GEMPA bumi dan tsunami 28 September 2018 lalu bukan saja memakan korban jiwa, tapi juga meruntuhkan artefak bekas bioskop bernilai sejarah kota tua Donggala. Sisa bangunan cukup lama menjadi kenangan sebelum rontok jadi puing disapu tsunami.
Dulu, bioskop menjadi pemersatu dan pemicu kemajuan perekonomian kota Donggala selain pelabuhan. hingga pertengahan dekade 1990-an di kota Donggala masih beroperasi tiga unit bioskop yang pemutarannya pada sore hari dan malam. Pemutaran satu film kadang sampai lima hari bertahan dengan empat pilihan; film India, Indonesia, Hongkong dan Barat.
Bioskop menjadi bagian sejarah kejayaan pelabuhan yang tumbuh bersama dengan perekonomian yang membaik dengan banyaknya pedagang dari berbagai kawasan Pantai Barat bagian utara dan selatan wilayah Kabupaten Donggala sebagai penopang denyut perdagangan.
Para petani membawa hasil perkebunan kopra ke Donggala setiap hari silih berganti datang dan pergi, sehingga kehidupan kota Donggala sangat bergairah siang dan malam.
Tiga bioskop menjadi pusat hiburan alternatif paling digemari saat itu baik pedagang, petani maupun para ABK, terutama warga setempat banyak meluangkan waktu datang ke bioskop.
“Ketika bioskop masih aktif di Donggala dalam tahun 70-an hingga awal 90-an, kota ini selalu ramai siang dan malam orang datang dari berbagai kampung untuk menonton film. Suasana kota tampak sekali kesibukannya apalagi pada saat tiga gedung bioskop, betul-betul kehidupan kota sangat hidup yang saat itu juga pelabuhan masih aktif,” kenang Abdul Rauf Thalib (65 tahun).
Abdul Rauf Thalib yang akrab disapa Om Dorra itu salah satu di antara beberapa orang Donggala yang pernah menjadi pelaku usaha bioskop di Donggala hingga ke Kota Palu.
Beragam peran pernah dilakoni dalam urusan bioskop, dari membawa rool film dari bioskop ke bioskop dengan sepeda motor hingga mengontrak film untuk ditayangkan di bioskop serta menjadi pengurus pengusaha bioskop pernah dijalani.
Romantika susah-senang mengurus bisokop pada zamannya pernah dirasakan Om Dorra yang kini baginya tinggal kenangan.
Bioskop baginya sejak remaja sudah akrab, sebab kehadiran Bioskop Megaria di Donggala berdekatan dengan lahan milik keluarganya dijadikan tempat pemasangan mesin genset bioskop. Karena itu keluarga Om Dorra mendapat kompensasi nonton gratis setiap penayangan film di bioskop teraebut.
Toko-toko yang dekat dari area pelabuhan (terutama Pasar Tua) masih pagi sekali sudah buka hingga pukul 22.00 Wita baru tutup karena pembeli yang tak pernah sepi.
Sementara di sekitar bioskop banyak penjaja makanan ringan dan jualannya selalu habis terbeli pengunjung bioskop. Suasana sekitar gedung bioskop bagai pasar malam, karena mereka yang berkunjung ada yang sekedar bersantai sambil bercakap-cakap dan makan kacang di luar gedung untuk mengisi waktu luang.
Begitu di antara gambaran suasana keakraban ketika bioskop menjadi pusat hiburan kota Donggala, terutama bioskop dekat pelabuhan. Berdasarkan sumber yang penulis peroleh, sebelum adanya bioskop di Kota Palu, lebih dahulu berdiri di Donggala yang merupakan kota pelabuhan dan pusat pemerintahan awal sebelum Kota Palu.
Megaria merupakan bioskop pertama dan tertua yang terletak di perbatasan Kelurahan Labuan Bajo – Kelurahan Boya, Kecamatan Banawa, Donggala.
Bioskop ini pada mulanya memiliki banyak nama secara silih-berganti yang awalnya kebanyakan memutar film-film Malaya masih hitam putih yang saat itu sedang populer. Terutama film yang dibintangi P. Ramlee (1929-1973) dengan genre drama percintaan/rumah tangga yang meratap-ratap dengan selingan lagu dan cerita paling diminati.
Ismail Lamongke (75 tahun) warga Donggala yang penggemar film Malaya mengatakan kalau sudah film yang dibintangi P.Ramlee yang diputar maka penonton selalu membludak.
