Oleh: Moh. Ahlis Djirimu**
‘In the text-books you learnt in the university, all assume that the economy is always in the normal condition. But, almost every day in our life, we’re facing the crisis. Contemporary economics is trying to give a different than the traditional economics’ (Joseph E. Stiglitz, 2014). Terjemahan bebasnya adalah, “dalam buku teks ekonomi yang anda pelajari di universitas, semua mengasumsikan bahwa perekonomian selalu dalam kondisi normal. Namun, hamper setiap hari dalam hidup kita, kita berhadapan dengan krisis. Ekonomi kontemporer mencoba memberikan perspektif yang berbeda dengan pelajaran ekonomi tradisional”. Itulah sepenggal ucapan pemenang hadiah Nobel Ekonomi Tahun 2001, ketika beliau dijemput di bandara I Gusti Ngruah Rai, dalam perjalanan menuju Kawasan Nusa Dua, saat beliau menjadi narasumber Annual International Forum on Economic Development and Public Policy (AIFED).
Krisis apapun berada di hadapan kita. Dalam perjalanan historis, krisis kesehatan muncul setiap empat tahun sekali. Krisis ekonomi nyaris tak terhitung jumlahnya. Satu dari beberapa akar masalahnya adalah kerusakan lingkungan. John Elkington sudah menyarankan pada kita bahwa pembangunan wajib memenuhi triple-bottom line, yakni ada keseimbangan antara pembangunan berorientasi ekonomi-sosial-lingkungan. Demikian pula pembangunan di Sulteng. Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) memiliki wilayah hutan yang cukup besar dari keseluruhan wilayahnya yakni sebesar 64 persen (4.400.000 ha). Sulawesi Tengah juga masuk ke dalam 10 provinsi di Indonesia dengan wilayah hutan lindung terbesar yakni sebesar 1,3 juta hektar. Dengan hutan yang cukup luas, Sulteng dikaruniai flora dan fauna yang beragam dan bahkan endemik seperti anoa, tarsius, burung maleo, babi rusa, eboni dan sebagainya. Sulteng juga memiliki potensi perikanan dan satu-satunya provinsi yang dikelilingi oleh laut di Indonesia dan satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki empat wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yaitu WPP713 Selat Makassar, WPP714 Teluk Tolo, WPP715 Teluk Tomini, perairan Halmahera Bagian Barat, WPP716 Laut Sulawesi. Selain itu, Selat Makassar merupakan satu dari enam selat strategis di dunia ini yakni Selat Malaka, Selat Karimata, Selat Sunda, Selat Makassar, Selat Hormuz dan Selat Bosphorus. Bila pada Selat Bosphorus, Pemerintah Turki mengenakan tarif bagi maskapai pelayaran, maka pada lima selat lainnya, maskapai maritim berlayar gratis.
Sebagai gambaran tentang besarnya potensi perikanan daerah dapat dilihat dari hasil produksi perikanan tangkap sebesar 196.519,3 ton dan perikanan budidaya 964.509,4 ton pada Tahun 2020. Pada bidang perkebunan dan pertanian, komoditas unggulan Sulteng adalah kelapa, kakao, durian, dan tanaman holtikultura. Sulawesi Tengah juga memiliki potensi wisata alam yang berpotensi dikembangkan dan sudah menjadi objek wisata berkelas internasional seperti Pulau Togean, Pulau Sombori, Situs Megalitikum Lembah Lore-Bada, dan lain sebagainya.
Di samping potensi sumber daya alam, perikanan, pertainan dan perkebunan yang dimiliki, Sulteng juga memiliki potensi bencana yang besar. Bencana hidrometerologi seperti banjir dan longsor merupakan akibat dari berkurangnya fungsi hutan. Data yang dipublikasikan mapbiomas Indonesia menunjukkan selama 20 tahun (2000 – 2019), Provinsi Sulawesi Tengah sudah kehilangan hutan seluas 296.819 hektar. Dengan demikian, rata-rata hutan di Sulteng berkurang seluas 14.841 hektar per tahun. Jika kita membandingkan dengan luas lapangan sepak bola, maka hutan di Sulawesi Tengah setiap tahunnya berkurang sebanyak ± 18.000 lapangan sepak bola setiap tahunnya.
Berkurangnya fungsi hutan di atas menyebabkan bencana hidrometerologi yang berdampak pada kehidupan masyarakat. Contoh kasus, banjir yang terjadi di Desa Beka Kabupaten Sigi pada bulan Maret 2021 terdapat 255 rumah yang terendam banjir, kerusakan badan jalan seluas +800 meter tertimbun material longsoran dan lumpur, 1 unit kantor desa, 1 unit Gedung sekolah dan 1 unit masjid. Bencana banjir tidak hanya terjadi di Kabupaten Sigi, tetapi juga terjadi di Kabupaten/Kota Palu, Donggala, Parigi Moutong, Poso, Tojo Una-Una, Tolitoli, Buol, Morowali, Morowali Utara, Banggai, Banggai Laut, dan Banggai Kepulauan.
Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Tahun 2021 menyebutkan bahwa terjadi bencana sebanyak 149 kasus atau 27,64 persen dari kejadian bencana di Pulau Sulawesi. Jumlah tersebut (bencana), lebih banyak dari kejadian bencana tahun sebelumnya, mencapai 54 kejadian/kasus atau tumbuh sebanyak 176 persen dari Tahun 2020.
