Desa Rano dalam Ancaman Industri Ekstraktif

oleh -
Seorang warga melihat ke gunung sekitar Desa Rano yang pohon-pohon mulai ditebangi. (FOTO: MAL/IKRAM)

“Tadinya saya mau bawa sleeping bag, pakai kupluk, jacket tebal, kaus kaki. Saya pikir dingin, ternyata panas,” itulah kesan pertama yang tergambar dalam benak Minie ketika tiba di Desa Rano, Kecamatan Balaesang Tanjung, Kabupaten Donggala, beberapa waktu lalu.

Minie merupakan salah satu rombongan yang menghadiri Festival Danau Rano yang diselenggarakan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulteng bekerja sama dengan masyarakat setempat.

Padahal, menurut Minie, Desa Rano dikelilingi gunung yang ditumbuhi pepohonan, harusnya cuacanya dingin.

Ia lalu menyempatkan diri menolehkan pandangan menyapu sekeliling gunung yang mengitari Desa Rano.

Dari bawah, terlihat di beberapa bagian dan hutan yang tidak lagi lebat, berganti dengan kebun-kebun cengkeh milik warga.

“Perkebunan cengkeh mulai masif dibuka masyarakat setempat sekitar tahun 80-an,” terang Gafar (63), salah seorang tokoh masyarakat setempat.

Gafar menuturkan, masing-masing kepala keluarga memiliki setidaknya 2 hektar kebun cengkeh. Hal inilah membuat hutan sekitar dibabat.

Ia pun mengakui perubahan cuaca 20 tahun terakhir akibat dari penebangan pohon sekitar Desa Rano. Dulu, kata dia, bila masuk sore hari, cuaca dingin sudah mulai merasuk sendi-sendi tulang, mengharuskan warga memakai sarung panjang menyelimuti tubuh.

“Tapi sekarang, sarung pendekpun, hawanya panas,” katanya.

Dampak penebangan hutan juga berpengaruh pada debit air danau di desa tersebut.

Dia bersyukur, WALHI sudah mendampingi desanya, baik dalam pemberdayaan maupun edukasi dalam pengelolaan SDA, sehingga sedikit demi sedikit bisa memberi kesadaran sebagian masyarakat dalam mengelola SDA di desanya.

Camat Balaesang Tanjung, Nawir, pada saat pembukaan Festival Danau Rano, mengatakan, untuk mengembangkan perekonomian, warga harus mencari formula dan desain tepat dan benar sehingga tidak mengganggu ekosistem dan kelestarian lingkungan. Hutan-hutan penyuplay air ke Danau Rano agar dijaga.

BACA JUGA :  Brimob Sulteng Gelar Layanan Hipnoterapi Gratis

“Bila kemiringan 60 derajat atau 30 derajat tidak usah diolah jadikan sebagai kebun,” pesannya.

Desa Rano terletak di Kecamatan Balaesang Tanjung yang memiliki luas 54,26 kilometer persegi. Terbagi dalam kawasan hutan, pemukiman, perkebunan, dan kawasan perairan seluas 269,7 Ha.

Jarak dari kota Palu sampai ke Desa Rano sekitar 140 kilometer, dengan waktu tempuh 3 sampai 4 jam menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua.

Akses jalan yang rusak, berkubang dan berlumpur, bisa memperlambat laju kendaraan serta menambah waktu tempuh. Apalagi memasuki musim hujan, harus berhati-hati sebab longsor bisa sewaktu-waktu terjadi.

Dari penuturan warga setempat, Anis, selama ini ada tiga hal yang menjadi harapan semua warga Desa Rano, mulai dari jalan rusak yang tak kunjung diperbaiki, listrik belum dialiri dan komunikasi.

“Syukurnya akses komunikasi akhir Desember 2019 kemarin sudah masuk,” ujarnya.

BANYAK POTENSI BELUM TERKELOLA BAIK

Selain potensi perkebunan, pertanian Desa Rano juga memiliki danau yang menyimpan aneka ragam hayati seperti ikan mujair, nila, gabus dan sidat.  Belum lagi terdapat situs-situs dan cagar budaya peninggalan masa penjajahan, seperti adanya meriam Portugis.

Namun semua potensi tersebut belum terkelola dengan baik untuk meningkatkan taraf ekonomi.

Prosesi Adat Mompalit Rano. (Foto: MAL/IKRAM)

Untuk itulah, WALHI Sulteng berupaya mengintervensi serta memetakan potensi-potensi ekonomi yang terdapat di Desa Rano dengan tetap berbasis kearifan lokal dan ekologi.

Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Sulteng, Julie, mengatakan, masyarakat Rano memiliki ketergantungan sangat besar terhadap hutan, kebun dan danau.

Oleh karena itu, kata dia, masyarakat jika dilihat dari peradaban sejarahnya memiki relasi sangat kuat terhadap hutan dan danau.

“Sebab disinilah terbangun solidaritas sosial, ruang spiritual dan menjadi pasar bagi bermukim di sekitarnya,” tuturnya.

Ia mengatakan, peristiwa bencana 28 September 2018 menjadi pengalaman berharga yang bisa dijadikan pembelajaran untuk memperlakukan alam secara bijak, guna mewujudkan keseimbangan relasi antara ekosistem dalam mendukung keberlangsungan dan keberlanjutan sumber penghidupan manusia.

