Negeri ini memang tak kehabisan kisah korupsi. Saban hari, peristiwa pencurian uang rakyat ini tersaji di hadapan kita. Di Sulawesi Tengah. kisah korupsi kini sudah merambah di tingkat desa. Sejumlah kepala desa tak malu-malu lagi memperagakan aksi pencurian dana desa. Akibatnya negara dirugikan paling sedikit ratusan juta.
Bukannya menjadi daya dorong peningkatan kesejahteraan masyarakat desa, “banjir” uang di tingkat desa, justru menjadi mimpi buruk aparat desa, wa bilkhusus kepala desa (kades). Atas nama keserakahan, uang miliaran itu salah kelola, sebagian besar masuk ke kantong pribadi kades. Bahkan untuk seorang kepala desa yang jauh dari tuntutan kebutuhan kota, sudah berani dan terang benderang menggondol uang rakyat.
Mengapa mereka menggandrungi korupsi? Harus berani dikatakan bahwa berbagai sanksi dan hukuman yang selama ini dijatuhkan kepada koruptor, belum menimbulkan efek jera. Fakta yang ada terang benderang memperlihatkan makin ringannya vonis untuk koruptor. Pada 2013 rata-rata lama vonis penjara terpidana korupsi ialah 2 tahun, 11 bulan, sedangkan pada 2015 hanya 2 tahun 2 bulan.
Tidak hanya itu. Sadar atau tidak, negara ini selalu membentangkan karpet merah untuk koruptor berupa fasilitas remisi. Meski ketentuan perundang-undangan menyebutkan remisi hanya untuk koruptor kategori justice collaborator, toh remisi diobral untuk semua koruptor. Bahkan, kini, ketentuan justice collaborator hendak dihapus.
Pada saat yang sama, makin terkikisnya budaya malu dan bersalah, membuat masyarakat juga permisif dan bahkan cenderung mudah melupakan pejabat negara yang melakukan korupsi. Paripurnalah sudah kala koruptor juga dilegalkan menjadi calon kepala daerah.
Bahkan terjadi regenerasi koruptor secara apik. Kini koruptor rata-rata berusia belia dibawah 40 tahun. Mereka dengan mudah mengeruk uang rakyat dalam jumlah miliaran dalam tempo singkat. Keterlibatan kaum perempuan juga ikut meningkat.
Salah satu penyebab gagalnya upaya pemberantasan korupsi yang selalu ditekankan melalui forum ini ialah karena hukuman untuk koruptor di Indonesia terlalu ringan sehingga tidak membangkitkan rasa takut.
Alih-alih memberikan efek jera, vonis-vonis yang dihasilkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi lebih membuat calon koruptor menghitung-hitung bahwa mencuri uang negara tidak boleh tanggung-tanggung. Kalkulasinya, harta yang diperoleh dari praktik itu harus lebih bernilai daripada hukuman yang diterima bila kelak mereka terjerat hukum.
Hukuman tanpa efek jera itu membuat korupsi menjalar lebih cepat dan lebih sigap daripada kecepatan pemberantasan praktik busuk itu.
Sulteng pun tak mau ketinggalan dengan daerah lain. Sulteng juga memiliki data yang lumayan terkait kades yang korupsi.
Bukannya berkurang atau malah habis, pencurian uang negara atau korupsi di Sulteng, justru terus bertambah. Dari tahun ke tahun, selalu saja ada antrian panjang koruptor yang dijebloskan ke jeruji besi.
Dalam kurun waktu sepanjang tahun 2018 hingga Maret 2019, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Negeri (PN) Palu, telah menyidangkan sejumlah kasus dugaan korupsi penyalahgunaan Alokasi Dana Desa (ADD) dan Dana Desa (DD).
Kasus ini tidak hanya melibatkan kades, tetapi juga menjerat sekretaris dan bendahara desa. Dari sekian kasus tersebut, di antaranya sudah divonis dan sebagian lainnya masih berproses di pengadilan.
