PALU- Manager Advokasi dan Kampaye Celebes Bergerak, meminta DPR Kota Palu untuk menunda pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palu, sebab mengabaikan risiko bencana.
“Revisi RTRW Kota Palu terkesan kejar tayang, terburu-buru dalam pengerjaannya dan mengabaikan berbagai aspek. Hal ini justru memicu polemik publik dan menimbulkan pertanyaan besar untuk siapa revisi tersebut ditujukan,” kata Manager Advokasi dan Kampaye Celebes Bergerak Freddy Onara dalam diskusi Publik dilaksanakan sejumlah organisasi masyarakat sipil di salah satu hotel Kota Palu, Jumat (23/4) pekan kemarin.
Menurut Freddy, substansi tata ruang yang mereka pahami dan yakini adalah memberikan perlindungan kepada setiap warga negara, dan untuk kepentingan bersama. Memberikan perlindungan terhadap lingkungan hidup dan mengintegrasikan penanggulangan bencana ke dalamnya.
“Berdasarkan analisis spasial secara umum, 49 persen ruang di Sulteng, memang ditujukan untuk kepentingan investasi jika dikomparasikan dengan peruntukan lain seperti kawasan hutan dan pemukiman,” kata Freddy.
Freddy mengatakan, 49 persen ini angka besar. Kalau mau disimpulkan, Pemerintah cukup banyak memberikan servis terhadap investasi melalui tata ruang.
Sementara, kata Freddy, hasil audit tata ruang ATR/BPN 2019, Kota Palu dan Donggala menyebabkan kerugian triliunan akibat kesalahan pemanfaatan ruang.
“Diperkirakan ada 111 hektar keliru peruntukannya tapi malah diberikan izin untuk dilakukan pertambangan. Memang Izin ini keluar sebelum UU Otonomi Daerah disahkan, sehingga kewenangannya ada di Pusat. Karena kesalahan tumpang tindih penggunaan lahan ini, kita merugi sampai 619 Triliun. Rekomendasi untuk penindakan dan penegakan hukum sudah ada sebenarnya, tinggal tunggu action Pemerintah saja,” jelas Freddy.
Freddy menambahkan, perubahan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) beberapa lokasi pasca bencana diajukan, perlu dipertimbangkan kembali.
sebab proses-proses ini minim sosialisasi dan tidak melibatkan partisipasi publik secara luas.
Lanjutnya, jika semangat tata ruang didasari motif perlindungan terhadap masyarakat dan penataan lingkungan hidup, maka sebaiknya kebijakan berujung relokasi sangat penting mendengarkan aspirasi warga menjadi objek kebijakan.
Hal krusial lainnya, menurutnya, konsesi PT. Citra Palu Mineral (CPM) luasannya mencapai 13.000 hektar, justru sangat tumpang tindih dengan berbagai kepentingan pemanfaatan ruang.
“Wilayah CPM harusnya menjadi perhatian, karena berada dalam zona rawan bencana, serta tumpang tindih dengan kawasan suaka alam dan pemukiman, ” sebutnya.
Jika di-overlay, ujar Freddy, ada banyak sekali wilayah sepadan sesar masuk dalam wilayah konsesi CPM. Bahkan kalau ditarik garis, jarak antara wilayah konsesi CPM dan Huntap Budha Tzuchi hanya 1,5-2 killometer. Ada indikasi terjadi krisis akibat pencemaran air bersih di sana, karena PDAM Poboya menyuplai air, berada dalam daerah berpotensi terpapar limbah.
Untuk itu Freddy meminta Pansus Ranperda RTRW Kota Palu agar serius meninjau kembali, hasil revisi ini dan mengutamakan kepentingan publik luas.
“Jika buru-buru disahkan RTRW ini juga rentan menjadi alat untuk menyingkirkan masyarakat dari lahan berstatus ZRB,” katanya.
Baginya, paradigma pembangunan condong pada kepentingan investasi tercermin dalam Revisi RTRW Kota Palu. Hal ini sudah pasti tidak mensejahterakan warga dan bisa menjadi mesin pembunuh mengerikan, karena tidak hanya menyebabkan konflik atas ruang, tapi juga meningkatkan risiko keselamatan jika terjadi bencana.
“Apakah benar serius kita #JagaPalu kalau kita justru memprioritaskan kepentingan investasi ketimbang perlindungan kawasan?” tanyanya.
Reporter: IKRAM