Selain hari buruh, tanggal 1 Mei juga adalah hari bersejarah yang menandakan bebasnya Irian Barat (Papua) dari Belanda.

Untuk menandai perjuangan bangsa Indonesia, didirikan monumen Trikora di beberapa kota sebagai lokasi pertahanan tentara Indonesia dalam operasi Trikora, salah satunya di Kota Salakan, Banggai Kepulauan (Bangkep).

Lima menit dari pelabuhan Kota Salakan, akan ditemui ikon Kota Salakan setingga 17 meter tersebut. Sayang, monumen tersebut terbengkalai, dipenuhi belukar dan baru disolek menjelang perayaan-perayaan tertentu seperti 17 Agustus, karena digunakan untuk upacara bendera.

Padahal selain view kota Salakan dan Teluk Ambelang serta pemandangan saat matahari terbenam, monumen Trikora pun menyimpan sejarah.

Monumen Trikora dalam Ingatan Sang Pengawas Pembangunan

Yusuf Basan, sepuh berusia 78 tahun itu mengambil koper mini tempat berkas-berkas pentingnya. Dia mengeluarkan buku tipis berwarna biru tua yang semakin pudar dan mulai menguning. Di bagian sampul buku tersebut tertulis, Peresmian Monumen Djajawijaja Trikora di Pulau Peling.

Ketika pembangunan monumen atau tugu tersebut, Yusuf Basan ditunjuk Bupati setempat sebagai pengawas pembangunan bersama satu rekannya. Kala itu, ia masih menjadi anggota dewan dari Fraksi Karya Pembangunan.

Sembari membuka-buka dokumen lamanya, ia bertutur ketika rombongan tentara Indonesia menginjakkan kaki di Pulau Peling. Ia masih berusia 12 tahun, baru lulus dari sekolah PGA (Pendidikan Guru Agama) di Luwuk.

“Itu kebetulan, saya pakansi (libur semester pasca ujian). Pertama datang satu kapal di Teluk Ambelang, lalu datang lagi satu. Torang di Salakan ini takut karena banyak sekali kapal, waktu itu saya masih anak-anak tapi sudah tahu keadaan. Pas peringatan Maulid Nabi itu, torang dapat dengar tembakan,” katanya, Selasa (16/05).

Bunyi tembakan yang mereka dengar awalnya terdengar kecil dan pelan. Setelah tiga kali letusan, bunyi tembakan terdengar ramai, semua kapal menembakan peluru ke udara.

Kota Salakan dipenuhi asap senjata. Esoknya, para tentara itu turun dan minta maaf ke warga karena tidak ada pemberitahuan dan menyebabkan ketakutan. Semuanya serba tiba-tiba kata tentara tersebut.

Torang takut, barangkali kalo cuman satu bunyi tembakan, ini banyak. Katanya, tadi malam itu ada kapal udara yang datang dari Amerika. Karena kapal udara itu tidak memberi tahu, mereka tembak, mereka kira Belanda. Jadi waktu itu, kapal dari Amerika itu lari, karena tembakan tidak berhenti. Padahal Amerika datang meninjau kekuatan tentara Indonesia,” kenang Yusuf .

Teluk Ambelang yang sepi dan terlindung tersebut disiagakan sekitar 10 Kapal Cepat Torpedo, 4 Kapal Selam, 21 Kapal Perang AL, 40 Kapal Perang RI, 4 Batalion Pasukan Pendarat-45 dengan 81.100 prajurit, 6 Batalion Pasukan Pendarat-45 dilengkapi dengan Satbanpur dan Satbanmin, dengan 9.400 prajurit, 1 Kapal Rumah Sakit (Hospital Ship), kapal tengker, dan kapal-kapal Niaga.

Rincian nama-nama kapal dan pasukan pendarat dapat dilihat di tugu atau sasanti yang didirikan di kaki bukit. Tugu tersebut ditandatangi Presiden Soeharto ketika peresmian monumen, 12 Agustus 1995.

“Saat peresmian, Pak Harto tidak datang, karena beliau ada kegiatan di Pusat. Tapi semua dokumen-dokumen Pak Harto yang menandatangani, termasuk di tugu yang di bawah. Peresmian diwakili oleh Edi Sudrajat, Menhankam, dan Siswono Sudirohusodo, Mentrans dan PPH, mereka berdua ketua dan wakil ketua pengarah panitia pembangunan monumen,” terang Yusuf.  

Kesiapan tempur maritim yang didukung dengan berbagai persenjataan mutakhir dalam jumlah yang demikian besar, disertai dengan dukungan Angkatan Udara yang kuat dan disiapkan di berbagai pangkalan Udara (Morotai, Pattimura, Iswahyudi, dan Halim), telah menyadarkan Amerika Serikat untuk menekan Belanda duduk di meja perundingan sehingga akhirnya menyerahkan kembali Irian Barat ke dalam NKRI.

“Saat pembangunan monumen, waktu itu saya dengar Amerika bilang ke Belanda, serahkan saja. Kamu pertahankan itu Irian Barat, itu hancur. Amerika bilang, Indonesia punya empat pertahanan yang siap tempur dengan senjata mereka, mereka punya kapal yang hanya ada 2, satu di Rusia, satu di Indonesia, itu kapal buatan rusia,” kisahnya.

Moh. Hatta juga menyampaikan kepada Sukarno, bahwa Irian Barat akan hancur jika terjadi perang. Dia menyarankan agar menyerahkan Irian Barat kepada Belanda. Indonesia punya banyak pulau dan luas, tetapi Sukarno tetap ingin Irian Barat kembali ke Indonesia.

