PALU – Komandan Resort Militer (Danrem) 132/Tadulako, Brigjen TNI Farid Makruf, menyampaikan beberapa dampak yang terjadi akibat praktik pertambangan tanpa izin (peti) di sejumlah daerah.
Salah satu dampak yang dimaksud adalah kerusakan lingkungan, termasuk pencemaran air dan tanah karena bahan berbahaya seperti merkuri.
“Tiga hari yang lalu, saya di WA Kepala BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), dia minta tolong cek Sungai Poboya itu. Masyarakat di sana tidak bisa mengambil air minum dari sungai karena menurut penyelidikan sudah terindikasi tercemar merkuri,” ungkap Danrem saat menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama komisi gabungan DPRD Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), kemarin.
Kepada pihak lain yang berwenang, Danrem mengajak untuk sama-sama melakukan pengecekan kondisi Sungai Poboya tersebut. Jangan sampai, kata dia, terjadi penyakit turunan pada anak cucu di sekitar Poboya karena tercemar merkuri.
“Kadar besinya sangat berbahaya, baik untuk bayi maupun ibu hamil,” tuturnya.
Danrem juga menyampaikan dampak lain yang ditimbulkan praktik Peti tersebut, seperti terjadinya tanah longsor dan erosi, mengancam keselamatan manusia maupun flora dan fauna di sekitarnya.
“Juga menimbulkan ketidakpastian ekonomi akibat banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya sebagai penambang dengan berbagai faktor risiko,” katanya.
Ia mengaku sudah pernah mendiskusikan persoalan ini dengan Kapolda Sulteng. Kata dia, Kapolda sendiri mengaku sangat gampang untuk membubarkan dan menangkap pelaku Peti.
“Tapi apa iya mereka ditangkap lalu dibiarkan kelaparan. Kami sepaham dengan Kapolda. Kalau cuma menangkap orang kami serahkan saja satu peleton dengan senjata dibantu Brimob, bubar mereka semua. Tapi pertanyaan selanjutnya sama dengan Kapolda itu,” ujarnya.
Ia menyarankan agar mencarikan alternatif pekerjaan kepada masyarakat penambang, atau jika dimungkinkan mencari wilayah yang bisa diolah untuk dibuatkan pertambangan yang legal.
Diketahui, sampai saat ini aktivitas Peti di Kelurahan Poboya masih terus berlangsung. Aktivitas tersebut terjadi di atas lahan kontrak karya milik PT Citra Palu Minerals (CPM).
Sebagaimana yang pernah diungkapkan Pengamat Pertambangan Sulawesi Tengah, Syahruddin A. Douw, sejauh ini terdapat dua lokasi di Poboya yang masih aktif beroperasi, yakni di dekat sungai dan di wilayah Watutempa.
“Di lokasi kedua ini, kuat dugaan aktifitasnya begitu massif, sampai melakukan perendaman seperti yang terjadi di Kayuboko Parigi,” ungkapnya. (RIFAY)