PALU- Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) mendesak Gubernur Sulteng, menertibkan operasi ilegal PT. Agro Nusa Abadi (ANA), sebab dinilai menjadi sumber masalah konflik agraria, di Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Morowali Utara (Morut).
“Sejak 2006 masalah konflik agraria yang melibatkan masyarakat Petasia Timur dengan perusahaan PT. ANA sampai dengan saat ini tidak terselesaikan,” kata Koordinator FRAS Sulteng, Eva Bande kepada MAL Online, Selasa (5/10).
Ia mengatakan, dalam catatanya
terdapat 300 lahan masyarakat Petasia Timur, dirampas oleh PT. ANA, dan terdapat empat orang masyarakat dijerat hukum dengan tuduhan pencurian buah sawit.
Olehnya, mereka menilai perusahaan ini adalah perusahaan kebal terhadap hukum, melihat perusahaan ini diduga tidak memiliki legalitas dalam pengoperasiannya.
Ia mengatakan, hasil kajian Ombudsman perwakilan Sulteng 2018, menyimpulkan bahwa terjadi maladministrasi terhadap aktivitas perusahaan.
“Dalam hal ini perusahaan tersebut, tidak memliki izin usaha perkebunan (IUP-B),” katanya.
Dia menambahkan, PT. ANA adalah aktor utama penyebab rentetan kasus-kasus perampasan lahan dan kriminalisasi terhadap petani.
Perusahaan ini, kata dia, merupakan anak dari perusahaan Astra Agro Lestari yang mayoritas sahamnya dikuasai oleh Jardine Matheson Group.
“Perusahaan ini telah memonopoli 461.072 Ha lahan yang ada di Indonesia. Dari total luasan lahan tersebut Astra Agro Lestari 2017 telah memiliki total keuntungan US$ 6.100 Juta, ” ujarnya.
Ia menyebutkan, kekayaan yang dimiliki oleh Grup Astra Agro Lestari ini, buah dari hasil dari perampasan-perampasan lahan anak dari perusahaan Astra Agro Lestari, seperti apa yang di praktekkan oleh PT. ANA.
Olehnya, pihaknya mendesak agar Gubernur Sulteng, segera menertibkan aktivitas perusahaan PT. ANA.
“Perusahaan ini banyak membuat masyarakat menderita karena praktek-praktek kejahatan dilakukan,” katanya.
Ia menambahkan, penyelesaiaan kasus ini harus menjadi tanggung jawab pemerintah Provinsi Sulteng.
“Apalagi penyelesaiaan kasus konflik agraria ini telah menjadi fokus dan prioritas dari pemerintah Jokowi,” imbuhnya.
Dihubungi terpisah, Humas PT. ANA , Doddy , mengatakan, lahan masyarakat yang mana dimaksud, sepengetahuannya, proses penyelesaian lahan semuanya melibatkan pemerintah desa, kecamatan hingga kabupaten.
“Jadi tidak benar jika ada perampasan hak,” tekannya.
Ia mengatakan, di Morut pemerintah turun langsung, dikarenakan banyaknya mafia tanah yang mengaku petani, hanya untuk menguasai lahan dan notabene mafia lahan tersebut tidak pernah bertani. Komoditinya pun tidak pernah ada.
Terkait pelaku pencurian yang pihaknya laporkan, menurutnya, itu murni pidana pencurian. Karena buah yang diambil terbukti buah sawit yang ditanam oleh perusahaan.
“Saat ini proses hukumnya sedang berlangsung dan biarkan hukum di negara kita yang membuktikan kebenarannya,” ujarnya.
Dia juga menegaskan, sangat tidak benar, jika pihaknya tidak memiliki legalitas, selaku perusahaan besar yang berinvestasi di lahan seluas 7000 ha, dalam bidang perkebunan yang notabene jangka panjang. Menurutnya dengan itu, tidak mungkin mau mengambil resiko dengan nilai yang sangat besar.
“Jelas kami hadir diketahui oleh pemerintah dan diberikan ijin. Saat ini, hal ini sangat mungkin dicek secara terbuka,” katanya.
Jika kita membaca hasil ombudsman, imbuhnya, jelas disitu maladministrasi yang dimaksud seperti apa, dan pemerintah disarankan untuk segera memperbaiki,
“Jadi bukan dalam kewenangan kami,” katanya.
Dia menjelaskan, pihaknya, diwajibkan mengurus seluruh ijin sesuai aturan yang berlaku, dan dalam prosesnya, jelasnya mengikuti apa yang di perintahkan oleh pemerintah.
“Kami tidak menyangkal ada beberapa kendala di lapangan, termasuk masalah lahan, ” sebutnya.
Tapi pada prinsipnya, kata dia, perusahaan wajib mengikuti apa yang diatur oleh pemerintah sebagai dasarnya. Banyaknya mafia lahan yang mengaku memiliki tanah negara ratusan ha hingga ribuan ha menjadi masalah hampir di semua wilayah di Morut.
Oleh karenanya, kembalikan lagi ke aturan mengenai penguasaan lahan negara, apakah rasional seseorang atau sekelompok orang menguasai seluas itu tanpa memenuhi syarat-syarat agraria yang berlaku?
“Mungkin, bisa kita dalami bersama dengan kejujuran untuk kepentingan masyarakat yang lebih besar , yang merasakan manfaat dan dampak positif dari hadirnya investasi di daerah ini,” pungkasnya. (Ikram)