JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) beserta koalisinya meminta negara harus bertanggung jawab atas meninggalnya Erfaldi, demonstran tewas pada aksi penolakan aktivitas tambang PT Trio Kencana 12 Februari 2022 silam.
Koalisi terdiri dari WALHI Nasional/Sulteng, JATAM Nasional/Sulteng dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
“Kami meminta Negara harus bertanggung jawab atas meninggalnya Erfaldi,” kata Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sulteng Sunardi Katili dalam konferensi pers secara zoom, Jumat (10/3).
Ia juga mengecam vonis bebas terhadap Bripka Hendra oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Parimo, padahal hasil uji balistik lab forensik Makasar dan pernyataan Kapolda Sulteng bahwa proyektil peluru identik dengan pistol digunakan Bripka Hendra.
“Tapi dalam pembuktian Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak kuat sehingga majelis hakim memvonis bebas terdakwa Bripka Hendra,” ujarnya.
Dalam proses hukumnya, kata dia, pihaknya juga menilai ada kejanggalan, seperti pada saat rekonstruksi Bripka Hendra tidak dihadirkan. Dan Jaksa menggunakan dakwaan alternatif, tidak menggunakan dakwaan tunggal.
Ia memaparkan, sampai saat ini sekitar 42 persen warga tiga kecamatan menolak keberadaan PT Trio Kencana, apalagi aksi protes warga ini dilakukan sejak 2010.
Bahkan menurutnya, sejak peristiwa meninggalnya Erfaldi, Izin PT Trio Kencana tidak pernah dievaluasi.
“Sungguh tidak ada lagi keadilan, keberadaan PT. Trio Kencana sebagai akar penyebab peristiwa tewasnya Erfaldi ini tidak kunjung dievaluasi, sedangkan putusan bagi meninggalnya (alm) Erfaldi mengaburkan siapa mesti bertanggungjawab,” pungkasnya.
Direktur Jaringan advokasi tambang (JATAM ) Sulteng Mohammad Taufik sangat menyesalkan penanganan aksi demonstran menyebabkan meninggalnya Erfaldi, rentetan aksi itu tidak terpisah dari rangkaian aksi sebelumnya meminta pejabat Sulteng hadir datang menemui masa aksi.
Ia menyesalkan, proses pengamanan masa aksi oleh aparat menggunakan senjata dan peluru tajam. Padahal tindakan tersebut dilarang berdasarkan Perkpolri Nomor 16 tahun 2006.
“Lagi pula paska aksi dari 58 warga ditangkap, tiga orang dijadikan tersangka,sampai saat ini didampingi Walhi dan Jatam,” imbuhnya.
Sementara kakak dari Erfaldi almarhum, Ervina mengatakan, keluarga merasa kecewa atas putusan bebas majelis hakim Parigi terhadap Bripka Hendra atas hilangnya nyawa adiknya Erfaldi.
“Putusan bebas ini tidak memenuhi rasa keadilan bagi keluarganya.Bahkan putusan bebas itu, berdampak pada phisikologi ayahnya mengalami depresi,” katanya.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Edy Kurniawan Wahid juga merasa kecewa dan menciderai rasa keadilan atas putusan bebas hakim, dari tuntutan JPU menuntut terdakwa Erfaldi 10 tahun penjara.
“Kami kecewa,tapi hal itu tidak membuat kaget, sebab putusan berkompromi terhadap pelaku kejahatan dan pelanggar HAM sudah ada, seperti peristiwa FPI KM 50 dan Novel Baswedan. {elakunya dihukum ringan,”ucap Edy mencontohkan.
Bahkan menurutnya, banyak kasus Exstra Judicial Killing pelanggar HAM ditangani YLBHI, belum sampai pada tahap P-21, masih berkutat tahap penyelidikan dan penyidikan.
“Hal ini makin melanggengkan impunitas kejahatan HAM,” katanya.
Olehnya pihaknya mendesak badan pengawas dan Komisi yudisial Mahkamah Agung meninjau kembali atas proses peradilan kasus terbunuhnya Erfaldi.
Eksekutif Nasional WALHI, Fanny Tri Jambore, perlu adanya reformasi struktural terhadap aparat penegak hukum.
Menurutnya, berdasarkan catatan WALHI, sejak pemberlakuan UU No 3/2020 tentang Minerba, telah ada setidaknya 22 orang mengalami peristiwa kriminalisasi, intimidasi dan kekerasan justru dilakukan oleh aparat kepolisian.
“Seharusnya Erfaldi merupakan bagian dari pejuang lingkungan dilindungi berdasarkan Pasal 66 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan.
“(alm) Erfaldi dilindungi sebagai orang memperjuangkan haknya untuk mendapatkan lingkungan baik dan sehat, bukan sebaliknya ditembak,” tutupnya.
Reporter: IKRAM