PALU- Beberapa waktu lalu, anggota Komisi III DPRD Sulawesi Tengah (Sulteng) melakukan kunjungan ke sejumlah daerah, diantaranya Luwuk, Morowali Utara dan lainnya, terdampak aktivitas pertambangan.

Kunjungan tersebut bertujuan untuk mengidentifikasi, terkait dampak pertambangan tidak hanya berisiko merusak lingkungan, tetapi juga berdampak negatif terhadap masyarakat setempat.

Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Sulteng H.Musliman menuturkan, saat dirinya berkunjung ke daerah Morowali Utara, terdapat beberapa aliran sungai terhambat, akibat penyempitan saluran sungai yang sengaja dibuat untuk pembangunan jembatan. Hal itu menyebabkan air tidak dapat mengalir dengan lancar.

“Akibatnya, dua kampung di sekitar sungai terendam banjir. Meski sudah diminta untuk membongkar sebagian saluran yang menyempit, ” kata Musliman di Palu, Kamis (4/9) malam.

Selanjutnya kata Musliman, saat berkunjung ke Luwuk Balantak, banyak perusahaan beroperasi di sana diketahui menggunakan mobil tanpa plat (mobil bodong), yang berdampak pada pendapatan daerah hilang.

Selain itu, kata Musliman, adanya kendaraan bermuatan besar dengan plat luar daerah juga menyebabkan pajak kendaraan tidak masuk ke daerah setempat, melainkan ke pusat. Hal ini menjadi isu ketidakadilan karena daerah yang terkena dampak kerusakan malah tidak mendapatkan keuntungan yang layak.

Hal lain kata Musliman, soal perencanaan tambang yang buruk. Sejumlah kejadian insiden di lapangan, seperti longsor dan kecelakaan terjadi akibat perencanaan tidak matang, menunjukkan adanya kelalaian dalam menyusun prosedur tepat.

Misalnya, kata dia, pekerjaan pertambangan dimulai dari atas bukit, padahal seharusnya dimulai dari bawah untuk mencegah longsor.

Selain itu, perencanaan pengelolaan limbah buruk juga menjadi sorotan. Di beberapa tempat, limbah dari pabrik pengolahan dibuang langsung ke saluran air tanpa adanya pengolahan memadai.

“Padahal, seharusnya ada sistem pengelolaan limbah seperti sedimentation pond (kolam pengendapan) untuk memastikan bahwa air limbah tidak merusak ekosistem dan tidak mencemari sumber air masyarakat,” katanya.

Lebih lanjut, kata dia, dampak jangka panjang dari pertambangan, tidak ramah lingkungan juga dikhawatirkan, terutama terkait dengan pencemaran air tanah. Di daerah Poboya, yang menjadi penyangga air bagi Kota Palu, telah terjadi pencemaran air tanah akibat penggunaan bahan kimia berbahaya, seperti air raksa (merkuri), digunakan dalam proses penambangan emas.

“Air raksa yang masuk ke dalam ekosistem dapat mengancam kesehatan masyarakat dalam jangka panjang, dengan dampak yang dapat mencakup gangguan kesehatan serius seperti kerusakan saraf dan cacat lahir,” bebernya.

Oehnya kata dia, melihat dampak-dampak ditimbulkan, pihaknya mendesak agar perusahaan tambang tidak mematuhi aturan dan perencanaan baik untuk segera dihentikan operasinya. Salah satu solusi yang diajukan adalah perlunya pengawasan lebih ketat terhadap kegiatan pertambangan, baik oleh inspektur tambang, pemerintah daerah, maupun pusat.

“Selain itu, perencanaan tambang yang baik dan komprehensif harus disahkan terlebih dahulu sebelum kegiatan eksplorasi dimulai,” ujarnya.

Perusahaan juga diharapkan bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan, baik itu kerusakan lingkungan maupun sosial. Komitmen perusahaan terhadap kelestarian alam, tanggung jawab sosial, serta keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan usaha harus jelas dan tercantum dalam dokumen AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan),” katanya.

Musliman menambahkan, dalam waktu dekat, Komisi III mengundang semua pihak baik perusahaan dan organisaai perangkat daerah (OPD) terkait guna di lakukan rapat dengar pendapat (RDP).

“Semua akan kita undang, guna memperoleh informasi lebih mendalam,” ujarnya.