OLEH: Sahran Raden*
Tulisan ini ingin mengelaborasi cita pemilu yang bermartabat melalui desain etika dan hukum dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Dalam desain pemilu Indonesia salah satu lembaga yang diberi wewenang Undang Undang untuk menegakan etika pemilu adalah Dewan Kehormatan Penyelebggara Pemilu ( DKPP ). Sebagaimana ketentuan UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pasal 155 bahwa, “DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutus aduan dan/atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU, anggota KPU Provinsi, anggota KPU kabupaten/kota, anggota Bawaslu, anggota Bawaslu Provinsi, anggota Bawaslu kabupaten/kota”.
Dengan tugas dan wewenang DKPP tersebut, maka DKPP hadir sebagai upaya menjaga kehormatan dan kewibawaan penyelenggara pemilu.
Peran DKPP sangat penting dalam memberi legitimasi yang kuat terhadap hasil pemilu. Ukuran pemilu yang baik jika kita patuh pada hukum termasuk aturan Kode etik. Tujuan peradilan etik untuk meningkatkan kepercayaan terhadap penyelenggara pemillu. DKPP hadir bukan untuk menghukum bagi penyelenggara pemilu tetapi menjaga kehormatannya dan truss masyarakat terhadap pemilu.
DKPP yang merupakan quasi judicial dalam lingkup kekuasaan kehakiman memiliki peran menegakkan kode etik penyeleggara pemilu. Model persidangan kode etik yang bersifat terbuka ini sangat efektif menimbulkan efek jera dan mengurangi jumlah penyelenggara yang diadukan ke pengadilan umum maupun ke pengadilan tipikor. Peserta pemilu puas dengan mengadukan ke DKPP atau dalam kasus lain peserta pemilu menggadukan ke semua lembaga peradilan termasuk PTUN.
Peran DKPP menyongsong pemilu 2019,. Memeriksa dan memutus pelanggaran kode etik. DKPP mempunyai tanggungjawab moral untuk menjaga kualitas pemilu dalam hal ini penyelenggara pemilu.
POTENSI PELANGGARAN KODE ETIK PEMILU
Pemilu sebagai arena kontestasi politik untuk merebut kursi dan kekuasaan sehingga dapat berdampak pada pelanggaran terhadap tahapan pemilu. Apapun sistem pemilu yang diterapkan oleh suatu negara konflik kepentingan selalu menjadi ancaman bagi penyelenggaraan pemilu di negara demokratis. Dengan demikian, potensi pelanggaran kode etik yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu tidak dapat terelakan. Jika kekuatan integritas, profesionalisme, kemandirian dan independensi tidak menulang sum sum pada personal Penyelenggara Pemilu dalam menyelenggarakan pemilu dapat mengakibatkan tercederainya proses dan hasil pemilu.
Potensi pelanggaran kode etik yang dapat terjadi dalam pelaksanaan pemilu termasuk dalam hari pemungutan dan penghitungan suara serta rekapitulasi itu yaitu Mengurangi, menambahkan, atau memindahkan perolehan suara dari satu peserta Pemilu ke peserta Pemilu lainnya, perbuatan mana menguntungkan dan/atau merugikan peserta Pemilu satu dengan lainnya.
Dalam laporan DKPP 2018, pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu persentase terbesar adalah pada aspek profesionalisme penyelenggara pemilu. Pilkada 2018 pelanggaran kode etik pada aspek profesionalisme ini mencapai 52 % dan penyelenggaraan tahapan pemilu 2019 ditahun 2018 mencapai 43 %. Aspek profesionalisme sangat terkait dengan ketaatan prosedur pemilu, administrasi pemilu dan kecermatan serta kehati hatian dalam menyelenggarakan pemilu.
Ketidak cermatan dapat disebut sebagai Sloppy Work of Election Process, ketidakcermatan atau ketidaktepatan atau ketidakteraturan atau kesalahan dalam proses Pemilu. Ketidakcermatan dan ketidak hati hatian bisah menyebabkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan penyelenggara Pemilu pada hari pemungutan dan penghitungan suara.
Sedangkan pelanggaran yang terkait dengan prinsip kemandirian pada pilkada 2018 terjadi 16 % dan pemilu 2019 di tahun 2018 terjadi pelanggaran sebanyak 11 %.
Jika kita lihat dalam konteks pelanggaran kode etik, maka pelanggaran terhadap prinsip kemandirian akan menghancurkan, menganggu, mempengaruhi netralitas, imparsialitas penyelenggara pemilu. Ini disebabkan adanya Un-Equal Treatment, perlakuan yang tidak sama atau berat sebelah kepada peserta Pemilu dan pemangku kepentingan lain yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Selain itu prinsip kemandirian tercederai jika modus Bribery of Officials, pemberian sejumlah uang atau barang atau perjanjian khusus kepada penyelenggara Pemilu dengan maksud memenuhi kepentingan pemberinya atau untuk menguntungkan peserta pemilu.
