OLEH: Jamrin Abubakar*
MENGENAI kehadiran David Woodard seorang kapten kapal dagang Amerika Enterprise bersama 4 orang anak buahnya di Donggala 1793-1795 disebabkan karena penyanderaan.
Kisah tersebut sebetulnya lebih lengkap dalam buku The Narrative of Captain David Woodard karya William Vaughan diterbitkan di London tahun 1804.
Sebagai pembaca, saya mengapresiasi karena lokasi ceritanya telah menjadi bagian dari wilayah dimana saya dapat merasakan tempat tersebut, DONGGALA sesuai peta waktu itu ditulis Dungally. Setidaknya pembaca dapat memperoleh gambaran tentang kehidupan sosial politik, ekonomi dan budaya masyarakat Kota Donggala abad ke 18 atau 228 tahun silam. Ketika itu sebutan Donggala ditulis Dungally.
Dari kisah itu pula dapat diketahui tentang tokoh agama Islam bergelar Toean Hdjee atau Tuan Haji. Kehadirannya sangat kuat dalam kehidupan politik memiliki pengaruh pada pemimpin adat (raja) yang berkuasa.
Woodard bukanlah etnolog, maka dalam mengidentifikasi orang yang tinggal di Donggala dan sekitarnya ketika itu tidak berdasarkan sebutan etnis lokal. Melainkan dengan sebutan orang Melayu sebagaimana lazimnya berbahasa Melayu di wilayah Nusantara, maka orang Donggala diklasifikasikan sebagai Melayu.
Di antara kisah David Woodard, yaitu sewaktu berada di Towale dan Donggala tahun 1793-1795 ketika itu dianggap unik dan aneh oleh warga setempat. Bersama rekannya dikerumuni warga, bahkan badannya diperiksa hingga didudukkan di kursi persidangan oleh kepala suku atau sebagai raja.
Saking ketakutan ia sempat berlutut di kaki kepala suku untuk minta pengampunan agar tidak dibunuh. Hari pertama hanya disuguhkan kelapa muda sebagai makanan, padahal mereka sangat lapar.
Makanan selanjutnya yang sering dinikmatinya yaitu jagung dan makanan (roti) terbuat dari sagu, bahkan di antara rekan David ikut membuat sagu di tengah hutan bersama warga. Apalagi mereka pun akhirnya menyatu dengan masyarakat dan ditempatkan dalam sebuah rumah, sehingga dapat mencari sendiri makanan.
Diceritakan suatu hari, Woodard dan kawan-kawannya berhasil menangkap seekor babi hutan dengan cara menombak. Namun warga sempat keberatan karena bagi warga muslim, binatang itu haram dikonsumsi, namun Woodard kemudian setelah mengasapi daging itu ia sembunyikan dengan bungkusan daun di tengah hutan. Setiap hendak makan barulah ia mengambilnya lagi, hal ini dilakukan hingga 10 hari.
Perkawinan Putra Raja Bajak Laut
Kisah pelaut itu bukan saja menyedihkan dan tragis, tapi sekaligus diwarnai pergulatan yang lucu di tengah masyarakat yang masih sangat polos ketika itu. Dari kisah itu pula diceritakan ada seorang tokoh berpengaruh dan sangat dihormati, akrab disapa Tuan Haji, namanya Haji Omar.
Ketika seorang raja yang juga bajak laut dari Mindanau, Filipina dengan nama Raja Tomba datang ke Donggala dengan maksud melamar putri Raja Tooa di Donggala, maka Tuan Haji itulah yang menjadi salah satu mengrus perkawinan. Ternyata antara Raja dari Mindanao dan Tuan Haji itu sudah saling kenal sewaktu pergi ke Mindanao.
Sebutan raja Tooa (berarti raja yang tua, David tidak menyebut nama sebenarnya raja itu). Kecuali putra raja tooa disebutnya Arvo pada saat itu kekuasaan telah dilimpahkan padanya sebagai raja muda Donggala).
Kesaksian Woodard dalam prosesi pelamaran hingga perkawinan antara putra raja dari Mindanao dengan putri Raja Donggala itu sangat menarik disimak, di situ digambarkan suasana yang sangat dramatis sekaligus syarat dengan nilai-nilai kultur orang Donggala ketika itu sangat kental. Imajinasi pembaca dapat merasakan betapa mewahnya pesta anak raja ketika itu.
Dalam prosesi kedatangan putra Mindanao itu saja dilakukan secara teatrikal dengan pertempuran palsu dikawal 20 awak kapal bersenjata lengkap yang kemudian disambut pula 30 orang bersenjata dengan perisai lengkap hingga rombongan menuju gerbang kota.
Tradisi yang tersisa
Dalam kesaksian tentang jejak-jejak kisah David Woodard tentang kota Donggala 200 tahun lebih di masa silam itu, sudah banyak yang berubah dan tak terlacak. Di antaranya nama Travalla yang disebutnya sebuah kota yang letaknya agak ke selatan dari Donggala.
Di kota Travalla itulah pertama kali David dibawa untuk diadili dalam pertemuan pertemuan. Travalla yang dimaksud itu kini dikenal sebagai Desa Towale (Tovale).
Towale merupakan salah satu desa di Kecamatan Banawa Tengah, sekitar 17 km dari Kota Donggala. Towale (Tovale) memang merupakan kampung tua di Banawa, kaya dengan cerita rakyat atau legenda sejak zaman dahulu nyaris dipercaya sebagian warga setempat.
Jejak masa silam yang masih tersisa saat ini yaitu tradisi menenun kain (disebut sarung Donggala) paling banyak terdapat di Towale. Pada saat Woodard datang ke Donggala tahun 1793, ia masih menyaksikan orang membuat kain.
Menariknya, saat itu bahan tenun semuanya terbuat dari kapas yang ditanam penduduk setempat dan dipintal sendiri hingga menjadi kain sutra dengan pewarna celupan.
Bedanya dengan sekarang, tidak lagi dengan kapas buatan, melainkan dengan benang-benang hasil pabrik modern yang kemudian dipintal dengan alat tenun bukan mesin.
Jejak pembuatan makanan dari bahan sagu yang disebut somo dan jepa hingga kini bisa pula dirasakan di Kecamatan Banawa Tengah dan Banawa Selatan tak jauh dari kota Donggala. Tradisi ini belum berubah sejak kehadiran para bajak laut ke Donggala, ketika zaman hukum internasional belum berlaku seperti saat ini.
Dalam sejarah bahari Indonesia, David Woodard hanyalah salah satu dari sekian orang asing pernah datang ke Donggala dalam petualangan. Woodard berada dalam penyanderaan di Donggala antara tahun 1793-1795. Selanjutnya setelah ia kembali ke Amerika melalui Makassar dan Batavia tahun 1795.
*Penulis adalah Pemerhati Sejarah dan Budaya/Wartawan Senior Media Alkhairaat