Berikut kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala desa dan aparatnya sepanjang 2018 hingga Maret 2019:
Kepala Humas Pengadilan Tipikor PN Palu, Lilik Sugihartono, belum lama ini menuturkan sejumlah dugaan korupsi tersebut, sebagaimana data yang diperolehnya dari Panitera Muda Tipikor, yakni dugaan korupsi ADD dan DD Meko, Kecamatan Pamona Barat yang melibatkan kadesnya, Cornelius Gintu, dengan kerugian Negara sebesar Rp109 juta.
Oleh hakim PN Palu, Cornelius Gintu telah divonis satu tahun dan 10 bulan penjara, membayar denda Rp50 juta, subsider tiga bulan kurungan. Dia divonis pada Rabu (28/03/2018).
Kemudian kasus dugaan korupsi di Desa Meselesek, Kecamatan Bulagi, Kabupaten Banggai Kepulauan tahun anggaran 2015 yang melibatkan kades Damstuph Liytan yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp200 juta. Dia telah divonis penjara pada Kamis (3/5/2018) selama empat tahun penjara, membayar denda Rp200 juta, subsidair 3 bulan kurungan, membayar uang pengganti Rp200 juta, subsider tiga bulan penjara.
Selanjutnya kasus dugaan korupsi ADD dan DD Tahun 2015 yang melibatkan Samsu Taher. Perbuatan Kades Sioyong, Kecamatam Dampelas, Kabupaten Donggala ini telah merrugikan Negara sebesar Rp93 juta.
Meski demikian, dia hanya diputus dua tahun penjara, denda Rp50 juta, subsider tiga bulan kurunga, membayar uang pengganti Rp93 juta, subsider enam bulan penjara. Dia divonis Senin (23/07/2018) silam.
Setelah itu, kasus dugaan korupsi di Desa Bugis, Kecamatan Mepanga, Kabupaten Parigi Moutong (Parimo) Tahun 2016. Kasus yang melibatkan Sekretaris Desa, Moh. Nur ini diputus pada 13 Maret 2018 dengan hukuman satu tahun dan enam bulan penjara, membayar denda Rp50 juta, subsidair tiga bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp52 juta, subsider tiga bulan penjara.
Lebih lanjut, kasus dugaan korupsi Desa Ogoalas, Kecamatan Tinombo, Kabupaten Parimo, dengan kerugian negara Rp293 juta. Kasus ini melibatkan Diah Kusummah Indasari selaku Penjabat Kades Ogoalas.
Wanita ini telah divonis oleh majelis hakim pada Kamis (28/6/2018) selama satu tahun dan delapan bulan, membayar denda Rp50 juta, subsider empat bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp276 juta, subsidair satu tahun dan delapan penjara.
Ada lagi kasus korupsi di Desa Dolago, Kecamatan Parigi Mautong yang melibatkan kadesnya, Moh. Arsyad. Perbuatannya membuat negara mengalami kerugian sebesar Rp22 juta. Arsyad pun harus mendekam di penjara selama empat tahun, ditambah denda Rp200 juta, subsider satu bulan.
Lebih lanjut kasus korupsi Desa Santigi, Kecamatan Tolitoli Utara, Kabupaten Tolitoli tahun 2017 yang merugikan negara sebesar Rp122 juta.
Pejabat kades yang terlibat, yakni Bahmid Nawir dihukum 1 tahun dan 10 bulan penjara, denda Rp50 juta, subsidair 1 bulan dan membayar uang pengganti Rp97 juta, subsidair 3 bulan penjara.
Terdakwa lainnya dalam kasus yang sama, yakni Mukmal selaku sekretaris desa, diberi hukuman 1,5 tahun penjara, membayar denda Rp50 juta, subsider satu bulan dan membayar uang pengganti Rp24 juta, subsidair dua bulan penjara.
Selain itu masih banyak lagi kasus korupsi yang telah divonis, seperti Kades Tinggede, Aslam L. Bongo dan bendaharanya Naurjanah Sahala dan Pj Bendahara Desa Balukang, Kecamatan Sojol, Kabupaten Donggala, Delviana.
Yang terbaru, tahun 2019, adalah dugaan korupsi di Desa Towu, Kecamatan Poso Pesisir, tahun 2017 yang menyeret Ramli Palangi selaku kades.
