“Pemadaman akan berlangsung sekitar delapan sampai 10 hari kedepan. Tower emergency sudah dapat dioperasikan pada Sabtu tanggal 29 April 2017 atau paling lambat hari Minggu tanggal 30 April 2017,” demikian janji Asisten Manajer PT PLN Area Palu, Sigit, akhir bulan lalu.
Tepat, PLN tidak bohong. Sistem kelistrikan di Sulteng, normal kembali, bahkan diklaim surplus puluhan Megawatt (MW).
Tentu, segala daya dan upaya yang dilakukan PLN, patut diapresiasi. Warga Sulteng, khususnya beberapa daerah yang dilanda pemadaman, patut bersyukur. Jadwal pemadaman “ekstrim” akibat robohnya tower Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUUT) nomor 46, transmisi Poso-Sidera, hanya berlangsung sepekan.
Ada hikmah penting yang patut diambil dari peristiwa “gelap gulita” yang melanda selama ini, khususnya bagi kalangan kaum muslimin. Listrik kembali normal diambang Bulan Suci Ramadhan yang tinggal menghitung hari ini.
Mungkin ini juga bagian dari rencana Yang Maha Kuasa kepada ummat Islam untuk memaksimalkan ibadah puasanya selama Ramadhan. Tak bisa dibayangkan manakala musibah itu terjadi saat kita sudah memasuki ibadah puasa, bagaimana pun ibadah akan terganggu dan menjadi tidak khusyu.
“Alhamdulillah tower PLTA yang sebelumnya roboh diterjang banjir bandang di Poso, kini sudah berhasil diatasi dengan tower darurat dan sekarang sedang dalam tahapan mempermanenkan jaringan,” kata Manager PT PLN Area Palu, Emir Muhaimin.
Masalah itu berhasil diatasi setelah enam hari berjibaku dengan proses recovery di lokasi tower roboh, mulai dari set up 2 tower emergency, normalisasi aliran air Sungai Puna, pemangkasan pohon row line transmisi hingga penarikan kabel transmisi melewati Sungai Puna.
Adapun yang terlibat dalam proses recovery itu sebanyak 150 orang, terdiri dari tim AP2B Sistem Minahasa, Tragi Palu, UPP Kitring Sulteng, Tim PDKB Area Palu, Tim Rayon Poso serta tim tambahan dari Makassar seperti Tim Erection ERS dan Tim Stringing dari UPT Sulselrabar. Selain itu, mitra kerja dan masyarakat pun ikut andil dalam proses recovery di lokasi, salah satunya TNI.
Pihaknya sempat mengalami kendala saat pertama kali percobaan memasukan tegangan, dimana kabel jaringan SUTT menyentuh pohon hingga terbakar.
“Saat melakukan pekerjaan terakhir juga ada kendala cuaca karena pekerjaan dilakukan pada malam hari, hujan disertai kilat menghampiri lokasi recovery, sehingga pekerjaan tidak bisa dilanjutkan, terpaksa dirampungkan keesokan harinya,” tuturnya
Ia menjelaskan, sejak Ahad (30/4) malam, aliran listrik dari Pembangkit Tenaga Air (PLTA) Sulewana Poso sudah masuk ke Gardu Induk (GI) Sidera, Kabupaten Sigi dan selanjutnya didistribusikan ke sistem kelistrikan Palapas (Palu, Donggala, Parigi Moutong dan Sigi).
Namun, kata dia, jaringannya masih perlu dipermanenkan untuk menjaga kontinuitas suplai listrik dari PLTA Poso ke sistem kelistrikan Palapas.
“Otomatis, pemadaman bergilir sudah tidak ada lagi,” ujarnya.
Selama pasokan listrik dari PLTA Poso terhenti karena tower dan jaringan PLTA rusak akibat bencana alam tersebut, sisten palapas mengalami defisit daya sekitar 60MW.
Beban puncak listrik untuk sistem palapas dalam kondisi normal sebesar 90MW. Daya sebesar itu bersumber dari PLTA Poso, PLTU Mpanau dan PLTD milik PT PLN.
BENARKAH HANYA FAKTOR ALAM?
Sulteng sempat gelap gulita. Kalimat ini memang layak dipadankan pada kondisi kelistrikan yang terjadi di wilayah tengah Pulau Sulawesi ini. Surplus kelistrikan yang selalu digaungkan PLN sebagai perusahaan negara paling bertanggung jawab dalam sistem kelistrikan ini, nampaknya tidak berbanding lurus dengan kondisi yang terjadi di daerah ini, sejak medio hingga akhir April bulan lalu.
