PALU – Perubahan iklim yang kian nyata dan meningkatnya frekuensi bencana alam di Indonesia menjadi perhatian serius dalam kegiatan Kajian BAReng (KABAR) yang digelar oleh Pimpinan Wilayah (PW) Pergerakan Mahasiswa Moderasi Beragama dan Bela Negara (PMMBN) Sulawesi Tengah (Sulteng), Selasa (30/12) malam.
Mengangkat tema “Agama dan Kesadaran Hidup Selaras dengan Alam”, kegiatan yang dilaksanakan secara daring melalui zoom ini menghadirkan Akademisi UIN Datokarama Palu, Dr. Sahran Raden dan Prof. Dr. Muhammad Khairil, Wakil Ketua PW Muhammadiyah Sulteng, sebagai narasumber.
Dalam pemaparannya, Dr. Sahran Raden menyampaikan bahwa perubahan iklim merupakan tantangan global yang memengaruhi seluruh sektor kehidupan masyarakat.
Kata dia, Indonesia saat ini tercatat sebagai negara dengan risiko bencana tertinggi ketiga dari 193 negara di dunia.
“Sebagian besar bencana alam di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan cuaca ekstrem, yang erat kaitannya dengan perubahan iklim,” ujarnya.
Ia mengutip data BNPB yang mencatat sepanjang tahun 2025, hingga 24 Desember, telah terjadi 3.176 kejadian bencana, yang didominasi oleh banjir, longsor, dan cuaca ekstrem.
Meski demikian, bencana geologi seperti gempa bumi, erupsi gunung api, serta kebakaran hutan dan lahan juga masih terjadi di berbagai daerah.
Menurutnya, agama memiliki relevansi yang sangat kuat dan multidimensi dalam isu lingkungan hidup. Banyak ajaran keagamaan menekankan tanggung jawab manusia sebagai pengelola bumi untuk menjaga keseimbangan alam dan melindungi seluruh makhluk hidup.
“Dalam Islam, konsep khalifah di bumi menjadi landasan teologis bahwa manusia berkewajiban merawat alam secara berkelanjutan sebagai bagian dari ibadah,” jelasnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, Islam secara tegas melarang israf (pemborosan) dan fasad (kerusakan), seperti deforestasi tanpa reboisasi serta pencemaran air, sembari mendorong prinsip amanah dan mizan (keseimbangan).
Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, salah satunya QS. Ar-Rum ayat 41, yang menyebutkan bahwa kerusakan di bumi terjadi akibat ulah manusia.
Selain ajaran agama, kata dia, kearifan lokal juga dinilai memiliki peran penting dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Ia mencontohkan tradisi sasi laut dan sasi darat, serta kearifan lokal masyarakat Suku Kaili melalui aturan adat Ombo, yang melarang penebangan hutan sembarangan dan penggunaan alat tangkap ikan yang merusak.
“Nilai-nilai lokal ini selaras dengan konsep fiqh al-bi’ah atau fiqh lingkungan, yang memandang pelestarian alam sebagai amanah dan tanggung jawab religius,” ungkapnya.
Fiqh lingkungan, lanjutnya, memperluas konsep hubungan dalam Islam dari hablum minallah dan hablum minannas menjadi hablum minal alam, demi menjaga kelestarian alam dan keberlanjutan generasi mendatang.
“Maqashid Syariah (Tujuan Syariah), melindungi lingkungan adalah bagian dari menjaga lima prinsip utama, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, yang mencakup menjaga kelestarian alam,” katanya.
Sementara maslahah (kemaslahatan) dan Saddu Zari’ah (Menutup Jalan Kerusakan), mengedepankan kemaslahatan umum dan mencegah kerusakan lingkungan, dengan kaidah la darara wala dirara (tidak boleh ada kemudaratan dan tidak boleh memudaratkan