“Makanya Sukarno bilang, sebelum ayam berkokok, Irian Barat akan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi,” Suara Yusuf Basan bergetar, matanya berkaca-kaca menirukan kalimat Sukarno.

Monumen  Trikora tidak hanya pertanda peristiwa yang sangat penting, tetapi juga dimaksudkan agar menumbuhkan kesadaran bagi seluruh bangsa Indonesia bahwa di berbagai pelosok, di seluruh Indonesia terjadi pula berbagai perjuangan dalam menegakkan NKRI. Monumen Djayawijaya ini dimaksud pula menjadi tonggak untuk membangkitkan semangat serta kepercayaan diri masyarakat di kawasan Sulawesi dalam berpacu membangun daerah.

Bagian-bagian Monumen

Konsep rancangan Monumen Jayawijaya bertolak dari dasar pemikiran bahwa sebuah monumen tidaklah hanya sebagai tonggak sejarah masa lalu, tetapi hendaknya juga merupakan tonggak harkat dan martabat masyarakat yang memancarkan semangat membangun dan mempersatukan masa depan.

Komplek Monumen Jayawijaya Trikora yang saat ini sedang dibangun pula taman Kota Salakan, pada dasarnya terdiri dari 3 bagian. Dari bawah, ada relief besar di sisi kanan. Relief tersebut menggambarkan sejarah perjuangan bangsa dalam mewujudkan wilayah nusantara yang telah dimulai sejak lama.

Sejarah menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Bone, Banggai, Tidore di masa lampau merupakan kerajaan bahari yang saling berkaitan erat yang kemudian melahirkan semangat nusantara.

Sayangnya, relief tersebut tidak lagi jelas terlihat, hanya beberapa yang masih meninjol, seperti perahu layar dan Sukarno, serta Suharto.

“Digambarkan tokoh-tokoh perjuangan Trikora, dengan presiden Soekarno sebagai panglima Komando Pembebasan Irian Barat, di mana Mayor Jenderal Soeharto adalah Panglima Operasi. Digambarkan pula berbagai tahapan operasi, baik berupa persiapan dan infiltrasi, yang antara lain mengakibatkan gugurnya komodor Yos Sudarso dan Mayor Wiratno di samping banyak pejuang yang gugur lainnya,” ungkap Yusuf.

Dari dinding relief itu, ada tangga di sisi kiri. Pengunjung akan disambut dengan tugu yang berisi daftar kapal-kapal yang siaga di teluk Ambelang.

Menuju ke Monumen Trikora, dapat dilalui melalui tangga berjumlah 214 anak tangga, atau bisa pula memutar dan parkir kendaraan dari Ruang Terbuka Hijau. Tugu dengan susunan bata dan berbentuk segitiga itu melambangkan semangat kebaharian.

“Atas tugu itu dari baja, merupakan lingkaran-lingkaran berteras yang menyatu dengan alam sekitar, memancarkan kegiatan nyata usaha pembangunan yang mengacu kepada kelestarian dan keseimbangan.”

Bagian bawah monumen, Yusuf Basan mengungkapkan bahwa ada pusaka dan ia sendiri yang meletakkan di bawah monumen. Pusaka itu diletakkan di atas baki lalu diikat dengan kain merah, putih, dan kuning. Peletakan pusaka tersebut atas perintah Suharto yang saat itu sudah menjadi Presiden. 

Monumen Trikora di Mata Guru dan Siswa

Roslin, guru Sejarah di SMA Negeri 1 Tinangkung mengatakan bahwa materi tentang perebutan Irian Barat didapatkan siswa SMA di kelas 3 semester 2. Roslin menilai, dari segi pengayaan, materi sejarah tersebut masih kurang.

“Penyebabnya mungkin mereka punya kepedulian terhadap sejarah itu belum maksimal, baik internal maupun masyarakat. Tetapi yang perlu kita ketahui, monumen ini kan bukan hanya sejarah lokal, tetapi sejarah nasional, bahkan ada dokumennya di Belanda. Jadi memang harus dilestarikan, perlu dikembangkan. Ketika mengajar, saya ada kunjungan lapangan. Pernah juga seluruh SMA di Banggai berkunjung ke Monumen. Sayangnya monumen tidak terurus, jadi waktu itu, siswa kita yang bersihkan sebelum kunjungan,” jelasnya.

Selain guru, awak media ini meminta pendapat para siswa kelas XI IPS 1 SMAN Tinangkung. Dari 29 siswa dengan rentang usia 15 sampai 18 tahun, ada yang pernah ke monumen 1 sampai 3 tahun lalu, ada yang terkhir kali pergi di tahun 2023 ini, ada juga dalam seminggu terakhir, dan ada bahkan yang belum pernah pergi sama sekali.

Secara umum, para siswa tersebut mengetahui monumen Trikora sebagai peninggalan sejarah atau peninggalan penjajahan, atau di bangun oleh Suharto.

Satu siswa menulis dengan detail namun singkat mengenai cerita di balik berdirinya monumen tersebut. Ia mendapatkan informasi lengkap dari orang tua dan tokoh adat di Desa Ambelang. Sementara siswa lainnya, mengetahui informasi tersebut dari masyarakat sekitar, juga orang tua mereka, guru, dan media sosial.

Reporter : Iker
Editor : Rifay