Sejak dibuka dan dikelola oleh Pokdarwis, pengunjung Paisu Matube didominasi masyarakat lokal. Menjadi satu-satunya permandian air tawar di dekat inti kota, Matube masih menjadi primadona bagi masyarakat Banggai.
Tahun 2021, ketika pandemi masih merebak, saya melihat kawan saya di facebook membagikan foto wisata Air Terjun Matube yang mulai ditata.
Beberapa sarana dibangun seperti jembatan, lampu penerang, dan gazebo yang didominasi dengan material bambu, termasuk pula jalan masuk setelah tulisan “Selamat Datang di Wisata Air Terjun Matube.”
Di penghujung tahun 2022, saya berkesempatan berkunjung ke Air Terjun Matube.
Air Terjun Matube atau Paisu Matube terletak di Desa Lampa, berjarak 2,5 km dari pelabuhan Banggai. Akses ke air terjun ini sangat mudah, karena terletak di dekat jantung Kota Banggai Laut. Dari pelabuhan kita bisa naik bentor (becak motor) dengan ongkos Rp20.000 -kalau pandai menawar, bisa dapat Rp15 ribu-. Atau kita bisa naik ojek dari titik yang sama dengan ongkos Rp10 ribu.
Ketika saya ke Paisu Matube, gazebo-gazebo bambu mulai rusak dan sedang dibenahi tetapi tidak menggunakan bahan bambu. Begitu juga jembatan penghubung dari titik tengah, depan panggung seni ke toilet, jembatan dekat air terjun, dan menara di sisi kiri air terjun untuk melompat bagi yang ingin memacu adrenalin.
Jembatan dan gazebo itu menjadi hal yang paling berbeda dengan Matube dahulu, zaman saya masih SMP dan SMA, sekitar 10 tahun lalu.
Dahulu penduduk di sekitar Matube memanfaatkan Paisu Matube untuk mencuci pakaian dan mandi. Siswa SMA dan SMP/MTs, khususnya SMAN 1 Banggai, SMPN 2 Banggai dan MTs Al-Hajar biasanya mencuci barang-barang selepas kegiatan sekolah, misal karpet sekalian mandi-mandi. Atau ketika hari pembagian rapor tiba, siswa-siswa akan merayakan kenaikan kelas dengan mandi-mandi di Matube.
Paisu Matube itu menghidupi dan memberi kesenangan bagi masyarakat Banggai. Tapi ada masanya ketika para pemuda menjadikan Matube sebagai tempat mereka mabuk. Waktu itu pemerintah daerah baru membangun fondasi di sisi utara, lengkap dengan tangga turun ke air. Baru ada satu rumah panggung dan toilet yang tidak terurus.
Hal itu menjadikan orang-orang sedikit yang berkunjung karena tidak nyaman. Mereka -para pemuda yang mabuk itu- suka catcalling kepada pengunjung perempuan. Sehingga satu atau dua orang saja yang tetap ke Matube, itu pun dalam satu rombongan harus ada laki-laki. Pohon-pohon di Matube yang tidak terurus, rimbun tidak beraturan menambah kesan suram permandian itu.
Berbeda sekali ketika saya berkunjung dan juga sudah janjian bertemu dengan Muhsin Monsewa, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Lampa. Pohon-pohon rimbun dan tetap rapi, tidak ada sampah, apalagi orang mabuk. Dilarang membawa minuman keras ke Matube.
Kita bisa berkunjung ke Matube dengan nyaman. Kita bisa datang beramai-ramai atau sendiri untuk menikmati kesan alam yang teduh dan syahdu. Tersedia juga areal parkir dan instalasi listrik di setiap gazebo, sehingga kita bisa pula sambil bekerja di Matube, Work From Matube.
Biaya masuk ke permandian Paisu Matube ini juga tergolong sangat murah Rp3000,- untuk orang dewasa dan Rp1000 rupiah untuk anak-anak. Sementara penyewaan gazebo Rp50.000,- Untuk panggung seni, dibandrol Rp250.000 sudah termasuk soundsystem.
Bagi para traveler dari luar Banggai, Matube cocok sekali dikunjungi setelah wisata sejarah dan kebudayaan dengan melihat keraton Banggai, Banggai Lalongo, dan Kamali Boneaka.
Melepas lelah setelah kunjungan sebelumnya dengan menceburkan diri di titik paling dalam Paisu Matube yang serupa kolam renang, membuat segala masalah hilang karena kesegaran air yang disuguhkan.
Berlama-lama di Paisu Matube jangan khawatir lapar, karena ada kantin Pokdarwis yang menyediakan berbagai makanan lokal seperti onyop dan loka pau goreng -pisang lowe/goroho, pisang khas yang banyak tumbuh di Bangai bersaudara. Harganya murah meriah dan tidak membuat kantong sobek, berkisar Rp10 ribu sampai Rp20 ribu. Sedangkan untuk menu minuman, mulai dari Rp5000 hingga Rp10 ribu.
Jika berkunjung ramai-ramai, kita bisa memesan menu paket untuk 5 orang dengan harga variatif, Rp250 ribu sampai Rp375 ribu.
Menu paketan ini kita sudah bisa menikmati nasi, kuah santan atau kuah asam, tumis kangkung, onyop, es teh, ikan bakar, kukus -terbuat dari singkong yang diparut, lalu dikukus dengan kelapa -dan salanggar, pisang atau ubi yang direbus dengan santan dan sejumput garam.
