BANGGAI – Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan KB, Kabupaten Banggai menyelenggarakan Workshop Penyusunan Model Solusi Strategis Analisis Dampak Kependudukan dengan judul Dampak Dinamika Kependudukan (DDK).
Kegiatan itu dilaksanakan, mulai tanggal 20 sampai 21 September 2018, di Desa Jayabakti, Kecamatan Pagimana, Kabupaten Banggai.
Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Sulteng, yang diwakili Kepala Seksi (Kasi) Penyusunan Parameter Kependudukan, Perwakilan BKKBN Provinsi Sulteng, La Ode Dia, dihubungi dari Palu menjelaskan, Workshop itu dilaksanakan sebagai salah satu upaya BKKBN dalam mengentaskan berbagai permasalahan kependudukan di Desa Jayabakti sebagai desa terpadat di dunia. Dengan luas hanya 0,5 km persegi, desa ini dihuni oleh lebih dari empat ribu jiwa dengan kepadatan sembilan ribu jiwa persegi.
Kata La Ode, dalam workshop tersebut BKKBN Sulteng menghadirkan dua akademisi Universitas Tadulako (Untad) sekaligus Ketua Koalisi Kependudukan dan Pembangunan Provinsi Sulteng, Prof. Chairil Anwar dan Samsudin.
“Dikesempatan ini saya menyatakan bahwa pengendalian penduduk merupakan tugas bersama, baik pemerintah maupun masyarakat. BKKBN hanya sebagai stimulan, sementara pemerintah daerah merupakan eksekutor,” katanya.
“Jumlah penduduk yang besar yang disertai dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dan kualitas SDM yang rendah akan berdampak pada berbagai aspek, antara lain kesehatan, ketahanan pangan, lingkungan, dan sebagainya. Oleh karena itu, perlu adanya sinergi dalam usaha pengendalian dampak kependudukan,” tambahnya
Dikesempatan yang sama, Samsuddin mengungkapkan, di Desa Jayabakti terdapat berbagai permasalahan kependudukan pada masyarakatnya. Pertama jumlah, tingkat pertumbuhan, dan kepadatan penduduk yang tinggi. Ke dua, angka pernikahan dini yang tinggi.
Samsuddin mengaku, dalam penelitiannya menemukan bahwa separuh wanita di Desa Jayabakti menikah pada usia 12 sampai 19 tahun, suatu rentang usia yang terlalu muda untuk menikah. Ditambah lagi tingkat partisipasi berKB yang rendah.
“Hal ini berbanding terbalik dengan pengetahuan masyarakat tentang KB yang tinggi. Ketika ditanyakan tentang metode KB, mereka tahu. Namun ternyata mereka tidak berKB, padahal mereka pasangan usia subur tau usia antara 15 sampai 49 tahun,”terangnya.
Samsuddin juga mengaku menerima pertanyaan dari salah satu tokoh masyarakat Desa Jayabakti yang mengatakan bahwa di desanya tidak ada orang miskin karena mereka tidak kekurangan makanan. Samsuddin menjawab bahwa ukuran kemiskinan bukan hanya jumlah asupan makanan, tapi juga terpenuhinya jumlah kalori yang dibutuhkan oleh tubuh. Selain itu kecukupan gizi sangat penting karena boleh kita cukup makan namun gizinya tidak memadai.
Sementara, ketua panitia pelaksana, Patmi Abadan, mengungkapkan bahwa dewasa ini terdapat berbagai permasalahan kependudukan yang kita hadapi, antara lain jumlah penduduk yang besar, kualitas penduduk yang rendah, dan persebaran penduduk yang timpang. (YAMIN)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.