Implementasi Program Kemiskinan Tidak Sesuai dengan Usulan Dana Desa

oleh -
Direktur Advokasi dan Kerjasama Desa, Kemendes PDTT, Muhammad Fachri (kiri), saat menerima kunjungan konsultasi Wakil Ketua Komisi I DPRD Sulteng, Wiwik Jumatul Rofi'ah, di lantai II gedung B, Kemendes PDTT, Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat (10/11). (FOTO: HUMPRO DPRD SULTENG)

JAKARTA – Salah satu kebijakan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes-PDTT) adalah soal pengentasan kemiskinan, terutama kemiskinan ekstrem.

Bentuk intervensi dari kebijakan tersebut adalah dengan mengalokasikan dana desa, setiap tahunnya.

Namun banyak pemerintah desa di Indonesia, termasuk di Sulawesi Tengah (Sulteng) yang dinilai tidak fokus mengelola dana desa untuk pengentasan kemiskinan.

“Padahal yang kita melihat rumusan kebijakan soal dana desa itu, indikator pembagiannya selalu mencantumkan variabel kemiskinan di dalamnya, bahkan bisa kita hitung nilai rupiahnya berapa,” ujar Direktur Advokasi dan Kerjasama Desa, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pembangunan Desa dan Perdesaan (PDP), Kemendes-PDTT, Muhammad Fachri, saat menerima kunjungan kerja Komisi I DPRD Sulteng, di Jakarta, Jumat (10/11).

Menurutnya, ada desa yang mendapatkan Rp1 miliar, maka ekuivalen kira-kira Rp300 juta didapatkan dari Rp1 miliar karena angka kemiskinannya.

Namun, kata dia, begitu masuk ke dalam perencanaan desanya, hampir tidak ada program pengentasan kemiskinan.

“Ketika pemerintah misalnya menetapkan 10 persen minimal untuk program pengentasan kemiskinan, mereka semua teriak,” ungkapnya.

Sangat tidak fair, kata dia, di perencanaan memasukkan angka kemiskinan yang tinggi supaya dapat dana desa yang banyak, tapi begitu masuk dalam implementasi APBDes, hampir tidak ada program pengentasan kemiskinan.

“Lantas duitnya buat apa. Pertanyaannya di situ,” tanyanya.

Menurutnya, desa ibarat negara kecil. Semua isu ada di sana, mulai dari isu pendidikan, isu kesehatan, isu kemiskinan, dan semua yang berbasis sektoral ada di desa.

Tapi seringkali, lanjut dia, program-program tidak terintegrasi dengan baik. Pemda jalan sendiri, desa juga jalan sendiri.

“Kita sama-sama bekerja, tapi tidak bekerja sama,” ujarnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, persoalan utamanya adalah data. Ia mengaku belum menemukan satu pemda pun yang berani melakukan pendataan serius. Padahal itu bisa menjadi basis untuk diintervensi secara kolektif oleh seluruh perangkat daerah.

Data kemiskinan, kata dia, sebagian dikeluarkan oleh Kementerian Sosial, sebagian juga dari BPS.

“Kalau kita itu diperhadapkan saat musyawarah desa (musdes), banyak anomalinya. Selalu ada yang namanya inclusion error dan exclusion error,” katanya.

Akibatnya, kata dia, rang yang semestinya masuk tapi tidak terdata, ada juga orang mestinya tidak masuk tapi masuk dalam pendataan. Ada juga orang yang sudah pindah atau meninggal dunia masih masuk dalam pendataan.

“Adapula orang yang sudah naik strata kemiskinannya juga masih masuk,” katanya.

Terkait itu, Anggota Komisi I DPRD Sulteng, Wiwik Jumatul Rofi’ah, mengatakan, hal-hal yang disampaikan oleh direktur perlu dirangkum dalam raperda yang saat ini sedang diinisiasi oleh komisi I.

Selain Wiwik, turut hadir anggota komisi I lainnya, Elisa Bunga Allo dan Enos Pasaua beserta staf Sekretariat DPRD Sulteng.(RIFAY)