OLEH: Indar Ismail Jamaluddin*
Kolaka Utara merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara, dengan ibu kota Lasusua.
Tanggal 7 Januari 2004 ditetapkan sebagai hari jadi kabupaten ini setelah mekar dari Kabupaten Kolaka, yang disahkan pada 18 Desember 2003 berdasarkan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bombana, Kabupaten Wakatobi, dan Kabupaten Kolaka Utara di Provinsi Sulawesi Tenggara.
Luas daratan mencapai 2.924 km2 atau sekitar 8,91 persen dari luas daratan Sulawesi Tenggara.
Perkiraan perairan laut mencapai 12.376 km2 dengan posisi di sepanjang pantai timur Teluk Bone.
Daratan secara umum terdiri dari gunung dan bukit dengan ketinggian rata-rata di bawah 1.000 meter dari permukaan laut dan berada di sekitar khatulistiwa.
Kabupaten ini memiliki 15 kecamatan dan 127 desa serta 6 kelurahan (BPS Kabupaten Kolaka Utara, 2023).
Dalam upaya menopang pembangunan di tingkat desa, pemerintah pusat setiap tahun mengucurkan Dana Desa hingga triliunan rupiah ke seluruh Indonesia.
Pada tahun 2022, Kolaka Utara menerima Rp111,3 miliar Dana Desa dari APBN dan Rp103,5 miliar pada 2023. Namun, dugaan penyalahgunaan Dana Desa di wilayah ini turut mewarnai pemberitaan media massa online kurun 5 tahun terakhir.
Sejak program ini bergulir tahun 2015, aparat penegak hukum setempat juga sudah menerima banyak laporan, mulai dari pekerjaan fiktif, mark up anggaran, hingga pelaporan keuangan yang tidak sah.
Beberapa kepala desa bahkan telah ditetapkan sebagai tersangka. Situasi ini tentu menimbulkan keprihatinan, bagaimana mungkin dana yang semestinya digunakan untuk membangun desa, justru menjadi ladang penyelewengan?
Perlunya Penguatan Sistem
Pada Juli-Desember 2023, penulis dan rekan dari Program Studi Administrasi Publik Universitas Sembilanbelas November Kolaka melakukan penelitian dengan judul “Peran Pemerintah Daerah dan DPRD Dalam Pengawasan Dana Desa di Kabupaten Kolaka Utara”.
Jenis penelitian kualitatif dengan lokasi penelitian di Kabupaten Kolaka Utara. Informan ditentukan secara purposive, yaitu Sekretaris DPRD Kolaka Utara, Sekretaris Inspektorat Daerah, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD), Kepala Seksi Keuangan dan Aset Desa DPMD, serta Inspektur Pembantu Wilayah 1 Inspektorat Daerah.
Data dilengkapi observasi serta data sekunder dari artikel ilmiah, buku, peraturan pemerintah, laporan instansi terkait, serta pemberitaan media massa online terkait Dana Desa di Kolaka Utara 2018-2023.
Data dianalisis melalui kondensasi, penyajian data, serta penarikan kesimpulan (Miles, Huberman, Saldana, 2013).
Ada tiga temuan dalam penelitian ini.
Pertama, DPMD Kolaka Utara memiliki peran mengawasi keuangan desa melalui aplikasi sistem keuangan desa (Siskeudes) dan sistem pengelolaan aset desa (Sipades), merespons pengaduan masyarakat, serta bermitra dengan inspektorat dan aparat hukum.
Kedua, Inspektorat Kolaka Utara berperan dengan melakukan audit atas permintaan, juga mengawasi Dana Desa melalui aplikasi yang dibuat sendiri dan memeriksa secara berkala laporan desa.
Ketiga, DPRD memiliki peran pengawasan dengan memproses pengaduan masyarakat. Kejaksaan Negeri juga ikut mendampingi dalam pelatihan kepala desa.
Kesimpulan penelitian, pengawasan berlapis Pemerintah Kabupaten Kolaka Utara dan DPRD Kolaka Utara terhadap pengelolaan Dana Desa membutuhkan koordinasi agar tidak tumpang tindih.
Hasil penelitian dimuat pada Musamus Journal of Public Administration Vol. 6, No. 2, April 2024 (https://ejournal.unmus.ac.id/index.php/fisip/article/view/5584/3262).
Dari penelitian tersebut, penulis melihat akar persoalan penyelewengan Dana Desa tidak hanya pada pelaku di desa, tetapi juga lemahnya sistem pencegahan dan transparansi.
