Oleh: Mohamad Rivani, S.IP, M.M
*) Pegawai BPS Kota Palu
Ketika Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS RI) merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2021 yang berada di angka 7,07 persen secara tahun ke tahun (y-o-y), melalui rilis resmi pada kamis (5/8/2021), publik seakan tersentak dengan angka yang disajikan oleh BPS, tidak sedikit pihak yang meragukan dan banyak pula yang membenarkan serta optimis dengan kondisi perekonomian Indonesia di triwulan selanjutnya.
Bagi pihak yang ragu (skeptis), pendapat ini mungkin didasari pada pengalaman sebelumnya, yakni kondisi ekonomi indonesia ditahun 2020 yang masuk ke jurang resesi, hal ini terlihat dalam rilis BPS yang menyatakan ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh minus dari triwulan II sampai IV tahun 2020. Bahkan pada triwulan I 2021 ekonomi Indonesia masih terkontraksi 0,74 persen dari triwulan I 2020 (y-o-y).
Berbicara tentang resesi, bukan hal baru bagi perekonomian Indonesia, pada tahun 1998 terjadi resesi pertama di negeri ini akibat gejolak ekonomi dunia yang berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar amerika, disamping hal tersebut, resesi pada saat itu juga dipicu oleh Krisis Politik tanah air dengan maraknya demo menuntut turunnya presiden soeharto, yang membuat keadaan negara dalam situasi darurat dan tidak menentu.
“Julius Shiskin”(1974) menjelaskan bahwa resesi adalah penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) yang terjadi selama dua kuartal berturut-turut. Hal ini juga diterjemahkan lebih luas oleh National Bureaus of Economic Research (NBER) AS, yang menyatakan bahwa resesi adalah penurunan signifikan dalam aktivitas ekonomi yang tersebar di seluruh cabang ekonomi, berlangsung lebih dari beberapa bulan, biasanya terlihat dalam PDB riil, pendapatan riil, lapangan kerja, produksi industri, dan penjualan grosir-eceran.
Akan tetapi, bagi pihak yang percaya dan optimis pada perbaikan ekonomi nasional, melihatnya dari sisi kebijakan makro dan mikro ekonomi Indonesia yang terus mendorong Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan penanganan pandemi Covid-19, melalui Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KCPPEN). Seperti yang kita ketahui bersama bahwa besaran dana PEN tahun 2021 yang dialokasikan oleh pemerintah sebesar Rp 744,75 triliun, yang terus diintensifkan bagi penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional dalam rangka memicu pertumbuhan ekonomi Indonesia agar terus tumbuh kearah yang positif.
Pertumbuhan positif yang dicatatkan oleh Indonesia pada triwulan II 2021 (y-o-y), merupakan sebuah prestasi pemerintah yang patut diapresiasi oleh semua pihak. Karena hal ini tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan, akan tetapi butuh kerja keras dan keuletan serta waktu dalam menghasilkan pertumbuhan positif tersebut.
BPS mencatat, bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II 2021 berdasarkan lapangan usaha mengalami pergerakan positif dengan 3 komponen terbesar penyumbang pertumbuhan, yaitu transportasi dan pergudangan, yang tumbuh sebesar 25,10 persen (y-o-y), disusul oleh penyediaan akomodasi dan makan minum sebesar 21,58 persen (y-o-y), dan industri pengolahan yang tumbuh sebesar 6,58 persen (y-o-y).
Sementara itu, dari sisi pengeluaran, pertumbuhan ekonomi triwulan II 2021 terdorong oleh peningkatan naiknya ekspor barang dan jasa yang tercatat tumbuh luar biasa, yaitu sebesar 31,78 persen (y-o-y), hal ini diakibatkan oleh tingginya permintaan mitra dagang utama Indonesia akan ekspor komoditas unggulan seperti kelapa sawit, batubara dan nikel. Membaiknya kinerja ekspor tak lepas dari dukungan ekonomi global yang mulai kondusif dan membaik semenjak triwulan I 2021.
