OLEH : Moh. Ahlis Djirimu*
Bahan Bakar Migas (BBM), istilah yang sering kita dengar di masyarakat akar rumput. Dua komponen Minyak Bumi dan Gas Alam.
Saat kuliah Ekonomi Energi, muncul pertanyaan mengapa harga keduanya selalu berbarengan naik atau turun? Bila harga minyak bumi (crude oil) meningkat, maka pasti diikuti oleh kenaikan harga gas alam, dan sebaliknya.
Selain itu, transaksi bisnis hulu migas sifatnya berjangka yakni kontrak pembelian dilakukan sekarang dengan mengacu pada rujukan harga West Texas Intermediate (WTI) dan New York Mercantile Index (NYMEX), lalu migas mentah dikirim dalam satu atau dua bulan ke depan.
Sebelum penyesuaian harga BBM, Jum’at pekan ini, ada pertanyaan kritis mahasiswa dalam sebuah diskusi bertajuk “Kupas Tuntas Kenaikan Harga BBM Bersubsidi” : Mengapa pemerintah akan menaikkan BBM bersubsidi, sedangkan harga minyak mentah dunia mengalami penurunan?
Tentu pertanyaan ini wajib dijawab holistik, baik di sisi penawaran dan permintaan.
Pada 3 September 2022, Pemerintah mengumumkan penyesuaian harga BBM subsidi solar CN 48 dari Rp5.150,- menjadi Rp6.800,- dan Pertalite dari Rp7.650,- menjadi Rp10.000,-.
Penyesuaian ke atas BBM bersubsidi ini bermakna mengurangi subsidi dengan cara menaikkan harga di tingkat konsumen, lalu mengalihkan proporsi subsidi tersebut ke masyarakat miskin. Sebaliknya, pemerintah menyesuaikan harga BBM Non Subsidi Pertamax Turbo dari Rp17.900,- menjadi Rp15.900,-, Dexlite dari Rp17.800,- menjadi Rp17.100,- dan Pertadex dari Rp18.900,- menjadi Rp17.400,- per liter.
Penyesuaian ini bermakna penyesuaian ke bawah atau harganya diturunkan sesuai harga keekonomiannya.
Pada waktu hampir bersamaan dengan pengumuman pemerintah tersebut, data yang bersumber dari https://fred.stlouisfed.org/series/DCOILWTICO#0 menunjukkan bahwa harga minyak mentah (crude oil) dunia jenis West Texas Intermediate (WTI) bagi penyerahan Oktober 2022 menurun dari US$89,55,- menjadi US$86,61,- per barel dan jenis WTI Brent bagi penyerahan November 2022 menurun dari US$95,64,- menjadi US$92,36,- per barel.
Pada Juli lalu, harga minyak mentah Brent bagi penyerahan September 2022 mencapai US$104,20 per barel dan harga minyak mentah WTI bagi pengiriman Agustus sebesar US$96,91,- per barel.
Oleh karena perdagangan minyak mentah dunia (Brent dan WTI) merupakan future trading, turunnya harga minyak mentah dunia tidak serta merta menurunkan harga BBM Bersubsidi dalam negeri karena BBM ini merupakan harga di tingkat konsumen yang merupakan produk akhir hasil dari bisnis hilir migas (downstream) setelah melalui penyulingan (refining).
Pada saat pengumuman pemerintah, harga BBM Non Subsidi mengalami penurunan, sebaliknya harga BBM Subsidi mengalami kenaikan.
Pemerintah selalu menggunakan harga keekonomian atau harga yang seharusnya yang setiap waktu disesuaikan. Harga BBM Non-Subsidi dipengaruhi langsung oleh fluktuasi harga minyak mentah WTI, sehingga bila harga minyak mentah WTI ini menurun, maka harga BBM Non Subsidi di dalam negeri juga akan menurun.
