KontraS, Serikat Petani Petasia Timur, dan Lokataru Foundation Tuntut Tanggung Jawab Perusahaan dan Negara

oleh -
Aktifitas karyawan di PT GNI, Kabupaten Morut, Sulteng. (Foto: Dok. Polda Sulteng)

MORUT – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Serikat Petani Petasia Timur dan Lokataru Foundation mendesak PT Gunbuster Nickel Industri bertanggung jawab secara penuh atas peristiwa kerusuhan yang terjadi.

“Perusahaan harus memberikan pemulihan (restitusi, rehabilitasi, dan kompensasi) kepada para korban akibat aktivitas perusahaan,” kata Ketua Serikat Petani Petasia Timur Noval A Saputra turut didampingi KontraS, Helmy Hidayat Mahendra dalam keterangan tertulis diterima MAL Online, Selasa (17/1).

Selain itu, menurut nya, perusahaan harus melaksanakan peraturan perundang-undangan baik secara nasional maupun rekomendasi secara internasional untuk dapat menjamin hak-hak para pekerja.

“Negara atau Kementerian terkait untuk dapat melakukan investigasi secara menyeluruh terkait dengan peristiwa kerusuhan PT GNI, serta mengungkap kepada publik secara transparan,”bebernya.

Selain itu, pihaknya mendesak pemerintah daerah maupun pemerintah pusat untuk melakukan evaluasi secara mendalam guna mencegah adanya keberulangan peristiwa di kemudian hari.

BACA JUGA :  Disaksikan Presiden RI, PT Vale-GEM Jalin Kolaborasi Strategis Investasi Produksi Nikel Net-Zero di Sulteng

“Lakukan evaluasi terkait dengan sistem keselamatan dan kesehatan kerja pada setiap perusahaan di Indonesia,”ujarnya.

Ia menyebutkan,pihaknya menyayangkan bentrokan terjadi di PT Gunbuster Nickel Industri (GNI), Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah Sabtu, (14/1) lalu.

Berdasarkan informasi pihaknya dapatkan,peristiwa bentrokan antara pekerja tersebut didasari oleh aksi unjuk rasa dan mogok kerja dilakukan oleh pekerja guna menuntut hak pekerjaan yang dijalankan, terkait dengan permasalahan APD, pemotongan gaji, permasalahan debu dan penerangan, kerusakan alat, tunjangan skill yang dihilangkan, peraturan tidak tertulis, tidak adanya mesin penghisap, perbedaan uang lembur, gaji, surat peringatan, peraturan surat peringatan, dan pembagian masker.

‘Secara utuh, tuntutan tersebut merupakan hak seharusnya didapatkan oleh pekerja, tetapi kami menduga perusahaan lalai dalam hal pemenuhan hak kepada para pekerjanya,” jelasnya.

BACA JUGA :  CEO PT Vale Febriany Eddy kembali Masuk Daftar Perempuan Paling Berpengaruh di Asia

Buntut dari mogok kerja yang berimbas pada kerusuhan yang mengakibatkan jatuhnya 1 tenaga kerja Indonesia (TKI) dan 1 tenaga kerja asing (TKA) meninggal.

Pihaknya juga mencatat kasus jatuhnya korban jiwa dalam perjalanan PT GNI tidak terjadi pada sabtu lalu, terdapat 6 peristiwa lainnya yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa sejak 2020, antara lain, karyawan proyek smelter PT GNI meninggal tertimpa tiang pancang.

Sepanjang 2020 terdapat 3 pekerja meninggal; operator excavator tertimbun longsor; karyawan tewas terlindas dump truck, karyawan terseret longsor dan dipaksa bekerja tanpa penerangan; dan operator alat berat terjebak api.

BACA JUGA :  Sadly: Barang Milik Daerah Harus Dikelola dengan Baik

Masifnya peristiwa tersebut membuktikan perusahaan sebesar PT GNI tidak memberikan jaminan perlindungan serta hak atas rasa aman bagi para pekerja.

Jatuhnya korban jiwa dalam perjalanan PT GNI, menunjukkan belum adanya evaluasi serta tanggung jawab dilakukan oleh PT GNI serta pemerintahan terkait dengan banyaknya korban jiwa dalam berjalannya perusahaan tersebut.

Dalam praktik berjalan PT GNI tidak mengindahkan prinsip dasar tanggung jawab perusahaan dalam pemenuhan hak asasi manusia sebagaimana tertuang dalam Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs).

Dalam UNGPs setidaknya terdapat tiga pilar utama terkait dengan protect, respect, dan remedy.

Reporter: IKRAM/Editor: NANANG