PALU – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulawesi Tengah (Sulteng) kembali merilis hasil investigasinya terkait aktivitas pertambangan ilegal (PETI) yang diduga dilakukan oleh PT Adijaya Karya Makmur (AKM) di Kelurahan Poboya, Kecamatan Mantuikulore, Kota Palu.

AKM merupakan kontraktor PT Citra Palu Minerals (CPM) selaku pemegang kontrak karya pertambangan emas di Kelurahan Poboya.

Setelah sebelumnya merilis hasil investigasi keterlibatan AKM dalam dugaan praktik pertambangan ilegal beserta rantai produksi dan jumlah keuntungan yang diperoleh, kali ini JATAM mengungkap keterlibatan sejumlah pihak yang dianggap menjadi backing dari AKM.

Dalam struktur kepengurusan AKM sesuai Pengesahan Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Akta Nomor: 13 tanggal 19 September 2019, terdapat nama seorang jenderal polisi, yaitu Irjen Pol (purn) Drs. Abdul Rakhman Baso S.H, sebagai Komisaris Utama PT AKM.

Hal ini sesuai Perubahan Akta Nomor: 56 Tanggal 30 Januari 2020 tentang Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar dan mendapat Persetujuan Menteri Hukum dan HAM tanggal 14 Februari 2020 dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) sebanyak 14.

“Rakhman Baso adalah seorang purnawiran Polri dan pernah menjabat sebagai Kapolda Sulteng masa jabatan Agustus 2020 hingga Agustus 2021. Artinya, dua bulan setelah tidak lagi menjadi anggota aktif, yang bersangkutan resmi masuk dan bergabung dalam aktivitas PT. AKM,” ungkap Eksekutif Pengembangan Jaringan JATAM Sulteng, Moh Tauhid, Ahad (29/12).

Kata Tauhid, hingga dalam akta 59 tanggal 29 Desember 2023, komposisi pengurus Perseroan tersebut belum mengalami perubahan.

Tauhid juga mengungkap nama-nama lain dalam struktur perusahaan, seperti Adi Gunawan (Direktur Utama), M. Kadafi (Direktur) dan beberapa nama lainnya.

Kerugian Keuangan Negara

Lebih lanjut Tauhid mengatakan, berdasarkan data dari Kementerian ESDM, mekanisme produksi yang dilakukan di Poboya hanya menggunakan metode peleburan material melalui pabrik pengolahan bijih emas.

“Dan satu-satunya pabrik pengolahan bijih emas terdaftar adalah milik PT. Citra Palu Minerals. Artinya perusahaan terdaftar melakukan produksi adalah PT. CPM dengan metode peleburan menggunakan pabrik pengolahan,” katanya.

Sementara, kata dia, dalam kontrak karya PT. CPM, ada aktivitas produksi yang tidak menggunakan pabrik pemurnian, tetapi menggunakan metode perendaman oleh PT. AKM.

“Metode perendaman adalah aktivitas ilegal yang secara hukum telah melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) yang berlaku sejak 10 Juni 2020,” tegas Tauhid.

Menurutnya, tujuan dari UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020 ini telah dikangkangi oleh PT AKM dan parahnya hanya dibiarkan beroperasi oleh Polda Sulteng tanpa ada upaya penindakan secara tegas.

“Ketiadaan penindakan oleh aparat penegak hukum (APH) di Sulteng berdampak pada lahirnya inisiatif di beberapa wilayah untuk menambang secara melawan hukum. Tidak adanya penindakan juga mendorong lahirnya asumsi liar bahwa aktivitas AKM tidak tersentuh karena ada oknum-oknum tertentu yang memiliki jejaring ke institusi APH,” ujarnya.

Tauhid juga membeberkan data Kementerian ESDM bahwa hasil produksi PT AKM bisa mencapai Rp60 miliar per bulan.

Namun yang menyedihkan, kata dia, perusahaan itu tidak membayar PNBP dan dana bagi hasil kepada negara.

“Ini memang karena AKM bukanlah perusahaan yang memproduksi emas, tetapi hanya pihak ketiga yang melakukan aktivitas pengerukan untuk diproses oleh CPM menjadi bahan baku emas,” jelasnya.

Selain PNBP, lanjut dia, PT AKM juga tidak membayar royalti, dana bagi hasil produksi serta jaminan reklamasi pascatambang.

“Lagi-lagi penyebabnya karena AKM diketahui oleh negara sebagai perseroan yang bertindak sebagai pihak ketiga yang berfungsi sebagai penyuplai material ke pabrik pemurnian, katanya.

JATAM memastikan tidak akan ada rehabitilasi di lahan bekas pengerukan atau bukaan dari pengambilan material dan perendaman yang dilakukan AKM, karena selama ini tidak ada dana jaminan reklamasi yang disetorkan oleh AKM ke negara.

“Akibatnya, ke depan lahan bekas eksploitasi AKM akan tetap gundul dan tandus. Dalam investigasi kami, top soil atau lapisan atas tanah bekas bukaan tidak diketahui ditempatkan di mana,” ujarnya.

Saat dikonfirmasi via SMS, mantan Kapolda Sulteng, Irjen Pol (purn) Drs. Abdul Rakhman Baso S.H tidak memberikan tanggapan apapun.

Mengenai keberadaaan tambang ilegal di Kelurahan Poboya, Dirkrimsus Polda Sulteng, Kombes Pol. Bagus Setiyawan yang turut dikonformasi, dengan singkat menjawab bahwa sedang didalami.

“Sedang kami dalami,” jawabnya, sembari menambahkan bahwa dirinya sedang mengikuti kegiatan.

Ia tak berkomentar apapun ketika ditanya mengenai keterlibatan mantan Kapolda Sulteng dalam struktur kepengurusan di AKM.

Demikian halnya Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Sulteng, Kombes Pol Djoko Wienarto. Pesan WhatsApp yang dikirim tidak dijawab. Panggilan telepon juga tidak diangkat.

Sikap yang sama juga ditunjukkan Direksi AKM, Cepi Agustian. Yang bersangkutan juga tidak berkomentar apapun ketika ditanyakan mengenai keterlibatan AKM dalam aktivitas ilegal tersebut. IKRAM/RIFAY