“Budi Berbalas Tuba”

oleh -

Oleh : Muhammad Khairil

Malin Kundang menjadi legenda cerita turun temurun yang diwariskan antar generasi tentang kisah dibalik anak yang durhaka pada ibunya hingga akhirnya ia dikutuk menjadi batu.

Walau cerita si Malin Kundang seolah pudar seiring generasi milenial saat ini, namun spiritnya tetap hidup untuk mengingatkan setiap anak tentang rasa bakti pada orang tua dan tentang berbalas budi.

Apalah arti nilai kebaikan seseorang dimata orang yang hanya haus akan kuasa dan dibutakan oleh ambisi dan hasrat untuk mencapai apa yang mereka inginkan. Ibarat kacang yang lupa akan kulit.

Dulu menyanjung, kini menginjak. Dulu bermanis muka, kini bermuka dua. Saat butuh, manis di bibir tapi hati berkata lain. Jangankan berbalas budi, malah melempar air tuba.

Sungguh ironi kehidupan, andai masa lalu berlalu begitu saja dan seolah “pura pura” lupa bahwa kita hari ini adalah karena kebaikan orang lain di masa lalu. Saat diatas, susah menunduk tapi saat dibawah, selalu menanduk.

Hidup bagai kumbang, yang hanya hinggap pada bunga yang mekar. Saat sari bunga telah dihisap, lalu ia meninggalkan bunga yang sudah layu. Selalu mencari dan mencari bunga yang masih mekar. Inilah hukum alam tentang hidup si kumbang.

Realitas “manusia kumbang” juga nyata dalam kehidupan sosial kita saat ini. Orang orang yang lupa berbalas budi juga khianat, memilih berpaling dan seolah “menusuk” dari belakang.

BACA JUGA :  Authority Bawaslu Sebelum Penetapan Calon dalam Pemilihan Kepala Daerah

Tentu akan sangat menyakitkan andai orang yang awalnya disayang sayang, diangkat dengan derajat yang lebih baik, lalu hanya “setitik” kuasa dengan mudah perpaling muka, seolah jasa itu sirna seiring kepentingan kuasa atas dasar iri, dengki terlebih sakit hati berbalut dendam.

Tak ada beda dengan hidup para benalu yang menumpang pada tanaman lain dan menghisap makanan dari tanaman yang ditumpanginya.

Benalu menyerap makanan dari pohon inangnya dan jika dibiarkan maka benalu dapat bertambah banyak yang akan menyebabkan tumbuhan inangnya kurus dan pada akhirnya kering lalu tak lama akan mati. 

Hidup ini tidak sekedar hidup, andai hanya hidup untuk hidup maka apa beda kita dengan benalu. Hidup dari kehidupan orang lain. Bahkan tidak hanya hidup dari orang lain, juga menyusahkan kehidupan orang lain.

BACA JUGA :  Mencari Jejak Identitas Kaili Rai di Tengah Arus Modernisasi

Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya Lain kumbang lain pula hidup para lebah yang selalu damai dan harmoni. Loyalitas dan solidaritas para lebah sangat terjaga dengan baik. Maka jangan salahkan lebah, apabila satu yang tersakiti, yang lain pun terasa sakit dan bahkan menyerang siapa pun yang menyakiti saudaranya. 

Sungguh malang nasib seseorang, yang hati dan pikirannya hanya dipenuhi oleh rasa iri, dengki terlebih dendam dan sakit hati. Rasanya merugi andai hidup yang singkat ini lalu semata hanya untuk saling menjatuhkan dengan selalu mencari kesalahan orang lain.

Bukankah harimau mati meninggalkan belang ? Bukankah gajah mati meninggalkan gading ? Lalu apa yang manusia tinggalkan ? Hanya nama baik, tidak lebih. Nama inilah yang akan dikenang orang lain, nama inilah yang akan mencatatkan diri kita pada doa doa orang orang yang merasakan kebaikan itu.

Juga sebaliknya, andai yang tersimpan dalam hati dan memori orang orang yang kita tinggalkan hanya catatan keburukan, maka kenangan buruk itu pu akan sulit terlupakan.

Investasi paling berharga dalam hidup ini adalah menanam budi dan berbalas budi. Bukankah “khaerrunnas”, sebaik baik kita adalah yang bermanfaat terhadap sesama ? Bukankah dengan berbuat baik pada sesama juga akan berbalas kebaikan untuk diri kita ? (Baca Artikel “Menebar Aib, Menuai Karma).

BACA JUGA :  Menakar Starting Point Posisi Elektabiltas Paslon Gubernur dan Wagub Jelang Kampanye 2024 di Sulteng

Bijak rasanya memetik hikmah dari manusia berbudi luhur, Mohandas Karamchand Gandhi, dikenal sebagai Mahatma Gandhi. Ia seorang pemimpin spiritual dan politikus yang memiliki peran penting dalam gerakan kemerdekaan India. Walau akhirnya Ia terbunuh oleh Nathuram Godse ditahun 1948 karena ia diduga terlalu memihak kepada muslim namun karya dan budinya telah dikenang sepanjang masa.

Salah satupesanbijaksang legend adalah “the future depends on what we do in the present”. Sungguh masa depan kita akan sangat ditentukan dari investasi kita hari ini. Apa yang kita tanam, maka itu yang akan kita tuai.

Nasehat bijak Al-Hafidz Ibnu Rojab rasanya menarik untuk kita renungkan, “barangsiapa yang menanam kebaikan berupa ucapan atau amalan dia pasti menuai kemuliaan dan barangsiapa yang menanam keburukan berupa ucapan atau amalan, besok dia akan menuai penyesalan”.

*Penulis adalah Dosen Pada Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNTAD