Bekerja wajib bagi setiap orang karena itu merupakan upaya mencari nafkah. Karena wajib, bila tidak dilakukan akan berdosa, sebaliknya bila dilakukan memperoleh pahala.

Apalagi dengan hasil kerja akan bisa menghidupi lebih dari satu orang yang menjadi tanggungan, dan sebagiannya digunakan untuk membantu orang lain.

Bukan hanya itu, dengan bekerja kita akan memperoleh ketenangan batin karena hidup dengan hasil keringat sendiri, di samping pengalaman dan kemampuan bertahan dalam hidup ini. Namun demikian, sebagian orang malas bekerja pertanda mereka berani melalaikan kewajibannya.

Rasa malas bukan hanya menghinggapi orang-orang yang tak punya pekerjaan, tetapi juga yang sudah diberikan kerja dan gaji memadai. Datang ke kantor hanya duduk-duduk sebentar di meja kerja, selanjutnya pergi dan duduk lama di warung kopi untuk berhaha-hihi.

Akibatnya, pekerjaan yang telah sekian lama telah membantu menghidupi diri dankeluarganya, diabaikan.

Hal itu menjadi perilaku harian, sehingga kalau dihitung-hitung hanya setengah waktunya digunakan untuk bekerja.

Bila disadari, sebagian waktu yang digunakan untuk tidak bekerja jelas merupakan suatu kezaliman. Alasannya, sebahagian waktu itu juga dibayar, walaupun tidak memberikan pelayanan pada waktu itu. Dengan kata lain, itu dosa dan gaji yang diperoleh untuk pekerjaan kosong itu haram. Memang tak semua orang mau mengakuinya karena sudah terbiasa berbuat demikian.

Padahal kalau dihitung masa kerja dalam karir seseorang dalam hidupnya, misalnya 30 tahun, hanya 15 tahun benar bekerja. Selebihnya bermalas-malasan, walaupun gajinya yang haram digunakan hidup dan menghidupi keluarga.

Nabi Muhammad SAW sangat tak menyukai umatnya mengumbar kata-kata ‘seandainya’. Bahkan, dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya, kalimat kalau (seandainya) membawa kepada perbuatan setan.”

Syekh Shaleh Ahmad asy-Syaami, menjelaskan, kata ‘seandainya’ tidak membawa manfaat sama sekali. Menurutnya, meskipun seseorang mengucapkan ungkapan itu, ia tidak akan mampu mengembalikan apa yang telah berlalu, dan menggagalkan kekeliruan yang telah terjadi.

Dalam bukunya bertajuk “Berakhlak dan Beradab Mulia” Syekh asy Syaami mewanti-wanti bahwa ungkapan ‘seandainya’ bisa berkonotasi sebagai angan-angan semu, dan sesuatu yang tidak mungkin terjadi.

“Sikap seperti ini adalah sikap yang lemah dan malas,” ujarnya. Bahkan, kata dia, Allah SWT pun membenci sikap lemah, tidak mampu, dan malas.

Dalam hadits dinyatakan, “Allah SWT mencela sikap lemah, tidak bersungguh-sungguh, tetapi kamu harus memiliki sikap cerdas dan cekatan, namun jika kamu tetap terkalahkan oleh suatu perkara, maka kamu berucap ‘cukuplah Allah menjadi penolongku, dan Allah sebaik-baik pelindung.” (HR Abu Dawud).

Sikap tangkas dan cerdas yang di maksud, tutur dia, melakukan usaha dan tindakan-tindakan yang bisa membawa pada keberhasilan meraih sesuatu yang bermanfaat, baik di dunia maupun akhirat. Ini, sambung Syekh asy-Syaami, merupakan bentuk aplikasi terhadap hukum kausalitas yang telah Allah tetapkan.

Keutaman dari sikap tangkas dan cerdas yakni bisa menjadi pembuka amal kebaikan. Sebaliknya, sikap lemah dan malas, seperti telah di ingatkan Rasulullah SAW, hanya akan mendekatkan diri kepada setan. “Sebab, jika seseorang tidak mam pu atau malas melakukan se sua tu yang bermanfaat baginya dan ma syarakat sekitar, maka ia akan selalu menjadi seseorang yang kerap berangan-angan,” paparnya.

Perbuatan dan sikap semacam itu, selain kontraproduktif serta tidak akan membawa pada keberhasilan, juga sama saja dengan membuka amal perbuatan setan karena pintu amal setan tidak lain adalah sikap malas dan lemah. Merekalah, tegas as-Syaami, adalah orang yang paling merugi.

Mengapa dikatakan orang yang paling merugi? Sebab, sifat malas dan lemah merupakan kunci segala bencana. Seperti, perbuatan maksiat sudah pasti terjadi karena lemahnya keimanan dan ketakwaan seseorang sehingga berani melanggar larangan agama. Wallahu a’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)