OLEH: Jamrin Abubakar*
“Bugis Donggala”.
“Bugis Donggala”. Ini.adalah sebutan yang sejak dulu sudah cukup dikenal.
Mereka adalah penduduk yang lahir dan tinggal di Donggala secara turun-temurun memakai Bahasa Bugis setiap berkomunikasi sehari-hari dengan logat khas.
Di satu sisi “Bugis Donggala” saat ini secara kultur adalah keturunan suku Bugis perantau asalnya dari Sulawesi Selatan (terutama Bone, Soppeng dan Wajo) yang melakukan migrasi.
Kapan Orang Bugis Datang ke Donggala?
Christian Pelras dalam “Manusia Bugis” menyebut, di bagian barat Sulawesi Tengah banyak pemukiman orang Bugis. Sejak berabad-abad mereka telah ada di sekitar Teluk Palu, khususnya Donggala.
Demikian halnya di berbagai wilayah nusantara dengan aktivitas dagangnya dan tidak sedikit mendapat kepercayaan memangku jabatan pemerintahan di berbagai kerajaan.
Banyak tokoh Bugis mendapat pengakuan kekerabatan pada suku Kaili melalui pernikahan di kalangan bangsawan Kerajaan Banava dan Kerajaan Tavaeli serta Palu.
Beberapa catatan MVO (Memorie van Overgave) Pemerintah Hindia Belanda yang dikutip Junarti (2004), menyebut, orang Bugis datang ke Donggala pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Sebagai pelaut ulung dan pemberani, mereka sangat berperan secara politik. Di antara tokoh-tokohnya memiliki kedudukan strategis dalam keamanan perairan di Teluk Palu pada masa awal kolonial Belanda berkuasa di Donggala.
Dalam beberapa dokumen Belanda menyebutkan, tokoh pelaut Bugis asal Bone diberi julukan Kapten Bugis dan Mayor Bugis.
Di antara keberanian mereka adalah dapat menghalau perompak atau bajak laut Mindanau sehingga mendapat kedudukan dan tempat permukiman di Donggala.
Kali pertama adalah Daeng Matona yamg dikenal Mayor Kalangkangan antara tahun 1820 hingga 1844 menjalin hubungan baik dengan raja-raja Kajeli (Kaili) di kawasan Teluk Palu.
Setelah meninggal dunia posisinya dilanjutkan oleh putranya, La Patigo sebagai Mayor Bugis selama tahun 1844-1870.
Pemimpin Bugis selanjutnya dipegang Lamattoppuang Pettana Lambedo atau lebih dikenal Lamattopuang Petta Ese masih kerabat Lapatigo dengan gelar Mayor Kalangkangan selama tahun 1871 hingga 1880.
Kelak seorang putranya bernama Laraga Pettalolo (Haji Muhammad Saleh Pettalolo) menjadi pengganti dengan gelar Letnan Bugis dalam tahun 1880-1900.
Tokoh Bugis ini tewas dalam konflik internal Kerajaan Banava tahun 1904.
Putra pertamanya bernama Haji Amir Pettalolo menjadi Letnan Bugis terakhir di Donggala selama tahun 1900-1940.
Kedatangan orang-orang Bugis di Donggala menjadi pedagang dan memiliki andil dalam penyebaran atau pengembangan agama Islam.
Mereka juga berpengaruh besar dalam adat istiadat, bahasa, tulisan Bugis hingga adanya sistem ejaan Bugis ketika mengaji di kalangan suku Kaili.
Bahkan jauh sebelumnya dalam mitologi Sawerigading datang ke Tanah Kaili diperkirakan abad IX atau X, telah terjalin kekerabatan melalui pernikahan dengan putri bangsawan di Banava.
Demikian halnya yang datang belakangan berintegrasi dengan penduduk setempat memengaruhi identitas kultural Kaili hingga saling menyatu.
Bahkan bahasa Bugis di Donggala dalam pergaulan sehari-hari dari generasi ke generasi melebur pada suku Mandar, Kaili dan Tionghoa.
Begitu pula dalam upacara perkawinan dan pakaian adat masih dipertahankan sebagai jati diri walau sebagian komunitas Bugis saat ini telah “terputus” komunikasi dengan kampung asal leluhur. Tidak mengetahui asal-usul pokok keluarga di Tanah Bugis, kecuali hanya ingatan kolektif nama asal seperti Wajo atau Bone atau Soppeng dan lainnya.
Kini orang-orang Bugis dari beberapa generasi di Donggala mengidentifikasi diri dengan sebutan “Bugis Donggala.” Terutama orang-orang Bugis kategori generasi keempat atau kelima dari garis akar kedatangan pertama.