Inilah yang terjadi di beberapa negara. Jadi yang menurun adalah harga BBM Non Subsidi. Sebaliknya, harga BBM Subsidi tidak terpengaruh langsung oleh penurunan harga minyak mentah WTI karena harga BBM Subsidi jauh di bawah harga keekonomiannya.
Harga keekonomian Solar saat ini mencapai Rp17.600,- per liter dan harga keekonomian Pertalite Rp17.200,-. Artinya, masyarakat masih menikmati subsidi sebesar Rp7.600,- per liter untuk solar dan Rp7.200,- per liter untuk Pertalite yang besarannya ditanggung oleh pemerintah tercatat dalam postur APBN.
Bila BBM bersubsidi dicabut subsidinya, maka harga keekonomiannya pada tingkat masyarakat mencapai Rp17.600,- per liter untuk solar dan Rp17.200,- untuk pertalite.
Saat ini, BBM Bersubsidi secara relatiif belum tepat sasaran. 89 persen Solar dinikmati oleh Dunia Usaha. Masyarakat hanya menikmati 11 persen. Dari 11 persen tersebut, masyarakat miskin hanya menikmati 5 persen, sedangkan masyarakat kelas menengah ke atas menikmati Solar Subsidi mencapai 95 persen.
Selanjutnya, Pertalite hanya dinikmati oleh 14 persen Dunia Usaha. Lalu, masyarakat menikmati 86 persen Pertalite.
Dari jumlah tersebut, terdapat 80 persen masyarakat menengah ke atas meninkati Pertalite, sebaliknya, hanya 20 persen masyarakat miskin mengkonsumsi Pertalite.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa BBM Bersubsidi belum tepat sasaran ini membutuhkan pemuktahiran data.
Penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,16 juta jiwa, yang 5,98 juta jiwa di antaranya adalah penduduk kategori kemiskinan ekstrim. Walapun terjadi penurunan kemiskinan ekstrim dari 2,14 persen pada Maret 2021 menjadi 2,04 persen pada 2022, namun, terdapat 14 provinsi mengalami kenaikan dan 20 provinsi mengalami penurunan kemiskinan ekstrim pada periode tersebut.
Strategi yang dilakukan Pemerintah Pusat dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp134 triliun atau Rp600 ribu ke Rumah Tangga Miskin (RTM) dan pemberian Subsidi Upah Pekerja yang Berstandar Upah di bawah Rp3,5 juta per bulan dengan total general Rp9,6,- triliun, Padat Karya Kementrian PUPR sebesar Rp13,7,- triliun menyasar pada 652.264 orang, Kartu Pra Kerja Rp22 triliun, KUR Super Mikro Rp21,2 triliun di luar Rastra, KIP, KIS, PKH, BLT Dana Desa, Subsidi Listrik dan LPG.
Adanya fenomena yakni RTM “dikeroyok” oleh berbagai program pemberdayaan yang mengarah pada strategi mengurangi beban pengeluaran, meningkatkan pendapatan, dan mengurangi kantong-kantong kemiskinan, pada sisi lain dapat menimbulkan amal karikatif dan memanjakan RTM yang dapat menciptakan koloni kemiskinan. Kemampuan self-help RTM akan berkurang karena ketergantungan pada amal karikatif ini.
Daerah sebaiknya ikut serta berpartisipasi dalam verifikasi dan validasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk memastikan sasaran RTM tepat mutu, tepat waktu, tepat administratif dan meluncurkan program serupa berdasarkan kearifan lokal bersifat pentahelix bersumber dari APBD agar pemerintah daerah “lebih merasa ketimbang merasa lebih” dalam mengurangi angka kemiskinan di daerahnya.
Selain itu, paradigma reorientasi program sepatutnya berubah dari amal karikatif yang berorientasi proyek yang asal gugur kewajiban menjadi perlindungan sosial, peningkatan pendapatan dan konvergensi dalam pemberdayaan masyarakat pada sisi penguatan kelembagaan ekonomi.
*Penulis adalah Staf Pengajar FEB-Untad