Kuasa Hukum Nyatakan Banding

oleh -
Suasana konferensi pers terkait vonis penjara kepada Hemsi, di Sekretariat AJI Kota Palu, Rabu (27/03). (FOTO: MAL/IKRAM)

PALU- Ketua Majelis Hakim, Pengadilan Negeri (PN) Pasangkayu, Estavano Purwanto, baru saja menjatuhkan vonis lima bulan penjara kepada Hemsi alias Frans.

Petani Rio Pakava Kabupaten Donggala ini menjadi terdakwa karena memanen sawit di kebunnya sendiri. Dia dilaporkan oleh PT. Mamuang.

Menyikapi putusan tersebut, Manager Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulteng, Stevandi, menyatakan, putusan ini memberikan bukti konkret bahwa tidak ada keberpihakan kepada petani.

“Untuk kasus putusan kriminalisasi kepada petani ini sudah kesekian kalinya. Di tahun 2017, ada 4 Petani di Polanto Jaya (Rio Pakava) yang juga diputus kurungan penjara oleh Pengadilan Negeri Pasangkayu,” katanya saat menggelar konferensi pers di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu, Rabu (27/03).

BACA JUGA :  Risnawati Siap Perjuangkan Aspirasi Masyarakat Buol dan Tolitoli

Hal itu, kata dia, menjadi bukti bahwa penegakan dan supremasi hukum telah dikangkangi pengadilan.

Sebab, kata dia, Hemsi dapat membuktikan dengan surat-surat atas kepemilikan lahan tersebut. Sedangkan PT. Mamuang tidak dapat membuktikan dengan menunjukan peta HGU.

Kuasa hukum dari Hemsi, Rasyidi Bakri, mengatakan, kasus ini sebenarnya murni perdata, sebab Hemsi memiliki dokumen-dokumen pendukung yang memperkuat hak kepemilikan lahan itu.

“Bila perusahaan mengklaim lahan tersebut miliknya, harusnya perusahaan menggugat Hemsi,” ujarnya.

BACA JUGA :  Satu Anggota DPRD Sulteng Jalani Pelantikan dari Dalam Lapas

Tapi yang terjadi kemudian, kata dia, perusahaan melapor ke polisi dan polisi langsung melakukan penangkapan tanpa mengecek lebih dulu, siapa sebenarnya pemilik lahan.

“Bila sudah ada kepastian hukumnya, siapa yang paling berhak atas lahan tersebut, baru bisa dikatakan bila Hemsi mengambil buah di lahan tersebut atau dikatakan mencuri,” katanya.

Kuasa hukum lainya, Adi Prianto, mengatakan, intinya perusahaan tidak bisa menunjukan peta HGU dan BPN Pasangkayu tidak bisa menunjukan titik koordinatnya.

“Lalu kemudian dikatakan ini lahan Hemsi, tapi sawitnya milik perusahaan, bagaimana mungkin. Ada surat penyerahan lahan, tanam sawit tahun 2006, lalu dikatakan milik perusahaan. Dan banyak fakta persidangan lainnya yang tidak menjadi pertimbangan hakim,” ujarnya.

BACA JUGA :  Anwar Hafid Yakinkan Masyarakat Bisa Berkontribusi Lebih Besar untuk Sulteng

Meski Hemsi hanya diputus sehari, tetap kata dia, tetap dikatakan terpidana.

“Kasus Hemsi adalah puncak gunung es petani berhadapan dengan perusahaan besar. Hemsi tidak dipandang seorang pribadi, tapi dipandang sebagai bagian dari kelompok tani. Untuk itu kami tidak akan berhenti, terus akan mendampingi Hemsi dan sudah menyatakan banding,” tutupnya. (IKRAM)