PALU – Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), Dr. Hj. Nilam Sari Lawira, menghadiri pembukaan Forum Perangkat Daerah dan Rapat Koordinasi Teknis Perencanaan Pembangunan Daerah (Rakortekrenbang) Provinsi Sulteng Tahun 2024, di Palu, Senin (18/03).

Pada kesempatan tersebut, Ketua DPRD Provinsi Sulteng Dr. Hj. Nilam Sari Lawira, menyampaikan, di usianya yang hampir mencapai 60 tahun, pembangunan di Provinsi Sulteng terbilang sudah cukup pesat, walaupun sempat terhenti akibat adanya runtutan bencana pada 28 September 2018, disusul pandemi Covid-19 di awal tahun 2020.

“Pertumbuhan perekonomian di Sulteng saat itu mengalami penurunan hingga mencapai 48,52% sehingga dampaknya cukup dirasakan masyarakat,” ujarnya.

Ia juga menyampaiakan bahwa di Tahun 2023, terdapat tiga indikator kinerja pembangunan yang realisasinya melampaui target RPJMD Tahun 2021-2026, yakni Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) yang mencapai 11,91 persen melampaui target sebesar 6,56 persen, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) mencapai 71,66 poin melampaui target 69,87 poin, serta Nilai Tukar Petani (NTP) mencapai 106,33 poin melampaui target sebesar 103,58 poin.

Menurutnya, LPE yang tinggi lebih banyak ditentukan oleh atraktivitas kawasan industri berbasis logam dasar di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara, bukan didorong oleh atraktivitas multiplier effect belanja pembangunan yang berkualitas.

Ia mengakui, kinerja pembangunan ekonomi Provinsi Sulteng terus menunjukkan prestasi yang luar biasa, melampaui rata-rata nasional. Laju pertumbuhan sektor industri pengolahan dan pertambangan dalam 5 tahun terakhir terus mengalami peningkatan.

Namun sebaliknya, kata dia, kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian yang merupakan sektor strategis terus mengalami penurunan. Hal ini dilihat dari klasifikasi jenis pengeluaran, sektor investasi dan ekspor yang memegang peranan yang cukup besar.

Kata dia, sektor-sektor tersebut memang berkontribusi mendorong pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat, mengingat wilayah Sulteng memiliki komoditas sumber daya alam (SDA) yang melimpah dan banyak dilirik oleh para investor untuk mendirikan pabrik pengolahan.

“Namun hal ini sebenarnya menyimpan masalah kerentanan pada kelembagaan sosial ekonomi yang berujung pada immiserizing growth atau pertumbuhan membenamkan sebagai ciri khas daerah-daerah pertambangan yang menerima kutukan sumberdaya, di luar ancaman runtuhnya pranata sosial dan degradasi lingkungan berkelanjutan,” terangnya.

Ia menjelaskan, kekeliruan dalam pembangunan adalah meninggalkan pembangunan pertanian dalam arti luas serta kurang memperhatikan dampak ke belakang dan dampak ke depan pembangunan pertanian.

“Jikapun ada pembangunan, sifatnya hanya instan dan project oriented, menjadikan petani dan nelayan sebagai obyek pembangunan, bukan sebagai agen perubahan,” ujarnya.

Kata dia, kinerja pembangunan yang kurang menggembirakan selama tiga tahun periode RPJMD Tahun 2021-2026, berpangkal pada para perencana dan agen pembangunan.

“Apa yang saya sebut planning to fail dan failing to plan atau merencanakan kegagalan dan menggagalkan perencanaan,” katanya.

Menurutnya, adanya missing link antara RPJPD dan RPJMD, missing link antara RPJMD dan Rencana Strategis OPD, missing-link antara Renstra OPD dan Rencana Kerja OPD, missing link antara Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) dan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafond Anggaran Sementara (PPAS), missing link antara KUA-PPAS dengan APBD menjadi pemandangan tahunan yang didapatkan, termasuk ketidakpahaman atas indikator pembangunan.

Selain itu, kata dia, paradigma pembangunan belum berubah karena ketidakpahaman atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, ketidakpahaman atas paradigma Money Follow Program, Program Follow Result, maupun Money Follow Talent di dalam Permendagri Nomor 90 Tahun 2019 tentang Klasifikasi, Kodefikasi dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah, serta Ketidakpahaman pada Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Tehnis Pengelolaan Keuangan Daerah yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menghambat implementasi pembangunan di Sulawesi Tengah.

Hal ini tercermin dari Hasil Riset Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementrian Keuangan yang menggunakan data realisasi keuangan periode 2018-2022 menemukan bahwa Kabupaten Buol, Kabupaten Donggala, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Poso, Kabupaten Sigi, Kabupaten Tojo Una-Una, Kabupaten Tolitoli berada pada Kategori Kapasitas Fiskal Rendah dan Belanja Pembangunan Tidak Berkualitas.

Satu-satunya daerah di Provinsi Sulawesi Tengah yang termasuk dalam kategori Kapasitas Fiskal Tinggi dan Belanja Pembangunan Berkualitas adalah Kabupaten Morowali bersama 17 daerah di daratan Sulawesi,” imbuhnya.

Terkait itu, Kepala Bappeda Provinsi Sulteng, Dr Ir Christina Shandra Tobondo, menyampaikan bahwa pokok-pokok pikiran Ketua DPRD Provinsi Sulteng tersebut akan menjadi bahan rekomendasi dalam penyusunan data program di dalam RPJMD tahun 2025 mendatang.

Pembukaan Forum Perangkat Daerah dan Rakortekrenbang Provinsi Sulteng Tahun 2024 itu dihadiri Asisten III Bidang Administrasi Umum Pemprov Sulteng, M Sadly Lesnusa, Sekretaris DPRD Provinsi Sulteng Siti Rahmi Amir Singi, para staf ahli dan Kepala OPD, serta para Kepala Bappeda se-Sulteng.

Hadir pula secara daring Direktur Regional II Kementerian PPN/Bappenas, Tim Korsupgah KPK RI. (RIFAY)