Dekade 50-an hingga 60-an merupakan masa popularitas P. Ramlee sebagai bintang film Malaya. Di antara filmnya yang sempat diputar di Donggala yaitu Nasib (1949), Rachun Dunia (1950), Juwita (1951), Miskin (1952), Putus Harapan (1953),Merana (1954), Penarek Bechak (1955)dan masih banyak lagi.
Pada saat satu-satunya bioskop, sehingga satu film diputar hingga dua kali sehari dalam jangka lama tiga sampai empat hari.
“Bahkan ada penonton penggemar cerita P. Ramle yang tak puas hanya sekali nonton, sehingga mengulang masuk bioskop sampai dua kali menonton film yang sama dalam satu hari,” cerita Ismail Lamongke.
Pada masa itu petugas bioskop sangat ketat dalam menerapkan aturan nonton film khusus 17 tahun ke atas, maka remaja yang belum berusia demikian tidak bisa masuk bioskop.
Setiap remaja yang datang ke bioskop pasti diinterogasi lebih dulu oleh penjaga pintu kalau kemudian diketahui belum 17 tahun, pasti disuruh pulang, kecuali kalau memang film segala usia.
Kejayaan Megaria itu berlangsaung hingga pertengahan dekade 1990-an menyusul lesunya industri film sehingga ditutup.
Masa kejayaan itu kini tinggal kenangan dengan gedung tak terawat dan papan nama bioskop “Megaria” warna hitam nyaris tak terbaca masih terpasang di bagian depan gedung.
Sejak tutup, gedung kadang digunakan tempat pertemuan atau pertunjukan seni (yang pada era 1950-an dan 70-an sering dijadikan tempat pertemuan acara pemerintahan atau rapat partai politik).
Selanjutnya lebih sering dijadikan tempat olah raga bulutangkis dan sesekali pertunjukan seni seperti tahun 2006 lalu.
“Di gedung tua bekas bioskop inilah banyak lahir kader-kader politik, tokoh masyarakat dan berbagai kalangan pernah menggunakan untuk rapat-rapat politik maupun kegiatan kemasyarakatan. Nah, pada malam ini, kembali digunakan untuk kebangkitan kesenian Donggala, terutama pertunjukan teater,” ucap Tanwir Pettalolo, seniman Donggala dalam sambutan pertunjukan drama karya WS. Rednra; Orang-Orang di Tikungan Jalan yang dimainkan Teater Bengga dan Laboratorium Seni Peran di Megaria, Sabtu malam (29 Juli 2006).
Pertunjukan drama itu seakan memutar kembali nostalgia tentang kejayaan bioskop ke masa lampau karena suasananya tak jauh beda, cuma saja materi yang ditampilkan beda.
Megaria telah banyak menyimpan cerita suka dan duka dalam bidang kebudayaan maupun politik di kota Donggala. Di tengah modernisasi dengan kehadiran bioskop tak membuat pemakai kalibombo (berselubung kain) canggung, mereka tetap hadir di antara penonton yang memakai pakaian biasa.
Kalibombo atau Salibumbu untuk sebutan di kota Palu merupakan kebiasaan menutup seluruh badan ketika sedang berjalan ke luar rumah. Cara pakai, pengguna menyiapkan dua lembar sarung, masing-masing satu dipakai untuk pakaian bagian bawah seperti rok panjang dan satunya untuk menutup kepala dengan cara memegang ujung sarung dengan tangan di dalam sambil membuka sedikit untuk melihat saat berjalan.
Tradisi kalibombo telah ada di Donggala sejak ratusan tahun silam dimaksudkan untuk melindungi diri dari terik matahari saat berjalan siang hari dan untuk menghindari adanya godaan atau gangguan dari orang iseng bagi anak gadis yang keluar rumah, termauk kalau masuk bioskop.
Namun berawal dari Bioskop Megaria itu pula cerita tentang kalibombo terancam punah ketika akhir 1950-an pemerintah melarang pemakaiannya setelah ada penyalahgunaan oleh pihak gerombolan DI/TII yang masuk ke kota melakukan mata-mata dengan menyamar sebagai perempuan pakai kailibombo.
Pada masa genting itu terjadi konfrontasi antara pemerintah dengan DI/TII, di kota Donggala seorang mata-mata masuk bioskop kemudian tertangkap yang ternyata seorang laki-laki memakai selubung, sehingga sejak kejadian itu dinyatakan untuk sementara tidak boleh memakai kalibombo.
