, tetapi juga dunia. Namun, perhatian pemerintah terhadap pelestarian seni dan budaya pasca-bencana masih dirasa kurang optimal.

Rahman menjelaskan, berbagai komunitas seniman aktif berupaya mengangkat nilai budaya dan kesenian sebagai sumber pengetahuan dan identitas daerah, namun minimnya dukungan dari pemerintah membuat ruang publik untuk pelestarian budaya, seperti museum atau artifak, belum terealisasi dengan baik.

“Kondisi ini diperparah dengan kurangnya koordinasi antara pemerintah daerah dan kelompok seni dalam mengelola kegiatan kebudayaan. Pemerintah belum memberikan payung hukum maupun dukungan jelas, sehingga pelaku seni kesulitan untuk memasarkan karya dan menggelar event yang produktif,” ujarnya.

Padahal, menurutnya, pelaku seni budaya memiliki peran strategis dalam melestarikan kebudayaan sekaligus meningkatkan kesejahteraan secara mandiri, sebagaimana telah diperlihatkan pada kegiatan kebudayaan di Bali.

Selain itu, menurutnya lagi, kawasan Megalith di Sulteng berpotensi menjadi destinasi budaya penting yang harus dilindungi dan dikelola dengan baik. Diperlukan regulasi perlindungan dan penataan kawasan melibatkan seniman sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya.

“Keseriusan pemerintah daerah dalam bermitra dengan komunitas seni sangat diperlukan untuk mewujudkan pelestarian budaya yang berkelanjutan dan memberikan manfaat luas bagi masyarakat,” katanya.

Sementara pegiat seni dan budaya Ince Rahma Borahima mengatakan, para seniman merasa telah lama terabaikan, terutama dalam hal anggaran dan partisipasi dalam pengambilan keputusan.

Menurutnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, aset budaya seperti benda dan situs budaya adalah milik masyarakat dan seharusnya menjadi prioritas pemerintah untuk dijaga dan dikembangkan.

Namun, kenyataannya, kata dia, ruang-ruang bagi seniman dan budayawan untuk berkontribusi dalam pengelolaan kebudayaan sangat terbatas. Ketidakpedulian pemerintah ini menimbulkan kecemasan di kalangan seniman, terutama dalam melestarikan budaya bagi generasi mendatang.

Ince menegaskan bahwa berbagai ruang budaya seperti Taman Budaya, Taman Gor, dan Taman Hasan Baswan selama ini menjadi tempat berkesenian, kini sudah tidak ada lagi.

” Jika tidak segera diatasi, generasi mendatang berpotensi kehilangan jejak budayanya,” katanya.

Dalam kesempatan tersebut di pertunjukan berbagai pentas seni seperri baca puisi dan lainnya.