Dalam desain pemilu Indonesia yang dilaksanakan dalam dua pemilu yang digabungkan dalam satu waktu yakni pemilu serentak Presiden dan DPR telah menambah beban penyelenggara pemilu dan berpotensi adanya pelanggaran dalam pelaksanaannya. Jaminan kepastian hukum pemilu bukan hanya teknis pemilu akan tetapi regulasi kelembagaan KPU dan Bawaslu secara tertib dilaksanakan oleh aparaturnya dibawah yang sifatnya hirarkis. Kalau pengaturannya tidak jelas, berdampak pada penerapan hukum yang berbeda beda. Sehingga mengganggu terhadap integritas penyelenggaraan pemilu dan terhambatnya pemilu yang demokratis dan berkualitas.
Pemilu berintegritas tidak saja terkait dengan norma hukumnya akan tetapi penerapan hukumnya secara teknis di lapangan yang dilaksanakan secara konsisten oleh semua penyelenggara pemilu secara berjenjang.
Pemilu telah menyerap energi kita maka perlu peran strategis Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam upaya menjaga pemilu ini dipercaya masyarakat. Peran DKPP, tidak saja menerima dan memutus pelanggaran kode etik akan tetapi perlu mensosialisasikan eksistensi DKPP kepada masyarakat sebagai bagian dari penyelenggara pemilu yang menjaga martabat dan kehormatan penyelenggara pemilu. Pemilu mahal, karena itu kita perlu meningkatkan kualitas pemilu. Tanpa penyelenggaraan pemilu tidak ada lembaga eksekutif dan lembaga legislatif , tidak ada Presiden dan wakil Presiden, tidak ada DPR,, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
PENEGAKAN KODE ETIK DIMULAI DARI MANA?
Salah satu cita pemilu tahun 2019 adalah cita pemilu bermartabat. Pilar utama pemilu bermartabat adalah penyelengara pemilu dan taat hukum. Spirit pemilu bermartabat dijalankan oleh penyelenggara pemilu diatasnya adalah etika dan hukum. Meminjam teori hukum Stupenbau dari Hans Kelsen, menyatakan bahwa sistem hukum adalah sistem anak tangga kaidahnya secara berjenjang dari hukum yang rendah berpegang pada hukum yang tinggi dan hukum yang tinggi berpegang pada hukum dasar.
Teori ini jika diterapkan kedalam sistem penyelenggara pemilu yang sifatnya hirarkis artinya bahwa pengaturan teknis kepemiluan secara normatif mengikat pada UUD 1945 Pasal 22 E, UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Peraturan KPU, Peraturan Bawaslu, Peraturan DKPP, Surat Edaran dan kebijakan hukum lainnya. Berdasarkan itulah, bahwa penyelenggara pemilu mengikatkan dirinya pada hukum yang diatur dan diterapkan secara berjenjang bahkan menjadi pedoman perilaku melaksanakan pemilu.
Penegakan kode etik penyelenggara pemilu, mestinya ditegakan oleh masing-masing kelembagaan penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu.
Berdasarkan Draft Peraturan Pedoman Peracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dapat ditangani oleh empat pihak, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Tim Pemeriksa Daerah (TPD), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Jika pelanggaran dilakukan oleh penyelenggara pemilu adhoc, maka kasus ditangani oleh lembaga penyelenggara yang bersangkutan tingkat kabupaten/kota. Sebagai contoh, jika anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) melakukan pelanggaran, maka KPU kabupaten/kota dapat memberikan sanksi. Jika Pengawas Pemilu Lapangan (PPL) melakukan pelanggaran, maka yang berwenang memberikan sanksi adalah Bawaslu kabupaten/kota.
Dengan demikian diharapkan, permasalahan yang kebanyakan bersumber dari penyelenggara Adhoc PPK, PPS dan KPPS dapat diselesaikan dengan baik untuk menjamin kualitas pemilu dapat berjalan secara berintegritas. Maka penegakan kode etik mestinya dimulai dari kelembagaan penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu yang baik bisah menghasilkan pemilu bermartabat jika dimulai dari proses tahapan pemilu yang baik pula. Perbaikan sistem pengaturan penyelenggaraan pemilu terutama pada penyelenggara harus dimulai dengan niat baik dilaksanakan dengan baik dan diakhiri dengan baik. ***
*Penulis adalah Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tengah dan Tim Pemeriksa Daerah DKPP Sulawesi Tengah