Sore itu, di hari Sabtu (30/05), sekira pukul 14.30, awak media ini mencoba menelusuri sekaligus mengulik aktivitas di Pondok Perawatan Covid-19 Asrama Haji Transit Palu yang oleh pemerintah kota (pemkot) setempat dijadikan sebagai tempat perawatan orang-orang berstatus Orang Tanpa Gejala (OTG) dan Orang Dalam Pemantauan (ODP) Covid-19.
Sesampainya di tempat tujuan, awak media ini pun mendapatkan izin dari Koordinator Penanggung jawab Pondok Perawatan untuk mewawancarai beberapa tenaga medis maupun relawan yang berjibaku siang malam mengurus pasien.
Wawancara tak bertujuan lain, hanya ingin mengetahui suka duka mereka selama berhari-hari berkecimpung dalam lingkaran wabah mematikan, yang sewaktu-waktu bisa mengancam jiwa mereka.
Di antara sejumlah perawat, dua orang bersedia mengungkapkan kisah mereka sejak awal hingga dipilih bertugas di pondok perawatan. Ada kisah haru yang terungkap dari mulut dua perawat itu, salah satunya dari Nyoman Lusy.
Wanita berusia 21 tahun asal Lalundu ini mengaku, bahwa sejak awal niatnya untuk bergabung menjadi tenaga relawan sudah mendapat larangan dari orang tuanya.
Awalnya, perawat yang tamat tahun 2018 dan telah mengantong Surat Tanda Registrasi (STR) ini pernah bekerja di salah satu klinik dan toko, namun karena merasa kurang cocok, akhirnya dia berhenti.
“Saya juga pernah memasukan surat lamaran kerja ke salah satu RS dan sudah ada panggilan namun orang tua saya melarang dan menyuruh saya menunggu hingga usai musim covid-19 ini,” terangnya.
Dalam posisi tinggal bersama orang tua di kampung, Nyoman lalu mendapatkan kabar adanya penerimaan relawan Covid-19. Jiwanya langsung terpanggil dengan harapan bisa menyalurkan ilmunya selaku perawat dan membantu orang lain yang membutuhkan.
“Saya selalu bilang ke ibu kalau saya ini seorang perawat. Saya malu dengan teman seprofesi yang telah ikut berjuang menjadi relawan di saat seperti ini, lalu saya hanya berdiam diri di rumah. Saya malu hanya bersembunyi di kampung seperti ini. Tolong izinkan dan doakan saya. Begitu yang saya sampaikan kepada ibu,” ujarnya.
Orang tuanya pun bertahan tetap tidak mengizinkan. Namanya orang awam di kampung, kata dia, jika mendengar Covid-19, langsung takut.
Tapi saya terus coba meyakinkan orang tua saya selama hampir 1 bulan sejak adanya wabah ini,” bebernya.
Nyoman dengan mata yang mulai berkaca-kaca menahan tangis, lalu melanjutkan ceritanya saat membujuk orang tuanya agar diijinkan bergabung menjadi relawan.
“Di saat saya pertama kalinya meminta mereka langsung berkata jangan. Namun selama hampir sebulan saya coba terus minta dan jelaskan kepada orang tua. Saya ngerti karena mereka perhatian sama saya. Tapi akhirnya mereka mengijinkan, sekalipun saya tahu mereka sangat berat untuk itu,” katanya, dan tangisnya pun pecah.
MENGABDI DENGAN RIANG GEMBIRA
Di pondok perawatan, Nyoman Lusi bertugas melayani kebutuhan pasien, termasuk membawakan masuk jika ada titipan dari keluarga untuk pasien. Selain itu, ia juga bertugas mengecek suhu badan pasien setiap hari. Semua dilakukan dengan riang gembira, bahkan ia mengaku sangat bangga karena bisa menjadi bagian dalam pondok perawatan Covid-19.
Menurutnya, semua tugas dikerjakan dengan baik dan hampir tak ada kendala yang dirasakan karena dukungan sarana dan prasarana medis juga lengkap.
“Kita-kita disini termasuk pasien sangat gembira. Kadang di saat senam pagi sudah selesai, para pasien masih meminta lagi untuk senam dan akhirnya kita senam lagi. Ini yang sangat berkesan buat saya karena pada posisi di karantina kita masih diberi kesempatan untuk menghibur mereka,” tutupnya sembari berkata, jika nanti pondok perawatan ini telah ditutup, ia akan melamar kerja di rumah sakit. (HAMID)