Perbandingan Hasil Tangkapan dengan Tahun-tahun sebelumnya
Lulusan STM itu berpikir sebentar sambil menghitung hasil tangkapannya. Dia kemudian menjelaskan bahwa tahun-tahun sebelumnya, hasil tangkapannya lebih banyak, bisa mencapai 3 sampai 4 kali lipat dari biasanya saat ini.
Dahulu, satu nelayan cakalang dapat memancing ikan 20 sampai 40 ekor. Sebenarnya ikan-ikan diperairan Banggai masih banyak, kata dia.
“Tetapi saat ini jumlah nelayan semakin banyak. Ikan sih saya rasa tidak berpengaruh. Cuma memang kalau dibandingkan 10 tahun lalu, 5 tahun lalu, di masa-masa itu memang masih tangkapan luar biasa. Cuma kalau sekarang ada juga, tapi tidak sama dengan yang dulu.”
Berkurangnya hasil tangkapan menjadi tantangan baginya untuk tetap bertahan dengan profesi ini. Pergi dengan menghabiskan biaya operasional yang cukup besar, kembali ke rumah hanya membawa es batu yang nyaris masih utuh.
Hanya satu atau dua ekor, bahkan tidak mendapatkan hasil tangkapan sama sekali. Seperti di hari Senin (10/04) dia hanya mendapatkan satu ekor cakalang.
Tantangan lainnya tentu saja cuaca dan kendala teknis yang pasti pernah dirasakan semua nelayan seperti mesin ketinting yang mati, as patah, sema-sema patah, dan lainnya.
Farhan sendiri pernah beberapa kali mengalami kendala teknis tersebut meski tidak sering. Saat awal-awal melaut, dia panik ketika berada di tengah laut dan mesinnya mati. Tetapi kemudian ia menanamkan agar tidak panik sembari menunggu bantuan. Karenanya hampir semua nelayan memiliki gawai biasa yang hanya dapat mengakses sms dan telepon saja, karena kuat menangkap sinyal.
“Patah sema, saya lompat ke laut untuk sambung semanya. Itu pernah beberapa kali. Kalau mati mesin, pernah satu tahun lalu. Kalau dapat kendala begitu, itu tetap menunggu di atas perahu, di tengah laut, tidak menepi ke daratan, karena memang ada di tengah laut. Pernah juga hampir tenggelam pada saat musim ombak, tapi jangan panik,” katanya.
Selain tantangan, para nelayan juga memiliki pantangan ketika mereka pergi melaut. Tidak boleh membawa beras pulut merah, meski sudah diolah menjadi penganan. Tidak pula bisa membawa nasi kuning. Jika membawa pantangan itu, akan berombak meski laut sedang teduh atau tidak musim ombak.
“Kalau makan, sisa-sisa makanan jangan buang ke laut, minum kopi juga begitu, ampas kopi jangan buang ke laut. Buang di perahu, kapan sampai pante atau daratan, daratan mana saja, baru dibuang. Kalau dibuang ke laut, selain karena mendatangkan ombak, hantu laut muncul. Itu pernah dialami orang-orang, sehingga kita langsung patuhi. Intinya apa yang kita bawa dari darat jangan ditinggalkan di laut,” terangnya.
Nelayan Pamansam tersebut masih menangkap ikan dengan metode tarik ulur. Mereka berkomitmen menggunakan pancing tradisional dan menolak didatangkannya bagan, pukat harimau, pukat cincin. Karena dapat membuat nelayan kecil tersisi.
“Jadi kitorang masih pertahankan, pancing tradisional. Karena kitorang di sini memang di Luwuk Banggai, khususnya perairan peling, masih punya potensi pancing tradisional.”
Farhan menutup ceritanya dengan menjelakan kata Pamansam yang pelafalannya seperti Paman Sam, yang langsung membawa pikiran kita ke negara adidaya, Amerika Serikat.
Pamansam adalah koperasi mereka yang kini mulai mendapat sentuhan dari pemerintah daerah. Mereka menamai wadah mereka bertumbuh itu dengan nama Peneti Pamansam Toa’mae: Persatuan Nelayan dan Petani Pantai Maahas Nyaman, Aman, Sejuk dan Menarik.
“Sedangkan kata Toa’mae berasal dari bahasa saluan, artinya perhatikan kemari. Ini sebenarnya lebih ditujukan kepada pemerintah. Kata ajakan untuk liat kita, perhatikan kita. Sementara peniti ini, biasa ditaro di jilbab atau kain, itu melambangkan kekompakan dan kesolidan,” pungkasnya.
Reporter : Iker
Editor : Rifay