Dari pemberitaan media online kurun 2018-2023, terdapat 11 desa yang disebut dilaporkan warganya kepada aparat hukum karena berbagai tuduhan dalam pemanfaatan Dana Desa.
Di salah satu desa misalnya, terjadi penyalahgunaan anggaran hingga Rp782 juta untuk proyek fiktif.
Di desa lainnya, kerugian negara akibat markup mencapai lebih dari Rp700 juta. Ini bukan sekadar kesalahan individu, tetapi tanda bahwa sistem pengawasan kita masih bisa ditembus dengan mudah.
Pengawasan Berlapis
Sebagai bagian dari fungsi manajemen, pengawasan atau pengendalian adalah suatu aktivitas mengukur dan mengoreksi semua tindakan pegawai untuk menjamin tercapainya tujuan.
Pengawasan terhadap pengelolaan Dana Desa adalah kegiatan yang ditujukan untuk memastikan pemanfaatan Dana Desa berlangsung transparan, akuntabel, disiplin anggaran, serta partisipatif sesuai regulasi (Sugito et al., 2023).
Penelitian menunjukkan kualitas pengawasan berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan keuangan desa.
Pengawasan yang meningkat terhadap pengelolaan keuangan desa akan semakin meningkatkan kinerja pengelolaan keuangan desa (Umaira & Adnan, 2019).
Selain itu, keterlibatan berbagai pihak dalam mengawasi pemanfaatan Dana Desa dibutuhkan untuk memastikan bahwa dana yang digunakan tepat sasaran (Fachrun et al., 2020).
Secara kelembagaan, pengawasan Dana Desa di Kolaka Utara sebenarnya telah melibatkan tiga aktor utama pemerintah daerah setempat, yaitu DPMD, Inspektorat Daerah, dan DPRD melalui peran masing-masing.
Namun, ketiga institusi ini sering kali berjalan sendiri-sendiri. Dalam praktiknya, pengawasan yang dilakukan masih lebih banyak reaktif daripada preventif.
Oleh karena itu, DPRD sebaiknya tidak sekadar menunggu laporan dari masyarakat. Fungsi pengawasan berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah harus ditingkatkan melalui inisiatif agenda khusus bersama pemerintah daerah.
Dana Desa Sebagai Masa Depan Rakyat
Dana Desa adalah salah satu instrumen pemerataan pembangunan paling strategis di Indonesia.
Namun, jika tidak dikelola dengan transparan dan diawasi serius, dana ini justru akan menjadi ironi, di mana harapan berubah menjadi kekecewaan.
Penelitian penulis merekomendasikan perlunya penguatan koordinasi antarinstansi pengawas agar tidak terjadi tumpang tindih tugas. Koordinasi antarlembaga mutlak diperlukan untuk menghindari “saling tunggu” saat dugaan penyimpangan muncul.
Kita tidak bisa lagi membiarkan potensi Dana Desa yang mencapai lebih dari Rp1 miliar per desa tiap tahun lepas kendali.
Karena itu, pemerintah daerah harus dapat memastikan bahwa aparat desa dibekali kemampuan teknis manajemen keuangan dan integritas memadai.
Kepala desa pun jangan asal memfasilitasi pelatihan sekadarnya. Pun demikian dengan masyarakat dari berbagai kelompok dan latar (termasuk NGO dan pers) juga harus diberi ruang untuk ikut memaksimalkan pengawasan.
Mekanisme aduan perlu dibuat mudah akses, dan laporan keuangan desa dipublikasikan secara rutin di tempat-tempat umum atau melalui media online.
Publik harus lantang dan berani bertanya apakah proyek di desa mereka benar-benar dikerjakan? Apakah dana bantuan dimanfaatkan sesuai perencanaan? Untuk kemudian menuntut pertanggungjawaban pengelolaannya.
Pada akhirnya, demokrasi lokal bukan hanya tentang memilih kepala desa, namun juga mengawasi jalannya pemerintahan desa.
Oleh karena itu, pengawasan Dana Desa yang dilakukan secara kolaboratif harus dimaknai sebagai tanggung jawab bersama. Karena sejatinya mengawasi Dana Desa adalah menjaga masa depan rakyat itu sendiri.
*Penulis adakah Dosen Program Studi Administrasi Publik, Universitas Sembilanbelas November Kolaka