Eh so komiu dengar to’ berita kalau aset bekas mesjid Agung Darusalam (sekarang Mesjid Raya Baitulkhairaat) so dijual sama yayasannya? Dibilang ketuanya, so dijual untuk operasional katanya. Pas ditanya bendahara, bendahara mengaku tidak tau. Aih bagaimana dan ceritanya itu? Baru ditanya juga Pemda yang baurus pembangunan Mesjid Baitulkhairaat, dorang juga tidak tau.

Adoh kalo begini ceritanya ada yang tidak beres. Bukan kita curiga kemana uang itu, tapi lebih ke menajemennya mesjid. Masa mesjid besar di Sulawesi Tengah, yayasannya tidak bakutau jalannya uang. Bisa-bisa disalahgunakan.

Dengan kejadian begini bisa jadi pelajaran, sedangkan mesjid besar saja tidak beres dia pe menejemen apalagi mesjid-mesjid kecil. Memang tidak mesti kita generalisir, tapi begini sudah kebanyakan model menejemen kita pe masjid, tidak profesional.

Menurut Kaka Ibelo, hampir rata di semua mesjid, orang-orang selalu mengeluhkan menejemen mesjid. Mulai dari pengurus, imam sampe suara mik mesjid semua dibicarakan. Apalagi pas Ramadhan, hampir tiap hari orang-orang yang baurus mesjid itu jadi trending topik. Kalau ada salahnya pareva masigi atau doja (pengurus mesjid), beh isu-isu politik dengan artis tatutup semua. Kalau Patrick Kluivert datang di lapangannya dorang bacari bakat pemain, bersamaan dengan pareva mesjid baganti tehel teras mesjid sama dengan tehel WC, barangkali lebih trending pareva mesjid.

Baru, kebanyakan mesjid cuma urus pembangunan bakase gaga-gaga mesjid. Ditambah dengan dorang pe cara baurus kurang tranparan. Caranya dorang transparan kebanyakan cuma lewat pengumuman di papan dengan diumumkan di waktu Jumat. Padahal bisa jadi yang basumbang tidak sembayang di situ.

Padahal model transparansi sekarang itu so moderen semua. Misalnya; laporan lewat aplikasi khusus, baliho, whastapp ke penyumbang, atau foto pertanggungjawaban di medsos. Misalnya juga jamaah diajak untuk baikut melaksanakan program mesjid yang dananya dari penyumbang, supaya dirasakan betul hasil sumbangan.

Paling bagus lagi itu uang-uang jamaah dipake untuk pengembangan ekonomi umat. Misalnya, dipake untuk modal usaha warga sekitar mesjid. Supaya tarasa adanya peran itu mesjid.

Belum lagi program-program mesjid hanya babangun, tapi teada pembinaan keagamaan. Banyak mesjid yang gaga tapi yang sembayang cuma lima orang, itupun orang tua dua orang, anak-anak dua orang dengan satu orang anak muda-tapi yang bajaga mesjid. Jangan sampe so namanya mesjid raya, mesjid agung ato mesjid jami, tapi yang sembayang bisa dihitung sambil basalto. Jadi bikin itu le program pembinaan rutin, bila perlu paling kurang tiga kali seminggu.

Biasanya juga mesjid masih sering sekali batabung uang umat lama-lama. Padahal, yang namanya uang umat harus disalurkan cepat-cepat supaya ada guna. Karena itu jadi amal jariyahnya orang yang basumbang, apalagi penyumbangnya sudah meninggal baru sedekahnya belum disalurkan. Hamaa so dihambat pahalanya orang.

Satu lagi, hampir semua juga mesjid tidak punya tim audit internal. Pokonya modal kebanyakan mesjid, percaya saja yang “baurus orang bae”. Hadoranga!  

Intinya baurus uang umat itu harus pintar bajaga kepercayaan umat. Tida bisa komiu modal bakase liat diri orang bae, tapi wajib ada laporan yang lengkap, teada yang disembunyi-sembunyi. Itupun sebenarnya biar so trasnparan betul masih ada yang curiga. Intinya serius melaporkan. Bukan begitu? Tabe!