Oleh hakim, Ramli dijatuhi vonis pidana penjara selama 6 tahun, membayar denda Rp200 juta, subsider tiga bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp628 juta, subsider 2 tahun penjara. Dia diputus pada Kamis (10/01/2019).
Kemudian korupsi Desa Pinamula, Kecamatan Momunu, Kabupaten Buol tahun 2017 yang merugikan negara Rp64 juta.
Sang kades, Sapri Talib Lama Pela dihukum penjara 2 tahun dan 8 bulan, membayar denda Rp50 juta, subsidair 6 bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp64 juta, subsider 6 bulan kurungan.
Dia bersama bendahara desa, Husen Talib diputus pada Rabu (9/1/2019). Husen sendiri divonis 2 tahun dan 7 bulan penjara, membayar denda Rp50 juta, subsidair 5 bulan kurungan, membayar uang pengganti Rp 21 juta, subsider 5 bulan penjara
Di bulan Maret 2019, majelis hakim juga telah menjatuhkan vonis 1 tahun penjara, denda Rp50 juta, subsider 1 bulan kurungan kepada Suharto dg L Matutu.
Suharto merupakan Pj Kades Simuntu, Kecamatan Dampal Selatan, Kabupaten Tolitoli.
Selanjutnya kasus dugaan korupsi Desa Batusuya Goo, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, Tahun 2016. Kasus yang menyeret kades, Indra Jaya Yotce ini merugikan negara sebesar Rp376 juta.
Hakim telah menjatuhkan vonis penjara kepadanya pada Rabu (13/3/2019) selama dua tahun, denda Rp50 juta, subsider 3 bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp108 juta, subsider 10 bulan penjara.
Di hari yang sama, majelis hakim juga menjatuhkan vonis 5 tahun penjara kepada Doni Lakadjo. Kades Dolom, Kecamatan Lobu, Kabupaten Banggai ini terlibat korupsi ADD dan DD pada tahun 2017. Selain vonis penjara, yang bersangkutan juga dikenakan denda Rp200 juta, subsider 3 bulan kurungan.
Setelah itu, kasus korupsi di Desa Luok, Kecamatan Walea, Kabupaten Donggala yang merugikan negara Rp181 juta. Kasus ini menyeret kepala desa, Hamran M. Said.
Oleh hakim, Hamran sudah divonis penjara selama 4 tahun, membayar denda Rp200 juta, subsider tiga bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp181 juta, subsider 3 bulan penjara.
Ada lagi kasus korupsi Desa Poi, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi tahun 2016 yang merugikan negara Rp124 juta. Kasus ini menyeret kades, Moh. Fahmil.
Oleh hakim, Fahmil divonis 1 tahun dan 10 bulan penjara, membayar denda Rp50 juta, subsider 3 bulan kurungan dan membayar uang pengganti sejumlah Rp74, 8 juta, subsider 10 bulan penjara.
Selain itu ada kasus yang menyeret Kades Towale, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, Arjun Sinanang dan Sekdes, Heni. Keduanya juga sudah divonis penjara.
Kasus korupsi Desa Tangkura, Kecamatan Poso Pesisir Selatan, Kabupaten Poso, tahun 2015, yang menyeret Kades, Daut Marianto.
Kasus dugaan korupsi Desa Sukamaju, Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai tahun 2017 yang menyeret Kades Suyanto. Kasus ini menimbulkan kerugian Rp205 juta.
Kasus korupsi Desa Mbeleang, Kecamatan Bangkurung, Kabupaten Banggai Laut, tahun 2016 yang menyeret kades, Mudaprasa Saono dan bendahara desa, Subu Sasono.
Kemudian korupsi ADD dan DD Buko, Kecamatan Buko, Kabupaten Banggai Laut yang menyeret Kades, Sakder Piye. Kasus ini merugikan negara sebesar Rp195 juta.
Dan terakhir kasus dugaan korupsi di Desa Lampasio, Kecamatan Lampasio, Kabupaten Donggala tahun 2016. Kasus ini menyeret Kades, Ahmad Yusuf, ditengarai merugikan negara sebesar Rp436 juta.
Kasus yang menyerat Ahmad Yusuf dan beberapa kades lainnya itu sedang berproses di pengadilan. (IKRAM)