Akibatnya tradisi tersebut berangsur-angsur ditinggalkan masyarakat Kaili, khususnya di Donggala (Bugis Donggala), kalaupun masih ada kadang hanya orang-orang tua.
Bioskop pertama di Donggala (bahkan di Sulawesi Tengah) yang sangat popular pada zamannya, sejak awal pula kawasan jalan di depannya dinamai Jalan Bioskop. Walau tak beroperasi hingga kini nama itu tetap diabadikan dan menjadi kenangan masyarakat Donggala tentang kejayaan bioskop di wilayah Kelurahan Labuan Bajo, Donggala.
***
Peluang
bisnis bioskop yang sangat menguntungkan, sehingga tahun 1970-an seorang etnis
Tionghoa di Donggala juga membuka gedung bioskop baru dengan nama Muara
terletak disimpang Jl. Mutiara – Jl. Nuburi yang berdempetan dengan gudang
kopra dekat area pelabuhan.
Sesuai namanya, tak jauh dari arah belakang gedung bioskop terdapat muara sungai Donggala. Muara dikenal paling banyak memutar film India sebagai pilihan dan telah menjadi identitas utama.
Pada masanya, bioskop ini cukup ramai selama beroperasi karena berada di dekat pelabuhan dan sekitarnya merupakan pusat perdagangan yang mudah dijangkau, terutama anak-anak kapal yang sedang berlabuh menjadikan bioskop untuk mengisi waktu luang.
Meskipun gedungnya sangat sederhana dan bau kopra menyengat saat berada dalam gedung, tetapi tidak menjadi masalah karena daya tarik film-film yang diputar mengalahkan keterbatasan tersebut. Bekas bangunan Bioskop Muara ini pun kini tinggal puing-puing yang tersisa akibat bencana alam gempa bumi dan tsunami 2018 lalu.
Sebelum ada bangunan Bioskop Muara, tempat tersebut merupakan kawasan pasar kota Donggala yang ada sejak zaman Hindia Belanda, kemudian dipindahkan ke lokasi yang kini jadi bangunan Bank Sulteng (dikenal Pasar Tua).
Bekas pasar di tepi pantai itu dijadikan gudang kopra PT. Gunung Bale Veem usaha ekspedisi milik Ladudin Bungkato (tokoh GASBIINDO Donggala) hingga akhir 1970-an. Gudang itu selanjutnya dijual ke seorang pengusaha etnis Tionghoa yang akhirnya dialihfungsikan sebagai bioskop.
Bangunan bioskop Muara hingga ini tidak banyak berubah bentuknya, masih seperti biasa dan sejak tutup kembali difungsikan sebagai gudang kopra seperti gedung sebelahnya. Cuma saja atap bagian depan tempat antrian masuk tak ada lagi, kecuali bekas loket karcis masih terlihat seperti biasa yang ditutup dari dalam dan pintu masuk masih seperti semula.
Keberadaaan bioskop Muara yang kini tinggal kenangan, telah menjadi saksi bisu tentang keemasan perdagangan kopra dan kejayaan pelabuhan Donggala masa silam, mampu bersaing di antara tiga bioskop yang pernah ada di kota kecil.
Sedangkan bioskop ketiga di Donggala bernama Gelora terletak di kaki Gunung Lapaloang bersebelahan jalan dengan Wisma Rame Donggala, Jl. Pettalolo. Gelora dibangun tahun 1980-an merupakan milik keluarga Syamsuddin Said (kelompok Wisma Rame Donggala) yang umumnya memutar film produksi Indonesia dan Hongkong.
Pada masa itu tiga bioskop yang ada di Donggala masing-masing memiliki indentitas film yang cukup menonjol. Muara dengan mengandalkan film-film India dan Megaria identik dengan film-film Barat.
Dalam perkembangannya, Bioskop Gelora sejak pertengahan 1990-an ditutup seiring lesunya perfilman nasional, sedang bangunan bioskop kini tidak ada lagi bekasnya. Sejak lama rusak tak terawat, apalagi bangunan gedung (terutama dinding) hanya terbuat dari bahan kayu. Yang tersisa tinggal cerita kenangan orang-orang yang pernah menjadi bagian saksi dan pelaku kehadiran Gelora. (JAMRIN ABUBAKAR)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.