Tower transmisi SUTT roboh akibat diterjang banjir bandang. Hujan lebat sejak pukul 22.00 malam membuat aliran Sungai Puna di Desa Tabalu, Kecamatan Poso Pesisir Selatan, berubah dan menyebabkan pondasi tower tergerus.
Padahal, kata Asisten Manager PT PLN (Persero) Area Palu, Sigit, dari hasil inspeksi kondisi terakhir, jarak tower dari sungai masih 30 meter dengan lahan datar disekitarnya, dimana status tersebut masih terbilang aman.
“Faktor alam ini diluar kuasa kita selaku manusia biasa, namun kami semaksimal mungkin akan berusaha menanganinya demi terjaganya pasokan listrik,” katanya.
Sementara Sugeng Hidayat selaku Manajer AP2B Minahasa menambahkan, robohnya tower tersebut menyebabkan kebutuhan daya pelanggan daerah Parigi hingga Kota Palu sebesar 60 MW yang sebelumnya disuplai PLTA Poso, tidak dapat tersalurkan. Sedangkan saat itu, sistem Sulawesi Tengah hanya dilayani PLTD dan PLTU Tawaeli.
Tanpa mengesampingkan upaya yang dilakukan PLN serta faktor alam yang diluar batas kemampuan manusia, namun pemadaman yang terjadi tentu memiliki kaitan erat dengan kinerja PLN sendiri. Sebagian masyarakat tak mau tahu, entah karena faktor alam atau human error yang berkaitan dengan sumber daya manusia, tapi tetap saja, listrik padam, gelap, alat elektronik rusak, air bersih susah dan segala urusan yang berkaitan dengan listrik menjadi terhambat.
Di balik alasan utama karena faktor alam banjir bandang, ada sedikit keraguan dari amblasnya tower SUTT nomor 46 tersebut. Ada yang janggal dari gambar konstruksi pondasi dari sudut pandang seorang Pakar Teknik Struktur, Syaifullah Djafar.
Baginya, robohnya tower 150 kilo volt itu, perlu dievaluasi, khususnya dari aspek konstruksi.
“Terlihat memang agak janggal pada konstruksi pondasinya,” katanya.
Dia menguraikan beberapa hal yang perlu dievaluasi, yakni dimensi pondasi yang tampaknya terlalu kecil dibanding dengan konstruksi tower yang harus dipikul.
“Apalagi towernya memikul bentangan kabel yang melahirkan beban momen yang sangat besar,” ungkapnya.
Kemudian, kata Syaifullah, angker dari tower ke pondasi terlihat sangat sederhana dan hanya tampak satu saja. Akibatnya kekuatan tekan beton pada konstruksi pondasi sangat lemah sehingga nampak pecah. Selain itu, ada kemungkinan bahwa mutu baja dari konstruksi tower juga rendah, karena terlihat sangat rapuh dan sobek.
Menurutnya, sangat penting evaluasi dilakukan oleh tim teknis dari PLN.
“Pertanyaannya sangat jelas, apakah konstruksi pondasi tower memang harus seperti itu. Ini terlepas dari ada banjir atau tidak,” terang Syaifulah.
Kepala Dinas PU Bina Marga Sulteng itu menambahkan, jika konstruksi pondasi masih tetap sama pada tower-tower lainnya, maka potensi roboh akan tetap ada dengan pemicu lain selain banjir.
“Khusus dimensi pondasi, idealnya tidak seragam atau sama ukurannya untuk semua tower. Tiap titik tower mestinya berbeda, tergantung dari karateristik tanah setempat, apalagi kalau daerah yang rawan banjir, dimensi pondasi harusnya berbeda dengan daerah normal,” tutup Syaifullah.
Informasi yang disampaikan Syaifullah, tentu tidak boleh disepelekan. Dia berbicara atas kapasitasnya sebagai pakar struktur. Hal itu juga yang membuatnya dipercayakan memegang jabatan Kepala Dinas PU Bina Marga, instansi yang notabene mengurus banyak hal terkait bangunan.
Tak salah kiranya jika evaluasi yang dia sarankan, dilakukan demi memperoleh kejelasan, bagaimana sebenarnya perencanaan hingga finalisasi pembangunan tower yang menurut informasi menelan biaya Rp1 miliar per satu tower.
