PALU- Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Palu mempertanyakan kepada I Ketut Suliarsa mengapa sampai melepaskan tembakan terhadap Dian Eka Komala Putrav, terdakwa kasus penculikan terhadap anak berinisial S, siswa Sekolah Dasar (SD) Inpres Boyaoge, Kecamatan Tatanga,
Dian Komala Eka Putra, terlihat pincang kakinya saat masuk di ruang persidangan. Informasi dari keluarga terdakwa yang turut hadir di persidangan mengatakan, proyektil peluru masih bersarang di kakinya dan belum dikeluarkan, akibat tembakan inipun kakinya sudah mulai mengecil.
Keluarga terdakwa sangat kecewa pada tindakan aparat kepolisian saat melakukan penangkapan, karena menurut mereka tidak sesuai protap.
“Kalaupun terdakwa lari, harusnya terlebih dulu diberi tembakan peringatan baru ditembak kalau tidak mengindahkan, ini dia tidak lari dan melawan ditembak,” kata salah satu keluarga terdakwa, yang tidak ingin namanya dipublikasikan dengan nada kesal dan marah.
Keterangan dari keluarga ini juga sama, diterangkan terdakwa Dian Komala Eka Putrav, saat diperiksa sebagai terdakwa.
“Pada saat penangkapan petugas empat orang, saya tidak melarikan diri dan melakukan perlawanan. Sudah menyerah, kemudian disuruh berlutut. Setelah itu saya tidak tahu apa-apa lagi, nanti sadar di rumah sakit,” aku Dian Komala
Dalam sidang ini Jaksa penuntut umum (JPU) Nano Sugiatno, menghadirkan I Ketut Suliarsa petugas kepolisian, yang ikut dalam penangkapan.
“Mengapa sampai melepaskan tembakan kepada terdakwa? Apakah terdakwa melawan atau melarikan diri? Berapa orang petugas saat melakukan penangkapan?“ tanya Aisa H. Mahmud, ketua majelis hakim PN Palu pada, sidang lanjutan perkara perlindungan anak, di Pengadilan Negeri Palu, Rabu (15/11).
Mendapat pertanyaan seperti itu, Ketut menjawab saat penangkapan, petugas empat orang dipimpin Kanit Reskrim. Penembakan dilakukan karena terdakwa meronta-ronta saat akan dinaikkan ke dalam mobil.
Mendapati jawaban seperti itu, Aisa H.Mahmud mengatakan, kalau hanya meronta-ronta berikan bogem mentah saja atau plintir saja tanganya. “Tembakan bisa dilakukan kalau terdakwanya lari atau melawan, dia kan hanya sendiri petugas berempat,” tanya Hakim lagi.
Selain I Ketut Suliarsa diperiksa turut diperiksa Mba In (ibu korban), Andre (kakak korban), S (korban) dan Haris (kepala tukang) dari terdakwa.
Mba In sendiri mengaku, mendapat surat ancaman tersebut dari seseorang tidak dikenal. Dirinya lalu panik dan berusaha mencari ke sekolah dan menanyakan kepada teman-teman anaknya.
Andre sendiri kakak korban mendapati dan membaca surat ancaman tersebut, lalu melapor ke pihak kepolisian. Sementara Haris mengatakan, pada hari penculikan itu Dian Komala Eka meminta izin kepadanya untuk tidak masuk kerja dan meminjam motornya, “Dian Komala pada waktu itu mau mengantar orang tuanya kontrol berobat,” kata Haris.
Kasus penculikan ini berawal saat Haris dan Dian Komala Eka melakukan pekerjaan renovasi rumah Mba In, di Jalan Buah Pala, Kelurahan Boyaoge, Kecamatan Tatanga.
Dian Komala Eka pada malam hari mendapat kabar dari keluarganya di Jawa, bahwa anak dari istri pertamanya mendapat kecelakaan dan membutuhkan biaya besar. Mendapat kabar Terdakwa panik lalu berencana menjemput S anak dari Mba In tempat di mana ia bekerja.
Terdakwa, menuliskan surat berisi ancaman bunyinya intinya, meminta tebusan Rp 40 juta serta mencantumkan nomor telpon genggamnya dan mengancam keluarga korban agar tidak melapor polisi.
Dian Eka dalam isi surat itu, memberi keterangan S anak tersebut dibawa di perkebunan dan disekap di sebuah rumah kosong, mulutnya dilakban, kaki dan tanganyapun diikat, sehingga tidak ada seorangpun tahu. “Nanti tinggal menunggu bau busuk bangkainya,” ancamnya.
Namun belum sempat permintaanya dikabulkan pihak keluarga, terdakwa dibekuk di sebuah kafe berada di sekitar Taman Ria. Terdakwapun mendapat hadiah timah panas dari aparat.
Dian Komala Eka Putrav diancam pidana dalam pasal 83 Undang-undang nomor 35 tahun 2014 Tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. (IKRAM)