OLEH: Jamrin Abubakar*
KALI pertama Festival Tenun Donggala digelar, 11-13 Agustus 2022. Sebuah agenda Indonesiana dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi RI. Indonesiana merupakan platform pendukung kegiatan seni budaya yang membantu tata kelola kegiatan seni budaya yang berkelanjutan, berjejaring dan berkembang.
Muncul pertanyaan kenapa festival itu dilaksanakan di kawasan Kota Tua Donggala? Bukan di tempat penenun, semisal di Desa Towale, Kecamatan Banawa Tengah salah satu tempat yang memiliki banyak penenun.
Ini perlu dipahami, secara historis bahwa “Kota Tua” Donggala bukan saja tempat perdagangan tenun pada zaman dahulu. Melainkan di kota itu pernah terdapat banyak pengrajin tenun sutra cukup lama eksis sekaligus tempat transaksi antarnegara melalui pelabuhan.
Peran Kota Donggala dengan pelabuhannya sangat penting telah menjadi gerbang dan simpul banyak kebudayaan, salah satunya budaya tenun. Dari kota itu pula sutera diperkenalkan yang kemudian digunakan para pengrajin tenun.
Sangat jelas kalau Donggala pernah punya tradisi tenun walau pada akhirnya punah dan tinggal di kampung-kampung sekitarnya masih bertahan sampai saat ini. Berawal dari situlah sebutan sarung Donggala.
Dalam sejarah kebudayaan secara umum, tenun merupakan salah satu cara pembuatan kain tradisional yang telah menyatu dalam kebudayaan Nusantara. Sarung Donggala salah satunya produk kain yang ditenun dengan alat tradisional. Pembuatannya secara sederhana dengan peralatan disebut gedogan berbahan kayu hitam (eboni), kayu biasa dan bambu.
Pengrajin atau penenun saat mengolah benang menjadi sarung dengan cara berselonjor bagi alat gedogan. Alat yang agak modern disebut ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) dan satunya disebut alat jaguar.
Secara etimologi, kain sarung Donggala dalam bahasa Kaili biasa disebut Buya Sabe, artinya sarung sutra sesuai sejarahnya. Meskipun saat ini umumnya tidak semua menggunakan benang sutra seperti zaman dahulu, tetapi namanya tetap buya sabe.
Pembuatan dan corak atau motif kain tenun Donggala cukup banyak. Paling terkenal disebut Buya Bomba yang artinya kain bermotif bunga atau ragam hias. Bisa berupa bunga tanaman atau bunga hiasan benda-benda karya seni.
Buya bomba ini pun terbagi-bagi lagi dalam beberapa jenis seperti bunga daun keladi, bunga kotak-kotak, pohon beringin, bunga merayap, bunga terapung (teratai), bunga pengantin, bunga pohon kayu. Corak lainnya berupa buya Subi buya awi, buya kota-kota atau kombinasi di antara jenis tersebut (berdasarkan Suati Kartiwa dan Masyhuddin Masyhuda).
Di zaman kerajaan dan kolonial Belanda hingga masa kemerdekaan di kota tua Donggala banyak terdapat sentra kerajinan tenun Donggala dan orang-orang Arab membuka toko bahan baku benang sutra. Tetapi kemudian sejak awal dekade 1980-an mengalami kemunduran seiring aktivitas utama pelabuhan Donggala dialihkan ke Pantoloan.
Saat tempat pengrajin tenun yang masih bertahan terutama di Kecamatan Banawa Tengah (yaitu di Desa Towale, Mekar Baru, Salubomba, Kola-Kola, Lumbudolo, dan Limboro) dan Desa Tosale di Kecamatan Banawa Selatan. Selain itu terdapat di Kecamatan Labuan dan Kecamatan Tanantovea, sebagian terdapat di Kota Palu dengan peralatan modern ATBM.
Secara kultural, zaman kerajaan dahulu, kain tenun sutra Donggala hanya dalam bentuk sarung. Semula peruntukannya terbatas pada kalangan bangsawan dan orang-orang kaya, sebagian dikirim untuk cenderamata dan diperdagangkan. Tetapi dalam perkembangan modifikasi bagi pembuat kriya di Kota Palu dikembangkan untuk asesoris atau hiasan berupa kipas, tas dan dibuat untuk jas, kemeja, selendang dan lainnya.
Keberadaan tenun Donggala selama berabad-abad menunjukkan suatu peradaban cukup tinggi bagi pengrajinnya. Mampu menghasilkan karya bernilai seni dengan peralatan dan ilmu pengetahuan cukup tinggi hasil kreasi yang diadaptasi dari suku-suku Nusantara. Bahkan dalam proses pembuatannya telah beradaptasi dengan bangsa-bangsa luar seperti Cina, India dan Arab dalam penggunaan bahan baku.
Sejak adanya penegnalan dari luar ke Donggala seiring pula peralihan pemanfaaatan bahan baku. Sebab semula kain tenun Donggala berbahan kapas kemudian menggunakan benang sutra setelah ada pengaruh dari bangsa-bangsa tersebut di atas.
Sebagai warisan budaya yang memiliki ciri khas, maka pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2015 telah menetapkan kain tenun Donggala menjadi Warisan Budaya Tak Benda. Penetapan tersebut dengan nomor registrasi 90494/MPK.E/DO/2015 dalam kategori kemahiran dan kerajinan tradisional ditetapkan di Jakarta, 20 Oktober 2015 dan ditandatangani Anies Baswedan saat menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Kalau kemudian Festival Tenun Donggala dilaksanakan di kota tua Donggala, sangatlah mendasar nilai historisnya. Apalagi festival ini adalah perayaan peristiwa kebudayaan besar yang melintasi zaman.
Pelaksanaan di “Kota Tua” sekaligus memperlihatkan kondisi artefak-artefak masa lalu sebuah kota yang pernah mengalami kemajuan, kemudian kini heritagenya terlantar. Ada banyak heritage yang tidak terurus, padahal memiliki potensi sebagaimana diharapkan dalam Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) Kabupaten Donggala.
Selamat merayakan Festival Tenun
*Penulis adalah Pemerhati Sejarah dan Budaya di Donggala