PALU – PT Agro Nusa Abadi (ANA), perusahaan perkebunan kelapa sawit di Morowali Utara, menegaskan bahwa selalu menjalankan operasional dengan landasan hukum dan ketentuan yang berlaku.

Koordinasi dengan pemerintah dan lembaga terkait juga terus dilakukan.

“Ini semata-mata dilakukan karena PT ANA berharap kehadiran perusahaan dapat memberi manfaat bagi masyarakat dan lingkungan sekitar, bukan sebaliknya,” kata Community Development Area Manager Grup Astra Agro Wilayah Sulawesi Tengah, Oka Arimbawa, kepada jurnalis, di Palu, Senin (13/11).

Menurut Oka, kehadiran perkebunan kelapa sawit bisa menjadi faktor penggerak kemajuan wilayah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Jurnalis dan media massa, menurut Oka, memainkan peran penting dalam menyebarkan optimisme dan semangat untuk berkembang.

Oka Arimbawa juga meluruskan informasi tantang PT ANA yang dinilai salah dipahami oleh beberapa pihak, terutama terkait dengan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU).

“Perlu diketahui bahwa PT ANA sejak awal konsisten dan terus mengurus sertifikat HGU,” lanjut Oka.

Bahwa sertifikat tersebut belum dimiliki perusahaan, bukan karena perusahaan dengan sengaja tidak mengurus HGU dan mengabaikan aturan hukum.

Sebab, kata dia, sesuai ketentuan Badan Pertanahan Nasional, HGU baru bisa diberikan jika di atas lahan yang sedang diajukan HGU-nya tidak ada pihak lain yang mengklaim sebagai pemilik.

Sementara, menurut Oka, di PT ANA ini banyak sekali pihak yang mengaku memiliki lahan.

Untuk itu, proses clear and clean inilah yang tengah dilakukan. PT ANA bekerja sama dengan pemerintah, mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga provinsi untuk memastikan siapa anggota masyarakat yang benar-benar berhak atas lahan tersebut.

“Ini dilakukan melalui proses verifikasi. Verifikasi ini sangat penting, karena dalam satu lahan, bisa muncul 2 sampai 3 anggota masyarakat yang mengaku pemilik lahan yang sama,” ujar Oka.

Tahun 2010, lanjut dia, hasil verifikasi menunjukkan, total lahan yang diklaim mencapai 21 ribu hektar lebih. Angka ini tiga kali lipat melebihi luas lahan yang sedang PT ANA mohonkan HGU-nya yang hanya seluas 7 ribuan hektar.

“Perusahaan juga sangat ingin memiliki sertifikat, supaya bisa fokus mengelola perkebunan sehingga bisa berkontribusi bagi pembangunan Morowali Utara dan kesejahteraan masyarakat,” tegas Oka.

Oka juga meluruskan informasi keliru yang menyatakan bahwa PT ANA melanggar hukum karena beroperasi belasan tahun tanpa HGU.

Dasar tuduhan itu adalah putusan Mahkamah Konstitusi no.138 tahun 2015 yang menyatakan bahwa perusahaan harus memiliki HGU dan IUP baru bisa beroperasi.

“Semua peraturan tidak bisa berlaku surut,” kata Oka.

Dari sisi sejarah, kata dia, jelas bahwa PT ANA hadir dan beroperasi sejak tahun 2007. Artinya, PT ANA hadir jauh sebelum putusan MK itu keluar.

Sementara itu, ketentuan dan peraturan yang berlaku pada waktu ANA hadir, adalah UU Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan yang menyatakan bahwa perusahaan dapat beroperasi dengan IUP atau HGU.

Meskipun demikian, kata dia, PT ANA tunduk dan taat pada hukum. Sertifikat HGU harus dimiliki sebagai landasan hukum operasional perusahaan di atas lahan negara.

“Untuk itu, sampai hari ini pun PT ANA masih terus berusaha memperoleh sertifikat HGU tersebut,” pungkasnya. (*)