Lima tahun terakhir, dunia perfilman alternatif di Kota Palu mulai tumbuh. Ada banyak sineas muda yang lahir secara otodidak maupun melalui pendidikan dan pelatihan. Mereka menghasilkan karya-karya film independen yang cukup menarik, mengangkat tema-tema lokalistik maupun universal tentang kemanusiaan.
Papa Al, salah satu dari sekian sineas muda di Kota Palu yang banyak melahirkan karya, mengisi kekosongan bioskop mainstream yang meredup.
Muncul sineas-sineas baru dari tangan dingin Papa Al. Selain ada yang muncul dari komunitas lainnya. Komunitas sineas menjadi kebanggaan karena menggairahkan kesunyian dunia bioskop.
Antara film dan bioskop tak terpisahkan, ada bioskop karena ada film, begitu pun sebaliknya.
Bioskop masa kini tidak lagi mengharuskan sebuah gedung mewah berdiri sendiri di lahan luas. Bioskop kekinian bisa berada di ruang-ruang komunitas sanggar seni, ruang perpustakaan, ruang taman baca atau menyewa tempat sederhana untuk semalam atau dua malam.
Itulah fenomena perfilaman dan perbioskopan di Kota Palu saat ini. Beberapa komunitas sering memutar film secara keliling. Sebagaimana yang dilakukan Forum Sudut Pandang belum lama ini. Salah satu komunitas seni di Kota Palu ini aktif memutar film alternatif.
Karya-karya film anak muda, banyak mendapat pujian maupun apresiasi secara nasional maupun internasional melalui festival. Itu menunjukkan jika potensi yang dimiliki putra-putri daerah Sulawesi Tengah cukup besar, tinggal bagaimana diwadahi.
Hingga akhir 1990-an, terdapat tujuh unit bioskop di Kota Palu, termasuk di Kabupaten Donggala ada sepuluh unit. Secara keseluruhan di Sulawesi Tengah puncak kejayaan perbioskopan tahun 1989 mencapai 50 unit.
Itu sewaktu bioskop rakyat masih memiliki peluang persaingan, tetapi sejak krisis moneter, semua bioskop di Sulawesi Tengah gulung tikar. Akibatnya butuh sepuluh tahun menunggu kekosongan baru ada bioskop dibangun. Itu pun menumpang di Palu Grand Mall. Hingga kini, itu satu satunya bioskop yang ada di Kota Palu merupakan bioskop jaringan yang dikuasai sekelompok pengusaha, bioskop CINEMA XXI.
Kota Palu memang cukup lama baru muncul bioskop setelah mengalami kematian. Hidup kembali diawali pembukaan Bioskop CINEMA XXI di Palu Grand Mall sejak 10 Juli 2015. Itupun tidak lama berjalan, kemudian terusik dengan peristiwa bencana alam gempa bumi dan tsunami, 28 September 2018, sehingga sempat tutup.
Mirisnya lagi, sehari setelah bencana tersebut, isi bioskop dijarah oleh orang-orang yang menyerbu pusat perbelanjaan tersebut hingga viral di youtube.
Cinema XXI baru dibuka kembali ketika suasana trauma sudah normal, yaitu sejak tanggal 24 April 2019 sampai sekarang. Cuma saja perbandingan penonton tidak seramai dulu saat belum bencana alam. Baru beberapa bulan berjalan, ditutup lagi untuk sementara karena wabah Covid-19 merebak. Setahun baru buka itupun diawali dengan menjaga jarak sebelum betul-betul normal tahun 2021 sampai sekarang.
Perjalanan panjang itu menunjukkan bioskop di Kota Palu mengalami pasang-surut sesuai kondisi perfilman nasional, sekaligus terdampak bencana alam. Bioskop hidup dan mati, hidup lagi.
Perjalanan panjang perfilaman dan perbioskopan di Sulawesi Tengah, adalah bagian dari rentetan perfilaman nasional. Bagi bangsa Indonesia,filmadalah bagian dari perjuangan nasionalisme, sehingga filmpunya hariperingatan nasional. Diperingati setiap tanggal 30 Maret tahunberjalan.
Hari film nasional mengacu dari tanggal 30 Maret 1950 sebagai masa awal pengambilan gambar film nasional oleh PT. Perfini dengan film Dara dan Doa karya sutradara Usmar Ismail dengan skenario Sitor Situmorang. Film pertama secara murni cerita nasionalisme perjuangan ditangani penuh oleh putra bangsa Indonesia termasuk seluruh bintang pemain.
Pada dekade 1950-an selain Usmar Ismail muncul pula tokoh film, Asrul Sani (1927-2004) seorang sastrawan angkatan 45 dikenal dalam kumpulan sajak Tiga Menguak Takdir bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin.
Asrul Sani kelahiran 10 Juni 1927 dan meninggal 11 Januari 2004 semasa hidupnya melahirkan 52 skenario dan menyutradarai 12 film merupakan dwitunggal perfilman dengan Djamaluddin Malik (1917-1970) pemain sandiwara dan pengusaha perbioskopan memiliki andil dalam memajukan perfilman nasional.
Hari Film Nasional kali pertama diperingati pada tahun 1962 oleh Konferensi Dewan Kerja Film Nasional bersama berbagai film organisasi. Masa itu film seang menjadi bagian pergelutan di dunia politik. ada banyak pelaku perfilman terkontaminasi dunia politik hingga terpecah dua, yaitu kelompok antikomunis dan pro PKI. Perseteruan cukup lama terjadi. Meskipun sudah lama ada Hari Film Nasional, tapi pengesahannya secara hukum baru dilakukan masa Presiden B.J Habibie dengan Keputusan Presiden No. 25 Tahun 1999 pada tanggal 29 Maret 1999.
Lantas bagaimana kaitan dengan perfilman di Kota Palu? Ibu kota Provinsi ini pernah menjadi bagian pergerakan perfilman dengan hadirnya sejumlah bioskop sejak awal dekade 1950-an. Tetapi secara historis khusus Kota Donggala saat masih berstatus ibu kota Afdeling Midden Celebes menjadi kota pertama di Sulawesi Tengah memiliki bioskop, yaitu tahun 1936.
Terkait dinamika perfilman nasional (masih seluloid) ada tiga film cukup dikenal yang syutingnya di Sulawesi Tengah, yaitu Mutiara Dalam Lumpur (1972), Operasi Tinombala (1977) dan Mutiara Di Khatulistiwa (1990).
Kota Palu yang dijadikan ibukota Kabupaten Donggala (1952-1999), ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah sejak tahun 1964 dan kemudian menjadi daerah otonom sejak tahun 1978 pernah mengalami masa menjamurnya gedung bioskop. Di kota ini bioskop hidup dan mati, hidup.
Penulis : Jamrin AB
Editor : Rifay