Menanggapi itu, DM Hukum dan Komunikasi PLN Wilayah Suluttenggo, Jantje Rau mengatakan, hanya satu bagian angker kaki tower yang tergerus air. Soal struktur pondasi dan struktur baja tower itu, menurutnya, sudah sesuai dengan spesifikasi yang dipersyaratkan dalam pembangunan itu.
“Untuk membangun satu tower atau transmisi, dari PLN dimulai dari satu kajian. Yang pasti dalam pembangunan itu sesuai dengan konstruksi yang dipersyaratkan dalam aturan,” imbuhnya.
Beberapa hari sebelum ambruknya tower SUTT di Poso, PLN juga sempat melakukan pemadamman massal. Hampir semua wilayah yang ada di Kota Palu dan sekitarnya, gelap gulita, sekitar 2 jam.
Sebelum itu, pemadaman massal juga terjadi. Meskipun hanya sehari, namun pemadamannya berlangsung hingga berjam-jam, mulai pagi hingga sore hari.
Humas PLN beralasan, telah terjadi gangguan pada jalur transmisi 275 kV yang menghubungkan PLTA Sulewana dan jalur transmisi arah Sulawesi Selatan. Kondisi tersebut menyebabkan wilayah Kota palu, sebagian Kabupaten Donggala, sebagian Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso, padam meluas. Total yang terganggu sebesar kurang lebih 100 MW.
Wali Kota Palu, Hidayat pun angkat bicara mengenai pemadaman listrik tersebut. Dia pun mempertanyakan kinerja PLN.
Menurutnya, PLN harus menyosialisasikan secara luas agar warga tidak menuduh pemerintah yang seenaknya memadamkan lampu.
“PLN harus menyampaikan hal ini kepada masyarakat luas, baik itu di media massa maupun membuat surat pemberitahuan ke rumah-rumah ibadah,” katanya.
Menurutnya, kejadian ini harus dijadikan pengalaman berharga oleh PLN agar tidak hanya dapat bergantung pada satu pasokan saja seperti di PLTA Sulewana.
“Sudah waktunya PLN melakukan peninjauan kembali tentang pengaturan distribusi dayanya sehingga jika ketika suatu waktu terjadi lagi hal seperti ini, maka tidak ada pemadaman separah saat ini. Bagaimana kita dapat kepercayaan investor yang akan menanamkan modalnya didaerah kita kalau listrik sering padam. Anehnya, kita mengaku surplus kelistrikan,” pungkasnya.
Gubernur Sulteng, Longki Djanggola juga turut resah dengan kondisi kelistrikan di daerah yang sudah dua periode dipimpinnya itu.
Dia juga meminta agar sistem kelistrikan Sulawesi Tengah dapat berdiri sendiri, tidak lagi berada di bawah PLN wilayah Sulawesi Utara, Tengah dan Gorontalo (Suluttenggo).
“Untuk mempermudah, memperpendek koordinasi dan mengonsentrasikan pembenahan kelistrikan saya meminta PLN membagi daerah kita menjadi regional Sultengbar, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Tidak seperti sekarang kalau ada apa-apa harus berkoordinasi lagi ke Manado,” sebut Longki.
RASIO KELISTRIKAN DI TITIK TERENDAH
Kebutuhan energi listrik, makin hari terus semakin meningkat, tetapi di sisi lain PT PLN (Persero) memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan tersebut sehingga menyebabkan ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan tenaga listrik.
Ketidakseimbangan antara pasokan dan kebutuhan tenaga listrik tersebut, menimbulkan krisis energi berkelanjutan yang dapat berakibat terganggunya roda pembangunan dan pengembangan perekonomian wilayah. Saat ini diperkirakan sebanyak 12.659 desa atau 15 persen dari seluruh desa di Indonesia belum memperoleh akses listrik dari PLN. Bahkan, 2.519 diantaranya belum terlistriki sama sekali alias gelap pada malam hari.
Dari sisi aset maupun bisnis, PLN terus menunjukkan peningkatan yang signifikan. Penjualan listrik menunjukkan pertumbuhan cukup pesat, yakni sekitar 7 persen per tahun. Namun kondisi ini tidak diimbangi pertumbuhan aset yang mendukung penjualan. PLN sudah melakukan berbagai inovasi, salah satunya meluncurkan program Listrik Pintar atau yang biasa disebut dengan listrik prabayar. Penyediaan tenaga listrik prabayar secara kontinyu diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional dan nasional serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah juga telah menargetkan penyediaan akses penerangan bagi masyarakat secara merata melalui pembangkit listrik 35.000 Mega Watt,, salah satunya meluncurkan Program Indonesia Terang (PIT) untuk meningkatkan rasio elektrifikasi (rasio rumah tangga yang telah dialiri listrik dengan jumlah seluruh rumah tangga) dari 88 persen pada Tahun 2015 menjadi 97 persen di tahun 2019.
