JAKARTA — Jaringan Women, Peace and Security (WPS) Indonesia menyampaikan pernyataan bersama terkait penangkapan perempuan pasca demonstrasi 25 Agustus–11 September 2025.

Dalam rilis resmi, mereka menegaskan dukungan terhadap sikap Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang menyoroti pelanggaran hak konstitusional warga untuk menyampaikan pendapat secara damai.

Penangkapan dan penahanan terhadap tiga perempuan berinisial L, F, dan G dinilai berlangsung nonprosedural dan disertai dugaan perlakuan tidak manusiawi. Mereka bahkan disebut dipaksa menandatangani surat pengakuan tersangka.

Praktik ini, menurut Ruby Kholofah bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 serta Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Ruby menilai tindakan aparat mencederai mandat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang perlindungan perempuan berhadapan dengan hukum. Peraturan tersebut menegaskan hak perempuan atas keamanan, pendampingan, privasi, akses nasihat hukum, dan pemulihan.

“Kasus ini menjadi ancaman serius bagi demokrasi Indonesia,” katanya.

Selain penangkapan fisik, Ruby menyoroti represi di ruang digital. Bentuknya antara lain hoaks, doxing, serta penggunaan pasal karet Undang-Undang ITE untuk mengkriminalisasi kritik warga. Perempuan pembela hak asasi manusia disebut semakin rentan menjadi sasaran kekerasan digital berbasis gender.

Olehnya pihaknya mendukung penuh desakan Komnas Perempuan agar Kepala Kepolisian RI mengabulkan penangguhan penahanan terhadap tiga perempuan yang ditahan. Mereka juga meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) memberi perlindungan hukum, layanan pemulihan psikososial, serta memastikan hak anak-anak terdampak kasus tersebut.

Komnas Perempuan juga didorong melanjutkan pemantauan, pendokumentasian, serta advokasi kebijakan yang berpotensi merugikan demokrasi, khususnya dalam kerangka empat pilar WPS: pencegahan, partisipasi, pemberdayaan, dan penanganan konflik.

Sementara, kata dia, Kementerian Informasi dan Digital didesak meninjau kembali Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE agar tidak lagi menjadi alat kriminalisasi terhadap masyarakat sipil.

Ia mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Komitmen tersebut mewajibkan negara melindungi perempuan dari perlakuan diskriminatif, termasuk penegakan hukum yang merugikan. Karena itu, penangguhan penahanan dinilai bukan menghalangi proses hukum, tetapi memastikan keadilan berjalan secara proporsional, adil, dan menghormati hak asasi manusia.

“Pemerintah harus segera menunjukkan komitmen nyata terhadap demokrasi, keadilan gender, dan perlindungan hak asasi,” tegasnya.

Mereka mengajak seluruh elemen bangsa mendukung perlindungan hak demokrasi, menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan warga sipil, serta memastikan negara menjalankan kewajibannya sesuai konstitusi dan mandat WPS.