Berdasarkan hasil kajian yang dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2021 – 2026 menunjukkan bahwa Provinsi Sulawesi Tengah menjadi satu dari beberapa provinsi berpotensi terjadinya krisis air bersih di masa depan. Daya dukung penyedia air hasil analisis ketersediaan air menunjukkan daya dukung air yang sebagian besar belum terlampaui di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah. Hal ini dimaksudkan dengan belum terlampaui bermakna bahwa area-area di Sulteng tidak mampu menyediakan air secara mandiri. Daya dukung air Provinsi Sulteng. Dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Provinsi Sulteng Periode 2021-2026 menunjukkan bahwa, daya dukung air Provinsi Sulteng telah terlampaui sebanyak 854 ribu hektar atau proporsinya mencapai 13,95 persen, sedangkan daya dukung air belum terlampaui mencapai 5,27 juta hektar atau proporsinya 85,8 persen. Angka ini bermakna, bahwa ada 13,95 persen daerah di Sulteng tidak mampu lagi menyediakan air secara mandiri.
Selanjutnya, kemampuan Sulteng dalam menyediakan pangan secara mandiri bagi penduduknya telah terlampaui 2,59 juta hektar dari 3,55 juta hektar atau proporsinya terlampaui 42,32 persen. Pada daerah tertentu, jika tidak diansitisipasi dapat berujung pada krisis pangan. Daerah tersebut adalah Kabupaten Banggai telah terlampaui 332 ribu hektar, Parigi Moutong sebesar 301 ribu hektar, Poso dan Morowali Utara masing-masing sebesar 292 ribu hektar, serta Kabupaten Donggala sebesar 232 ribu hektar. Hasil Kajian Tingkat Kerentanan oleh Tim KLHS-RPJMD Provinsi Sulteng yang merujuk pada Sistem Informasi Indeks dan Data Iklim (SIDIK) menunjukkan bahwa adanya perubahan iklim yang berdampak pada kerentanan sosial ekonomi kategori kerentanan tinggi (36 persen) terjadi pada Kabupaten Banggai, Kabupaten Parigi Moutong (30 persen), Buol (13 persen) dan Donggala (10 persen). Secara keseluruhan, hal ini tentu berpengaruh pada kesiapan Sulteng dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Sulteng, NTB, Sulbar mencapai skore 1,63 poin atau berada pada kategori provinsi Relatif Tidak Siap mencapai TPB berada pada posisi ke 31.
Sejak RPJMD Periode 2021-2026, Kementrian Dalam Negeri telah memasukkan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) sebagai Indikator Kinerja Utama (IKU) ketujuh sebagai ukuran keberhasilan dan kegagalan Visi Pemerintah Daerah. Indeks ini dibentuk atas empat sub komponen indicator yakni Indeks Kualitas Udara (IKu), Indeks Kualitas Air (IKa), Indeks Kualitas Air Laut (IKAL), dan Indeks Kualitas Tutupan Lahan (IKTL). Pada 2021, IKLH Sulteng mencapai 77,5 poin tanpa target. Pada periode 2022 sampai dengan 2026, IKLH ditargetkan berturut-turut masing-masing akan mencapai 79 poin pada 2022, 79,24 poin pada Tahun 2023, 79,48 poin pada 2024, 80 poin pada Tahun 2025 dan 80,2 poin pada 2026. Hal yang paling penting adalah usaha untuk mencapainya dengan kolaboratif dan saling sinergi antar Pemerintah Daerah yang menjadikan focal point adalah Dinas Lingkungan Hidup Daerah baik dari sisi komitmen strategis tugas pokok dan fungsinya, maupun komitmen belanja alat ukur indeks di atas dan pemantauan tehnis rutin pada Perangkat Daerah Wajib tak berkaitan layanan dasar, yang perannya sangat penting dalam keberlanjutan hidup.
Selanjutnya, kemampuan Sulteng dalam menyediakan pangan secara mandiri bagi penduduknya telah terlampaui 2,59 juta hektar dari 3,55 juta hektar atau proporsinya terlampaui 42,32 persen. Pada daerah tertentu, jika tidak diansitisipasi dapat berujung pada krisis pangan. Daerah tersebut adalah Kabupaten Banggai telah terlampaui 332 ribu hektar, Parigi Moutong sebesar 301 ribu hektar, Poso dan Morowali Utara masing-masing sebesar 292 ribu hektar, serta Kabupaten Donggala sebesar 232 ribu hektar. Hasil Kajian Tingkat Kerentanan oleh Tim KLHS-RPJMD Provinsi Sulteng yang merujuk pada Sistem Informasi Indeks dan Data Iklim (SIDIK) menunjukkan bahwa adanya perubahan iklim yang berdampak pada kerentanan sosial ekonomi kategori kerentanan tinggi (36 persen) terjadi pada Kabupaten Banggai, Kabupaten Parigi Moutong (30 persen), Buol (13 persen) dan Donggala (10 persen). Secara keseluruhan, hal ini tentu berpengaruh pada kesiapan Sulteng dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Sulteng, NTB, Sulbar mencapai skore 1,63 poin atau berada pada kategori provinsi Relatif Tidak Siap mencapai TPB berada pada posisi ke 31.
**Pengajar FEB-Untad dan Regional Expert Sulawesi merangkap Local Expert Provinsi Sulteng Kemenkeu R.I