Sulteng sendiri, rasio elektrifikasinya baru mencapai 75,77 persen, dibawah rata-rata nasional 84,7 persen.
Masih terdapat kurang lebih 337 dari 2017 desa di Sulteng yang belum teraliri listrik, tepatnya di 12 kabupaten. Sebagian besar tersebar di wilayah terpencil, diantaranya Kecamatan Lindu, Pipikoro, beberapa desa di Kecamatan Kulawi dan Marawola Barat, Kabupaten Sigi.
Demikian halnya di Kabupaten Donggala, ada banyak desa yang belum disentuh listrik, seperti di Kecamatan Pinembani dan Kecamatan Sojol, khususnya di kampung transmigrasi.
Di wilayah Kabupaten Tojo Una-Una juga demikian, terkhusus di wilayah kepulauan Togean dan sekitarnya.
Ketua Fraksi NasDem DPRD Sulteng, Muh Masykur mendesak gubernur agar melakukan langkah-langkah progresif kepada seluruh pihak untuk mendesain jalan keluar atas kegelapan di ratusan desa tersebut.
“Semua stakeholder perlu memikirkan langkah yang tepat agar seluruh desa yang belum terlistriki bisa segera mendapatkan daya terpasang. Langkah-langkah ini sekaligus untuk menyelaraskan dengan program yang sudah dimiliki oleh PLN,” ujar Masykur.
Kata dia, listrik merupakan hak dasar bagi warga negara sehingga pemerintah perlu menaruh perhatian serius terhadap masalah ini.
“Kalau soal potensi pembangkit (hulu), saya kira kita surplus. Masalah sekarang adalah jaringan transmisi dan distribusi yang butuh biaya besar,” katanya.
Untuk itu, Masykur juga meminta PLN agar terbuka untuk menyampaikan berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk mencapai rasio elektrivikasi.
“Soal hambatan struktural pembangunan jaringan kelistrikan agar ada solusi bersifat regulatif. Saya kira pihak PLN tidak bisa jalan sendiri dalam menuntaskan masalah ini. Itu pun jika pihak PLN mau menyelaraskannya dengan desain pembangunan membangun Indonesia dari pinggiran,” katanya.
Kenyataan ini juga diakui Gubernur Sulteng, Longki Djanggola, saat rapat koordinasi rencana pengembangan listrik desa di Provinsi Sulteng, akhir Januari lalu.
Gubernur berharap dalam beberapa tahun ke depan sesuai dengan target pemerintah jumlah desa yang sudah terlayani penerangan listrik PLN di Sulteng terus meningkat.
Pada 2019 pemerintah pusat menargetkan tingkat rasio elektrifikasi listrik desa secara nasional meningkat menjadi 97 persen.
“Mudah-mudahan 100 persen desa di daerah ini sudah menikmati listrik PLN,” katanya.
Kedepan, kata dia, perkembangan sektor industri di Sulteng akan membutuhkan pasokan energi yang cukup besar. Penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Palu, Kawasan Industri Morowali serta pembangunan smelter untuk pengolahan tambang perlu didukung dengan memperkuat penyediaan sumber energi listrik.
Beragam variasi pembangkit akan dibangun di provinsi dengan 13 kabupaten ini guna meningkatkan rasio elektrifikasinya. Sesuai RUPTL 2015-2024, pada 2016 akan dibangun PLTU Tawaeli Ekspansi (2 x 15 MW), 2018, PLTU Palu 3 (100 MW), 2020/2021, PLTU Toli-Toli (2 x 25 MW), 2021/2022, PLTA Poso 1 (2 x 60 MW) dan pada 2022 akan dibangun PLTP Bora Pulu (40 MW) dan PLTP Marana (20 MW).
Beragam sumber energi alternatif yang dapat digunakan untuk menghasilkan tenaga listrik di provinsi dengan luas daratan 61.841,29 km2 selain panas bumi yang mencapai 515 Mwe, juga potensi pembangkit listrik minihidro (PLTM – belum beroperasi) cukup besar yaitu mencapai 179,1 MW sedang PLTM yang telah beroperasi 14,1 MW. Semoga. (RIFAY DAN BEBRAGAI SUMBER)