Lain halnya suku Bugis yang orang tuanya baru datang setelah kemerdekaan RI (dekade 1950-an hingga 1970-an) masih sering berinteraksi dengan kerabat di kampung asal dan sering pulang.
Mereka tidak diklasifikasi “Bugis Donggala” (hanya menyatu dan secara administrasi telah menjadi penduduk Donggala).
Secara kultural masih dekat dengan kampung asal-usul, cenderung menyebut diri sebagai “Bugis Soppeng” (berasal dari Soppeng), Bugis Pare-Pare (berasal dari Pare-Pare), “Bugis Bone” (berasal dari Bone) dan lainnya.
Umumnya mereka berdagang barang campuran kebutuhan makanan dan pakaian, membuka usaha di pasar dan kios atau toko di tempat mereka tinggal.
Tempat awal permukiman orang-orang Bugis di Donggala berada di Labuan Bajo, tempat kapal-kapal Bajo berlabuh.
Eksistensi Bugis saat ini dari aspek perekonomian, selain memiliki usaha pertanian di desa-desa dalam wilayah Kabupaten Donggala, menguasai bidang perdagangan hasil bumi dan pemasaran bahan pokok.
Pasar merupakan basis utama menjalankan usaha untuk tetap survive, di antara mereka memiliki kemitraan dengan etnis Tionghoa, pembeli dalam skala besar.
“Cina Donggala”
Kedatangan orang Cina atau Tionghoa di Donggala secara bergelombang, umumnya sejak awal abad ke-19 dengan tujuan berdagang, kemudian menetap.
Datang langsung dari daratan Cina (Tiongkok) dan sebagian pindahan dari Kota Makassar, Pulau Kalimantan dan Surabaya (Jawa). Orang-orang Cina memiliki latar belakang asal berbeda-beda, di antaranya dari Hokkien, Hokchia, Kanton, Hakka dan lainnya.
Dalam perkembangan sejarah orang Tionghoa telah menyatu dengan berbagai suku melalui perdagangan.
Memiliki relasi sosial, budaya dan ekonomi hingga turun-temurun telah melekat sebutan “Cina Donggala” bentuk penerimaan warga pada umumnya.
Eksis sejak zaman pemerintahan Belanda, memiliki posisi strategis di bidang perekonomian dan jabatan penting seperti adanya sebutan Kapten Cina berurusan dengan kelautan.
Ada pula yang diberi wewenang usaha konsesi perkebunan kelapa dan perdagangan hasil bumi.
Pendirian Chung Hwa School di Donggala merupakan sekolah yang dirintis orang-orang Tinghoa. Ini.adalah sekolah Tionghoa pertama di Sulawesi Tengah kemudian dibangun di Kota Palu dan Tolitoli.
Didirikan secara swadaya pada masa pemerintahan raja Banawa, Ruhana Lamarauna (1935-1947).
Sekolah tersebut bukan bagian dari pemerintah kolonial tetapi bahasa pengantarnya bahasa Belanda dan Cina.
Mulanya, tingkat dasar enam tahun, setelah kemerdekaan dibuka lanjutan SLTP pada bangunan dua tingkat di bagian belakang.
Bekas sekolah Tionghoa hingga saat ini masih aslinya walaupun telah beberapa kali direnovasi dan fungsinya silih berganti sesuai dinamika politik.
Dari aspek perekonomian, sejak dekade 1970-an hingga kini etnis Tionghoa telah menguasai dan mendominasi berbagai usaha.
Bergerak di bidang jual-beli hasil bumi dan kebutuhan bahan pokok di toko-toko hingga distribusi ke berbagai pelosok. Telah menggusur dominasi pengusaha etnis Bugis dan Arab yang pernah menonjol selama beberapa dekade.
Ketika aktivitas utama pelabuhan mulai dialihkan ke Pantoloan sejak akhir dekade 1970-an, banyak pengusaha etnis Arab mengalihkan usahanya ke Palu.
Sedangkan etnis Tionghoa tetap survive melakukan usaha dagang mampu mendominasi sektor perekonomian. Termasuk penguasaan lahan perkebunan kelapa milik per orangan di seputaran kota Donggala telah beralih kepemilikan ke pengusaha etnis Tionghoa.
Ketidakberdayaan dan ketergantungan di tengah kelesuan perekonomian membuat mereka melepaskan aset alam yang dimiliki.
Demikian halnya bangunan-bangunan rumah dan tanah, dulu menjadi milik penduduk setempat kemudian banyak beralih kepemilikan.
Eksistensi etnis Tionghoa bukan sekadar berhasil secara ekonomi, tapi sekaligus berhasil dalam integrasi kultur Kaili.
*Penulis adalah Pemerhati Sejarah dan Budaya di Donggala/Wartawan Senior Media Alkhairaat