OLEH: Basrin Ombo*
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mudik memiliki dua pengertian; pertama, mudik adalah kata kerja untuk (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman);
kedua, mudik adalah kata kerja percakapan untuk pulang ke kampung halaman. Sedangkan lebaran adalah nama lain dari hari raya idul fitri yang dirayakan setiap tahun atau setiap bulan Syawalsetelah sebulan umat Islam melaksanakan puasa di bulan Ramadan.
Setiap menjelang lebaran (idul fitri), ada sebuah fenomena menarik di kalangan masyarakat Islam Indonesia, khususnya di kota-kota besar, yakni fenomena mudik.
Fenomena ini dianggap unik karena jarang ditemukan di negara lain meski penduduknya mayoritas beragama Islam. Demikian pula tahun ini, meski negara ini dilanda wabah pandemi Covid-19, namun mudik bagi sebagian masyarakat sangatlah penting dan memilki makna tersendiri bagi mereka yang yang melaksanakannya
Jika dahulu mudik bertujuan untuk sekadar melepas rindu dengan keluarga yang ditinggal di kampung halaman, maka berbeda dengan mudik yang dilakukan sekarang ini. Tradisi mudik sekarang ini tidak lagi hanya mengunjungi keluarga, namun sudah lebih kepada pengakuan akan eksistensi keberhasilannya setelah sekian lama hidup di rantau, sekaligus menjadi momentum untuk berbagi kepada sanak saudara yang telah lama ditinggal untuk ikut merasakan keberhasilannya di perantauan.
Sekalipun mudik itu sudah bergeser dari makna asalnya yakni bersilturahmi setelah lama berpisah, namun ada hal positif yang bisa dimaknai yakni “terapi psikologis” memanfaatkan libur lebaran untuk berwisata,setelah sebelas bulan sebelumnya berjibaku dengan rutinitas pekerjaan.
Bagi masyarakat yang bekerja dengan intensitas tinggi, mudik menjadi sarana “mengistirahatkan raga” sambil “menghibur jiwa” dengan cara berwisata sekalipun itu dilakukan di kampung halaman. Tujuannya adalah setelah pulang dan disaat masuk kerja kembali,telah memiliki semangat baru, siap berjibaku dengan rutinitas yang sudah digelutinya.
Mudik juga bagi masyarakat Indonesia dimaknai dengan memanfaatkan momentum idulfitri untuk bertemu dengan keluarga besar di kampung halaman, sehingga banyak dari pemudik rela merogoh kocek untuk ongkos mudik. Belum lagi, waktu dan tenaga yang harus dikorbankan selama perjalanan, karenamudik bukan sekadar tradisi, tapi sudah menjadi kebutuhan.
Sejarah ‘mudik’ sebenarnya banyak mengundang pertentangan. Namun mudik berdasarkan terminologi pada dasarnya merujuk pada perjalanan pulang, menuju kampung halaman.
Saat mudik, para perantau pulang kampung dengan berbagai aktifitas setelah di kampung halaman, ada yang membersihkan pusara leluhurnya, ada pula yang mendoakan arwah mereka dengan membaca Al-Qur’an, dzikir, serta tahlil, disusul kemudian prosesi tabur bunga.
Biasanya para pemudik jauh-jauh hari sudah mempersiapkan diri mulai menyiapkan jalur perjalanan, mempersiapkan kendaraan bagi yang memiliki kendaraan untuk pulang kampung,atau telah memesan tiket walaupun bulan ramadhan belum tiba, dengan harapan bisa pulang dan tidak kesulitan mendapatkan tiket.
Pemudik rela terjebak dalam kemacetan lalu lintas,antrian yang panjangnya berkilo-kilo meter dan bahkan memakan waktu yang lama, namun bagi pemudik hal itu membawa kesan tersendiri.
Namun di balik keceriaan kita pulang ke kampung halaman atau mudik bertemu dengan sanak keluarga, kita harus bertanya pada diri sendiri “sudahkah” kita membuat persiapan untuk kepulangan ke kampung “Akhirat” sebagaimana persiapan kita mudik pulang ke kampung halaman di saat mudik lebaran? Padahal kepulangan ke kampung “Akhirat”mestinya justru lebih membutuhkan persiapan dan bekal yang lebih dari cukup (yakni persiapan iman dan amal saleh) karena kita tidak akan pernah kembali ke alam dunia lagi, tidak seperti halnya pulang ke kampung halaman yang sifatnya sementara. Wallahul a’lam
*Kepala KUA Kecamatan Lage, Kabupaten Poso