OLEH: Jamrin Abubakar*
Jika bangsa-bangsa Eropa ke Maluku untuk berburu rempah jenis pala dan cengkeh, maka yang datang ke Donggala berburu cendana dan damar. Sesungguhnya cendana dan damar masih dikategorikan rempah-rempah, cuma saja tidak sepopuler pala dan cengkeh, sebab cendana dan damar lebih banyak kegunaan terkait bahan perabot bangunan ketimbang bahan rempah.
Tetapi secara historis, cendana dan damar memiliki kisah cukup menarik terkait kolonialisme, termasuk di Kota Donggala. Pada zaman Hindia Belanda, komoditi hasil hutan tersebut paling diburu pedagang untuk diekspor melalui Pelabuhan Donggala.
Sejumlah catatan sejarah menyebut kedatangan pedagang Eropa ke Donggala, salah satu tujuannya mencari damar dan cendana. Paling komersil adalah kayu cendana akar, bahkan diperdagangkan sampai ke Mugal, India sejak abad ke tiga sesuai informasi dari Jamest T. Collins (sejarawan Bahasa Melayu) yang mengutip Christian Pelras (Indonesianis dari Perancis).
Karena itu pula, para bangsawan dan saudagar di Donggala pada abad 19 dan 20 dikenal sebagai pedagang cendana, salah satunya Rohana Lamarauna. Laporan Asisten Residen Donggala pada masanya cukup jelas menulis sebelum menjadi raja, Rohana memiliki usaha dagang cendana.
Belakangan kayu cendana kembali jadi incaran sebagaimana diungkapkan Ari Sukmantri (40 tahun) seorang barista di Donggala. Menurutnya beberapa waktu lalu sempat melakukan penelusuran kemungkinan ada cendana di kawasan pegunungan arah barat Kelurahan Tipo, Kecamatan Ulujadi. Beberapa sampel telah diperoleh, namun belum dilakukan kepastian secara jelas dari beberapa orang yang pernah dihubunginya.
“Beberapa waktu lalu ada pihak dari Surabaya yang melakukan penjejakan kayu cendana hutan. Informasi yang saya peroleh harganya cukup mahal bila yang berkualitas tinggi, tapi sampai saat ini belum ada lanjutan,” cerita Ari pada media ini, beberapa waktu lalu.
Data terakhir dari Monografi Sulawesi Tengah tentang ekspor kayu cendana dari Sulawesi Tengah tahun 1973/1974 sebesar 8.250 ton. Selanjutnya tidak ada lagi, menyusul terjadinya kelangkaan seperti halnya kayu hitam saat ini.
Secara botani, kayu cendana memiliki minyak wangi semacam aromaterapi, digunakan bahan campuran parfun, kosmetik kecantikan, dupa untuk upacara ritual adat dan bahan bangunan, kerajinan seni atau perhiasan rumah. Secara alamiah dikategorikan rempah-rempah untuk bahan obat herbal, konon zaman kuno di India dijadikan campuran pengawet jenazah.
Berdasarkan fakta tersebut, seyogyanya pelabuhan Donggala dikategorikan Jalur Rempah Nusantara, cuma saja dalam pengimputan data dari Pemerintah Daerah Provinsi Sulteng beberapa waktu lalu tidak dilakukan. Akibatnya Sulawesi Tengah terlewatkan dalam peta jaringan Rempah Nusantara yang saat ini sedang diperjuangkan pemerintah Indonesia untuk diusulkan sebagai Warisan Dunia ke UNESCO.
Hutan belantara nan luas di Sulawesi Tengah, selain cendana pernah banyak tumbuh, di zaman kolonial damar juga pernah jadi komoditi unggulan. Getah damar bentuk kristal merupakan komoditi cukup menguntungkan para saudagar yang diperdagangkan ke berbagai negeri.
Pohon damar bentuknya tinggi menjulang. Getahnya digunakan untuk bahan perekat cela buritan atau dinding kapal, vernis atau plester pada meja kayu. Bahkan damar dijadikan bahan kosmetik atau parfun, bahan korek api, kemenyan dan dijadikan bahan rempah makanan.
Berdasarkan data Sensus dan Statistik Provinsi Sulawesi Tengah dan Geografi Budaya Daerah tahun 1977, menyebut lalulintas barang keluar jenis damar melalui pelabuhan Donggala cukup besar hingga tahun 1973 mencapai 58 ton.
Puncak terbesar tahun 1974 mencapai 860,81 ton, kemudian semakin menurun tahun 1975 tinggal 27,91 ton dan tahun berikutya meredup hingga tahun 1980-an tidak ada lagi pengiriman melalui Pelabuhan Donggala. Kecuali di Poso, hingga ahun 1977 lalu lintas damar yang keluar untuk ekspor melalui pelabuhan masih ada mencapai 184,00 ton. Pada tahun yang sama melalui Pelabuhan Kolonodale sebanyak 160,48 ton dan pelabuhan di seluruh wilayah Banggai pengiriman damar hanya 9,18 ton.
Hilangnya damar dari perdagangan salah satu penyebabnya tidak ada lagi sumber getah damar di hutan karena hutan rusak cukup parah sejak lama. Selain itu, telah terjadi perubahan banyak peralatan yang dulu menggunakan damar kemudian tidak lagi. Salah satunya penggunaan dempul atau lem pada cela perahu kini tidak lagi pakai damar, telah tergantikan lem khusus.
Namun demikian, sejarah mencatat kedatangan bangsa-bangsa Eopa seperti Belanda dan Portugis di Nusantara, selain pala dan cengkeh, juga karena cendana dan damar. Sedangkan kopra merupakan komoditi masa-masa berikutnya setelah era kejayaan rempah-rempah.
*Penulis adalah Pemerhati Sejarah dan Budaya/Wartawan Senior Media Alkhairaat