BACA JUGA :  Penerima KIP 2024 Antusias Ikuti Upacara Hari Santri

Sehingga, kata dia, WALHI merespon agenda pemulihan pascabencana dengan melakukan pemetaan wilayah rentan bersama masyarakat dan pemerintah desa, melakukan pembangunan hunian layak bagi 114 Kepala Keluarga (KK), pemulihan ekonomi dan perlindungan terhadap perempuan dan kelompok rentan.

MASUK WILAYAH IZIN USAHA PERTAMBANGAN

Sayangnya, semua potensi yang ada, kini terganggu dengan ditetapkannya Desa Rano dalam peta pola ruang Ranperda RTRW Provinsi Sulawesi Tengah sebagai Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP).

Hal tersebut merupakan ancaman  bagi keberlangsungan Wilayah Kelola Rakyat di Kecamatan Balaesang, khususnya Desa Rano.

Festival ini menjadi salah satu momentum bagi masyarakat kecamatan Balaesang Tanjung untuk merawat ingatan akan perjuangan mereka dalam mempertahankan wilayah kelolanya.

Salah satu ritual budaya Mompalit Rano sebagai sebuah proses ritual adat  secara filosofis menjadi simbol masyarakat dalam menjaga dan memanfaatkan sumber daya alam.

Tradisi ini masih terus dipertahankan secara turun-temurun hingga saat ini.

Oleh karena itu WALHI Sulawesi Tengah bersama masyarakat Desa Rano menyelenggarakan kegiatan festival bertajuk Hutan Hijau, Danau Lestari, Rakyat Sejahtera dengan harapan dapat mendorong komitmen Pemerintah Kabupaten Donggala untuk mendukung pembangunan desa-desa di Balaesang Tanjung berbasis kearifan lokal berkelanjutan.

Menurut Julie, tujuan festival adalah berbagi pengetahuan dan pengalaman antara komunitas dan peserta terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan pascabencana.

Selain itu, kata dia, memperkuat nilai sosial dan adat budaya masyarakat Rano dalam tata kelola sumber daya alam dan eko wisata serta mendorong lahirnya kebijakan perlindungan wilayah kelola rakyat.

BACA JUGA :  Laporan Persetubuhan Anak Dibawa ke Irwasda

“Dari sini, kita mengharapkan masyarakat Desa Rano dan publik luas mendapatkan informasi, pengetahuan serta pengalaman terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan. Perlindungan wilayah kelola rakyat menjadi satu bagian penting dalam tata kelola lingkungan hidup dan ekosistem,” katanya.

Sejauh ini, lanjut dia, pelibatan masyarakat dalam pengelolaan SDA yang difasilitasi pemerintah, sangatlah minim. Akibatnya, kondisi pengelolaan SDA yang pro modal telah menunjukkan dampak mengancam keberlanjutan ekologi dan masyarakat.

Hal ini, ditandai dengan terjadinya degradasi lingkungan pada ekosistem penting, kawasan hutan, daerah aliran sungai, rawa dan kawasan pesisir di Sulawesi.

Sementara, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulteng, Abdul Haris mengatakan, penting untuk dilihat bahwa masyarakat di Rano punya sumber daya berlimpah, tetapi terancam sebab adanya industri ekstraktif.

“Sejak 2013 kami melakukan pendampingan melawan eksploitasi pertambangan dis ini,” ungkap Aris, sapaan akrabnya.

Lanjut Aris, ada upaya perlawanan dari warga karena mereka mengkhawatirkan kehancuran ekologi.

Makanya, kata dia, melalui festival ini, pihaknya mendorong untuk bisa mengampanyekan bahwa ekosistem di Rano harus dijaga dan dilindungi dari ancaman industri ekstraktif.

Kepala Desa Rano, Samin, membenarkan bahwa festival dilaksanakan bertujuan menjaga lingkungan.

Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati, mengatakan, prespektif pemerintah mengatakan bahwa perkembangan ekonomi bisa dilakukan dengan cara yang eksploitatif, sangatlah keliru.

“Mengeruk sumber daya alam tidak selaras dengan kondisi lingkungan kita yang rentan terhadap bencana,” ujarnya.

Dia mengatakan, konsep tanding pembangunan yang ditawarkan Walhi guna menyejahterahkan masyarakat adalah dengan jalan berbeda dari pemerintah yang terkesan eksploitatif dan tidak memiliki manfaat jangka panjang.

“Jalan tanding itu adalah selaras dengan alam dan memiliki manfaat pada masyarakat lokal,” ujarnya.

Menurut Yaya, sapaan akrabnya, dalam festival ini, media memiliki peran strategis untuk menyampaikan ada apa di Rano kepada khalayak. Bahwa Rano merupakan sebuah ekosistem unik, baik dari segi budaya, lingkungan, sumber daya, termasuk kerentanan bencana.

Hal sama juga diutarakan Program Officer Livelihood Yappika, Hari Wijayanto. Menurut dia, festival ini sebuah cara untuk menyuarakan aspirasi dari warga di Rano, juga menyuarakan produk-produk dihasilkan di Rano, sehingga masyarakat luas bisa melihat.

Even ini, kata dia, diharapkan bisa mengenalkan ke publik, apa yang pihaknya bersama Walhi lakukan. Upaya ini semakin berkembang dan ditopang dengan kebijakan pemerintah desa, terutama soal pengelolaan lingkungan.

“Kegiatan ini juga merupakan jendela untuk melihat lebih jauh harapan kita ke depan,” ujarnya. (IKRAM)