Senada dengan itu, masih dari sisi pengeluaran, kontribusi pengeluaran rumah tangga dan pemerintah juga meningkat masing-masing sebesar 5,09 dan 8,06 persen (y-o-y). Meningkatnya konsumsi rumah tangga disebabkan oleh dilonggarkannya pergerakan masyarakat ditengah pandemi covid-19, adanya Bantuan Langsung Tunai (BLT) dana desa, hari besar keagamaan dan relaksasi pemberlakuan PPnBM nol persen untuk kenderaan bermotor (pemberlakuan pajak nol persen barang mewah). Sedangkan peningkatan konsusmsi pemerintah didapat dari akselerasi realisasi stimulus fiskal atas belanja barang dan modal melalui PEN, serta belanja pegawai baik dipusat maupun daerah.
Tanda-tanda perbaikan ekonomi Indonesia kearah yang lebih baik juga terlihat pada penguatan sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional, hal ini tercermin dari realisasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada semester I 2021 yang berjumlah 51,96 persen dari total porsi dana KUR yang berjumlah Rp 285 triliun. Tak hanya sampai disitu hal positif lainnya adalah penurunan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia.
BPS mencatat terjadi penurunan angka pengangguran pada februari 2021 dari periode agustus 2020 sebesar 1,02 juta orang. Kemudian selain pengangguran, angka kemiskinan di Indonesia juga mengalami hal yang sama. Dari data yang dipublikasikan oleh BPS, terjadi penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada maret 2021 dibanding periode september 2020. Penduduk miskin pada maret 2021 turun sebesar 0,01 juta orang dibanding periode September 2020.
Dampak dari perbaikan ekonomi Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah selain mengakibatkan kestabilan ekonomi dan naiknya pertumbuhan juga menarik minat investor asing berinvestasi di Indonesia, hal ini tergambar dari realisasi penanaman modal asing (Foreign Direct Invesment) pada triwulan II 2021 sebesar 7,99 miliar dollar AS, nilai ini naik dari triwulan sebelumnya yang sebesar 7,6 miliar dollar AS.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang fenomenal ditengah pandemi covid-19, sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh “Harod-Domard” yang menyatakan bahwa perlunya pembentukan modal (investasi) sebagai syarat pertumbuhan ekonomi yang kokoh (Steady Growth). Bila investasi telah dilakukan pada suatu masa, maka pada masa berikutnya perekonomian akan sanggup memproduksi barang-barang dalam jumlah lebih besar. Keinginan masyarakat dalam pembentukan modal (berinvestasi) ditentukan oleh permintaan agregat (keseluruhan) dari masyarakat dan oleh MEC (Marginal Efficiency of Capital), yakni perbandingan antara pertambahan modal terhadap pertambahan output. Teori ini juga membahas tentang pendapatan nasional dan kesempatan kerja yang berpengaruh terhadap terjadinya pertumbuhan.
PEN sebagai program andalan pemerintah dalam pemulihan ekonomi nasional, terbukti berhasil mengangkat perekonomian Indonesia Kembali rebound di triwulan II 2021, hal ini tidak terlepas dari strategi jitu dan kerja keras pemerintah dalam mengembalikan perekonomian Indonesia yang sempat terperosok di jurang resesi tahun lalu. Selain PEN, keberhasilan pemerintah dalam pembangunan dibidang ekonomi juga tidak terlepas dari peran BPS dalam memotret dan merilis angka pertumbuhan ekonomi nasional secara berkala dengan mengedepankan asas profesionalitas, integritas dan Amanah dalam bekerja. Hal ini sebagaimana visi BPS “Sebagai Penyedia Data Statistik Berkualitas Untuk Indonesia Maju”.
Ungkapan diatas tidaklah berlebihan, karena ditengah pandemi covid-19 para pegawai dan mitra BPS tetap bahu membahu melaksanakan berbagai kegiatan BPS baik Sensus maupun Survei guna menghasilkan berbagai macam instrumen yang diperlukan oleh pemerintah, termasuk menghitung angka pertumbuhan ekonomi nasional secara berkala.
Publik tentu menaruh harapan yang besar terhadap konsistensi dan integritas BPS, agar tetap menjadi institusi yang terus melayani negeri dengan memberikan bakti terbaik melalui penyajian data-data statistik yang jujur dan berkualitas bagi perencanaan dan evaluasi pembangunan di Indonesia. Keinginan ini tentu sejalan dengan tagline hari Statistik Nasional pada tahun ini yaitu “Statistik berkualitas untuk Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh”.