Dialog Publik PMII Palu, Polemik Perubahan RUU HIP menjadi RUU BPIP

oleh -
Ketua Cabang PMII Kota Palu, Taslim

PALU – Wacana pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Idiologi Pancasila (HIP) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI, sontak menjadi perbincangan publik dengan berbagai macam pendapat.

Ada yang sepakat agar pembahasan dilanjutkan sebagai penguatan terhadap Pancasila dan adapula yang menolak dan meminta agar dicabut dari prolegnas.

Melihat persoalan itu, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kota Palu akan menggelar dialog publik secara virtual via Google Meet dengan tema “RUU HIP dalam Pusaran Penolakan dan Perubahan Menjadi RUU BPIP” Kamis (23/07), pukul 20.00 Wita besok.

Kegiatan tersebut menghadirkan enam narasumber, yaitu Korem 132/Tadulako, DPRD Provinsi Sulteng, Ansor Sulteng, PW IKA PMII Sulteng, Koordinator Tim Pembela Muslim (TPM) Indonesia Sulteng dan Akademisi Fakultas Hukum Untad.

Ketua Cabang PMII Kota Palu, Taslim, berpendapat, dalam dunia demokrasi, perbedaan menjadi sebuah keharusan. Dalam agama Islam juga menjelaskan perbedaan adalah sebuah rahmat.

“Artinya bahwa perbedaan pendapat menjadi sebuah pembawa kebaikan,” ungkapnya, Rabu (22/07).

Ia menambahkan, UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, mengharuskan keterlibatan masyarakat agar kebijakan atau produk hukum yang dikeluarkan oleh legislatif dan eksekutif sesuai dengan keinginan masyarakat.

“Sehingga tanggapan publik terhadap RUU HIP dengan melakukan demonstrasi dijamin oleh undang-undang yang dimaknai sebagai partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang,” terangnya.

Menurutnya, gerakan demonstrasi hadir atas penolakan terhadap RUU HIP karena tidak memasukkan TAP MPRS mengenai pelarangan terhadap paham komunisme, marxisme dan leninisme dalam konsideran dan beberapa pasal yang tidak sesuai dengan keinginan ormas ataupun masyarakat Indonesia pada umumnya, yaitu Trisila, Ekasila dan ketuhanan yang berkebudayaan.

“Kami sangat menyayangkan kenapa anggota DPR RI yang tidak memasukkan TAP MPRS tentang pelarangan paham tersebut dan juga memasukkan pasal-pasal yang perdebatannya telah selesai tanggal 18 Agustus 1945,” tuturnya.

Protes tersebut mendapatkan titik terang setelah pemerintah akan mengakomodir tuntutan dari masyarakat dengan berkomitmen akan menjalankan TAP MPRS.

Namun, kata dia, hal ini tak bisa menghentikan gerakan penolakan dengan melakukan demonstrasi berjilid-jilid.

“Saat demonstrasi dilakukan, bendara Partai Komunis Indonesia (PKI) dibakar oleh para pendemo sebagai bentuk hasrat penolakan terhadap paham komunisme agar jangan sampai tumbuh dan berkembang kembali di Indonesia,” tambahnya.

Namun, pihaknya berharap, jangan sampai gerakan penolakan RUU HIP dijadikan tunggangan untuk pemecah belah persatuan dan kesatuan NKRI.

“Maka forum diskusi harus dilakukan agar mendapatkan titik terang dari permasalahan yang ada,” pungkasnya. (RIFAY)