“Jauh sebelum waktunya musim haji, kita sudah berangkat dengan kapal sangat besar khusus angkutan jemaah calon haji. Jemaah dari Sulawesi Tengah semua berkumpul di Donggala untuk diberangkatkan ke Makassar yang selanjutnya menuju ke Tanah Suci selama sebulan lebih di atas kapal.
Kapal yang kami tumpangi berkali-kali singgah berlabuh dari pelabuhan ke pelabuhan hingga sampai di Jeddah sebelum ke Mekkah. Begitu pula saat pulang kapal berkali-kali singgah berlabuh, sehingga dalam pelayaran kapal itu berbulan-bulan lamanya.”
Kisah ini dituturkan Hj. Sitti Ramlah H. Asnawi, salah satu saksi sejarah perjalanan ibadah haji dengan transportasi kapal laut dari Pelabuhan Donggala.
Semasa hidup, Sitti Ramlah pernah bercerita bahwa dirinya menunaikan ibadah haji Tahun 1966 melalu pelabuhan Donggala. Sitti Ramlah telah meninggal dunia di Donggala, 18 Mei 2012 silam.
Sitti Ramlah tinggal bersama suami, almarhum Kurnain Halud, hanya beberapa meter dari Pelabuhan Donggala.
Ketika itu, ia bersama suami hampir saja gagal berangkat karena baru tiga bulan usai melahirkan.
Dengan niat ikhlas dan tekat yang kuat, keduanya tetap memutuskan berangkat. Bayi yang ditinggalkan dijaga anak sulungnya (Ainia Kurnain) selama tiga bulan lamanya. Karena lamanya perjalanan, orang yang pergi ke Tanah Suci dianggap seakan tidak kembali lagi ke tanah air.
Pengalaman naik haji termasuk kisah menarik dan banyak ditulis orang yang mengalami maupun sejarawan berdasarkan riset arsip masa Hindia Belanda.
Buku penting yang mengupas seluk-beluk proses menuju Tanah Suci dengan transportasi laut di antaranya tulisan Dr. M. Dien Majid; Berhaji Di Masa Kolonial (2008) dan Naik Haji di Masa Silam: Kisah-kisah Orang Indonesia Naik Haji 1482-1964 (2013) terbagi tiga jilid disusun Hendri Chambert Loir.
Sejak kapankah pemberangkatan calon jemaah haji Sulawesi Tengah melalui Pelabuhan Donggala? Siapa pula orang asal daerah ini yang pertama naik haji? Belum ditemukan catatan yang pasti soal ini.
Tetapi koleksi Tropemmuseum dan KITLV menyebut, adanya jemaah haji asal Donggala di Mekkah tahun 1887 (abad ke-19) menjadi bukti bahwa sudah sejak lama orang dari Donggala dan sekitarnya menunaikan ibadah haji melalui rute laut.
Dalam buku The Narrative of Captain David Woodard, sang kapten kapal Amerika Enterprise bersama empat awak kapal ketika disandera di Donggala (1793-1795) menceritakan ada seorang Tuan Haji (namanya Haji Omar) yang memiliki pengaruh cukup kuat dan kedekatan pada raja yang berkuasa di masa itu.
Tuan Haji adalalah seorang ulama besar yang menguasai bahasa Melayu, bahasa Inggris, Portugis dan berbahasa Moorish (Hindustan atau Urdu). Sosoknya digambarkan sebagai saudagar dan pelaut hebat pernah melakukan pelayaran ke Filipina, ke Bengal (Benggala), Calcutta, Bombay hingga ke Mekkah.
Tuan Haji memegang surat (sertifikat) dari Hendry or John Herbert, seorang Gubernur Blambangan, sebuah pulau di Kalimantan Utara, Sabah, Malaysia tahun 1771.
Dalam buku yang ditulis kapten Thomas Forres, seorang pelaut berkebangsaan Inggris yang lama menjelajah di Nusantara, menyebutkan bahwa Tuan Haji adalah orang Bacan (Maluku) keturunan Arab dari Mekkah. Dikenal pelaut ulung bahkan cukup lama menjadi bajak laut.
Tuan Haji yang memiliki hubungan baik dengan banyak kalangan menunjukkan bahwa dia orang baik, dipercaya dan bisa membantu pelaut dari Inggris yang mengalami kesulitan di pelabuhan (halaman 19 The Narrative of Catten David Woodard).
Disebutkan pula bahwa Tuan Haji memiliki jaringan luas dan sering berlayar ke berbagai negara dan pernah tinggal di Mindanau. Ketika seorang putra raja bajak laut dari Mindanau menikah dengan putri raja di Donggala, Tuan Haji itulah yang berperan saat prosesi pesta perkawinan.
Keberadaan Tuan Haji di Dongala disegani masyarakat setempat sehingga David Woodard bersama empat rekannya tidak terlalu mendapat tekanan selama penyanderaan di Travalla.
Travalla dimaksud kini dikenal Towale, terletak di sungai kecil di ujung sebuah teluk, arah selatan sekitar 9 mil dari Dungally (Donggala). Kota Travalla ketika itu jumlah penduduknya sekitar 200 orang dan hanya sedikit usaha perdagangan. Negeri ini kaya dengan pisang, masyarakatnya menanam biji jagung, kentang, ubi jalar, sagu, tapi tidak ada nasi.
Periode itu abad ke-18 kapal-kapal yang sering mengarungi rute pelayaran Nusantara adalah milik VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie). Bila mengacu dari abad ke-18 hingga abad ke-20 atau awal dekade 1970-an, memungkinkan sudah ribuan orang pernah berangkat ibadah haji melalui Pelabuhan Donggala.
Lain halnya kerajaan-kerajaan Islam tua di Sumatera. Beberapa catatan menyebutkan, perjalanan jemaah haji mereka sudah ada sejak abad ke-12. Berakhirnya kepemilikan kapal dagang VOC hingga KPM berlanjut pada kapal milik pemerintah Indonesia.
Sebetulnya, transportasi pesawat udara sudah ada sejak tahun 1952, namun masih terbatas.
Penggunaan kapal laut sendiri berakhir seiring bangkrutnya PT Arafat, perusahaan pelayaran ditunjuk pemerintah sejak 1964 hingga 1979.
PT Arafat memiliki beberapa unit armada angkutan penumpang dan barang. Di antaranya Gunung Jati, Belle Abeto, May Abeto, Pasifik Abeto dan Lehavre Abeto.
Pelayaran dari Donggala terlebih dahulu ditempuh menuju Embarkasi Haji Makassar. Di sana, para awak akan mematangkan persiapan sebelum melanjutkan pelayaran ke Singapura-Srilangka-India, lalu Yaman dan berakhir di Jeddah setelah menempuh pelayaran sebulan lebih.