PALU – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palu menggugat 28 perusahaan tambang yang ada di sekitar Kelurahan Watusampu dan Buluri, Kecamatan Ulujadi.
Gugatan perwakilan kelompok “class action” mengenai tanggung jawab social dan lingkungan perusahaan atau CSR tersebut, resmi terdaftar dengan nomor register: 69/Pdt.G/2018/PN PL, di Pengadilan Negeri (PN) Palu, Kamis (21/06).
LBH menggugat ke-28 perusahan tambang tersebut sebesar Rp1 miliar per tahun, dihitung sejak beroperasinya masing-masing perusahaan.
Di antara 28 perusahaan yang digugat itu adalah PT. Davindo Jaya Mandiri, PT. Putra Putri Winata Indonesia, PT. Maxima Tiga Berkat, PT. Putra Klan Balindo, PT. Juba Pratama, PT. Utama Sirtu Abadi, dan PT. Risgun Perkasa Abadi.
Koordinator kuasa hukum penggugat, Agussalim, mengatakan, 28 perusahaan melakukan aktivitas pengelolaan sumber daya alam (SDA) dalam bentuk pertambangan galian C atau non logam, namun tidak pernah sekalipun memenuhi kewajibannya dalam rangka tanggung jawab social dan lingkungan.
“Padahal, jika kita melihat aturan perundang-undangan yang mengatur tentang tanggung jawab social dan lingkungan bagi perseroan yang bergerak dalam pengelolaan SDA, maka sudah seharusnya kehadiran investasi dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar,” bebernya.
Tapi faktanya, lanjut dia, yang terjadi justru sebalilknya. Masyarakat sekitar tidak mendapatkan manfaat dari adanya puluhan perusahaan tersebut. Bahkan, sejak masuknya puluhan perusahaan itu, sumber-sumber penghidupan agraria masyarakat seperti bercocok tanam, beternak, dan nelayan, turun drastis.
Di luar pengadilan, puluhan warga yang tergabung dalam Aliansi Palu Monggaya melakukan unjuk rasa dengan melakukan orasi secara bergantian sambil membentangkan spanduk serta membagi-bagikan pamflet kepada pengguna jalan yang melintas.
Sekretaris Jendaral (Sekjen) Aliansi Palu Mongaya, Fajar Maulana, menyatakan, Pemerintah Kota (Pemkot) dan DPRD Kota Palu telah melakukan penyalahgunaan kekuasan dalam program menyejahterakan masyarakatnya, dengan tidak melaksanakan undang-undang yang berhubungan dengan tata kelola CSR.
Kata dia, sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 40 tentang Perseroan Terbatas pada Tahun 2007, Pemkot Palu tidak menyosialisasikan kepada masyarakat yang bermukim di sekitar perusahaan.
Selain itu, Perda Nomor 13 Tahun 2016 yang mengatur tentang CSR, juga terlihat dibuat secara tidak professional dan sarat kepentingan pribadi maupun golongan.
Kehadiran massa sejak pukul 10.30 Wita itu juga dalam rangkan mengawal pendaftaran gugatan ke pengadilan. Sekitar 6 jam mereka menunggu pendaftran gugatan sampai selesai pada pukul 15.00 Wita.
Usai pendaftaran gugatan, mereka lalu membubarkan diri dengan tertib dengan pengawalan aparat kepolisian. (IKRAM)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.