Saya berkunjung beberapa kali karena rumah saudara saya dekat dengan lokasi wisata ini. Kali lain saya berkunjung, saya mandi dan berenang sampai puas. Saya juga duduk di atas jembatan kayu dekat air terjun yang tingginya kurang lebih empat meter dan lebar 3 meter, sambil menikmati pisang goreng dan menonton pengunjung lain melompat dari menara kayu.
Kunjungan saya selanjutnya, saya dan Muhtar Monsewa, duduk di bawah pohon manggis, di bangku-bangku kayu (21/12). Gemericik air menemani obrolan kami sore itu.
Muhtar Monsewa mengatakan penataan Paisu Matube seperti ini berdasarkan ide dan sumbangsi semua anggota Pokdarwis, termasuk jaringan bambu yang serupa terowongan sebelum bersua meja pembayaran -belum tersedia loket pembayaran biaya masuk.
Hanya saja saat ini pembenahan dilakukan tidak lagi menggunakan bambu karena selain susah diperoleh, pemda memberikan bantuan papan dan kayu.
“Tetapi tiang gazebo yang di bawah -bagian tengah Air Matube- masih mengusung lokalitas. Kami memakai kayu bulat kayu khusus untuk tiang rumah, yang bukan dari pohon yang disensor- untuk tiang gazebo dan atap daun rumbia,” ujar Muhtar.
Saat ini sarana dari bambu tersisa di bagian panggung seni, dan kantin yang 90 persen menggunakan bambu.
Pokdarwis Desa Lampa mengelola Permandian Air terjun Matube sejak pertengahan tahun 2021, dan menjadi tempat wisata yang menyetor retribusi tertinggi ke Daerah melalui Dinas Pariwisata.
Paisu Matube masuk dalam 300 besar Anugerah Desa Wisata (ADWI) 2022 dari 3419 peserta di seluruh indonesia. Matube juga sudah menjadi wisata hutan kota oleh Dinas Lingkungan Hidup Banggai Laut.
Di hari lain (23/12), saya konfirmasi ke Dinas Pariwisata Banggai Laut. Pokdarwis Desa Lampa rata-rata menyetor Rp900 ribu/bulan. Sehingga dalam tahun 2022 dirata-ratakan Rp10,8 juta.
“Tahun pertama, 17 juta waktu pertama kali dibuka dan dikelola, dimulai dari bulan April,” kata Huzaima Pegawai di Dinas Pariwisata sekaligus anggota Pokdarwis Desa Lampa.
Permandian yang juga dikunjungi wisatawan dari luar Banggai pun turis Luar Negeri ini ramai mulai pukul 10 pagi hingga sore -matube buka pukul 8 pagi sampai 6 sore- apalagi jika masuk waktu akhir pekan dan libur seperti saat ini, libur semester bagi anak sekolah.
Muhtar berujar bahwa Paisu Matube adalah pertemuan sungai-sungai kecil yang bersumber dari mata air di desa Adean, ada juga dari Boloa sebelum bermuara ke sungai.
Mitos di Paisu Matube
Suara air yang keluar dari cela-cela batu, derit pohon bambu yang saling bergesekan dan suara burung membersamai obrolan kami yang sudah tiba ke cerita masa lalu. Dahulu -entah benar atau tidak- Paisu Matube ini namanya montoungan mumbuburit.
Sementara Matube adalah nama perkampungan. Mumbuburit dalam bahasa Banggai adalah orang yang punya ilmu hitam atau biasa kami sebut bapongko. Montoungan sendiri memiliki arti menjatuhkan.
Ibu saya bercerita pada saya (28/12), dinamakan montoungan mumbuburit karena orang yang bapongko itu sudah sangat meresahkan. Sehingga ia ditangkap dan dibuang ke air itu, ke bagian bawah air terjun yang menyisakan buih.
Di bagian bawah air terjun itu, dipercaya ada lubang yang bisa tembus ke Mbatong-mbatong (pulau). kalau jatuh ke lubang itu, kita tidak akan hilang. Muhsin sendiri membenarkan cerita tentang lubang itu, tapi dia sendiri membantah kebenarannya karena selama ini dia tidak pernah melihat langsung.
Ibu saya sendiri percaya, karena dahulu orang-orang sakti, hidup se-frekuensi dengan alam, dan ibu saya mendengar cerita dari bapaknya yang sempat membuktikan keberadaan lubang itu dengan membuang buah pinang yang masih berwarna hijau dalam jumlah banyak ke lubang itu, dan beberapa waktu kemudian, buah pinang itu ditemukan di Mbatong-mbatong dan sudah berwarna kuning.
Selain itu, sambil menyuap es dari mangkuknya, Muhsin berujar, katanya, dahulu juga ada yang bilang, kalau ke matube itu, harus membuang tiga batu Di bawah satu, pas air terjunnya satu, dan di tengah satu. Supaya tidak keteguran.
Ada juga cerita dari ibu teman saya yang ketika masih muda pernah hilang di Matube. Katanya, dia melihat rambut panjang hingga ke dasar. Ibunya ditemukan setelah dibuatkan ritual tertentu.
Reporter : Iker
Editor : Rifay