POSO- Derita petani dan warga desa menghuni pinggiran Danau Poso, terdampak meluapnya danau Poso berada wilayah Kecamatan Pamona Barat, seakan belum berakhir.

Setelah mendapatkan ganti untung atas terendamnya sawah dan lahan peternakan mereka akibat uji coba pintu pengoperasian bendungan PLTA Poso Energy 515 Megawat 2020 lalu, kini warga menghuni dipinggiran danau Poso diperhadapkan kembali dengan adanya penetapan cagar alam dan rencana pemerintah menentukan sempadan Danau Poso 100 meter dari air pasang.

Bila kedua hal tersebut diberlakukan maka akan terjadi pemiskinan dan desa-desa berada di sekitar Danau Poso bakal hilang. Dan tawaran-tawaran disampaikan kepada masyarakat terdampak dari meluapnya air Danau Poso dianggap belum berpihak.

Kekhawatiran dan kegelisahan itu disampaikan salahsatu kepala desa di pinggiran Danau Poso yakni kepala Desa Meko, I Gede Sukaartana.

I Gede Sukaartana mengatakan, Desa Meko memiliki luas sekitar 98 Kilometer persegi, dengan luas lahan pertanian dan permukiman warga 960 hektare (Ha) ini, dihuni berbagai ragam suku dan agama saling berdampingan dan hidup rukun damai.

Desa Meko yang 95 persen penduduknya sebagai petani, tergolong ekonomi masyarakat menengah kebawah. Sebanyak 450 petani masuk data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS). Artinya petani yang layak mendapat bantuan sosial.

“Masalah sosial interaksi sesama warga suku dan agama satusama lainnya tidak bermasalah,” kata I Gede saat ditemui sejumlah jurnalis di kediamannya Desa Meko Kecamatan Pamona Barat, Kabupaten Poso, Sabtu (10/9).

Ia mengatakan, menjadi masalah sektor pertanian, ia tidak mengetahui persis kapan penentuan Desa Meko ditetapkan sebagai cagar alam .

“Tiba -tiba pagar patok cagar alam sudah ada. Kami masyarakat tidak tahu, 329 Ha kebun warga atau 200 KK mengolah kebun tersebut diklaim menjadi cagar alam,” kata I Gede.

Ia mengatakan, bila luasan 329 Ha diberlakukan dan tidak boleh dijamah petani, maka sekitar 5 atau 6 tahun kedepan terjadi proses pemiskinan.

“Sebab tanah lokasi kami tidak ada perluasan lagi dan penduduk semakin bertambah. Kami telah mengikuti program tanah obyek reforma agraria (TORA) untuk pembebasan lahan menjadi perkebunan warga tapi tidak berhasil. Hanya sebatas janji,” ujarnya.

Sementara menurutnya, angka kelahiran Desa Meko pertahun 50- 70 kelahiran. Dengan sendirinya lima tahun mendatang sudah cukup banyak penduduk desa Meko bakal membutuhkan lahan pertanian atau perkebunan.

Bahkan hingga kini sebab sempit dan kecilnya tempat usaha maka anak-anak mereka yang di desa tamat sekolah langsung keluar kerja ke daerah lain seperti Morowali, Bali dan lainnya.

“Bahkan ada masyarakat menghidupi keluarganya sebagai buruh tani, sebab tidak memiliki lahan,” tuturnya.

Ia menuturkan, persoalan lain tak kalah pelik dari Danau Poso, ada ancang-ancang lagi pemerintah menetapkan sempadan Danau Poso, walaupun belum ada keputusan sampai hari ini.

“Titik sempadannya belum ada, yang jelas sempadan Danau Poso itu ada yaitu 100 meter dari air pasang. Sedangkan air pasang di sini sangat dekat dengan permukiman warga. Bila diberlakukan desa-desa pinggiran danau akan habis,” sebutnya.

Dia menyebutkan, ia semoat memprotes adanya sempadan tersebut, dan menduga ada kerja sama dengan PT.Poso Energi. Sebab sebelumnya tidak pernah terdengar sempadan atau sosialisasinya.

Kalau sempadan diberlakukan, maka ia sangat berharap, hal itu tidak diberlakukan di desa seperti Taipa, Tonusu, Leboni, sebab mereka sangat dekat Danau Poso. Bila diukur 100 meter air pasang maka perkampungan tersebut habis.

“Kemana mereka pergi,” tanyanya.

Ia menerangkan, dari Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) turun meneliti air pasang. Dari penilitian itu, didapati perlindungan terhadap danau, 513 meter di atas permukaan laut (mdpl).

“Tapi kami menduga serta mencurigai ada kerjasama perusahaan PT.Poso Energi dengan pemerintah,” katanya.

Maka mereka mengusulkan, penentuan itu diberikan kepada masyarakat adat. Masyarakat sendiri mengusulkan 509 mdpl, dengan harapan masyarakat masih bisa mengolah sawahnya.

Elevasi danau Poso sendiri berkisar 509 mdpl sampai 512, 7 mdpl. Ketika selesai pengerukan akan mencoba menurunkan 512,5 mdpl, apakah berhasil atau tidak Poso Energi belum menjamin.

Bila dua hal tersebut, kata diaD, diberlakukan maka terjadi peningkatan angka kemiskinan. Sedang pemerintah desa digenjot peningkatan ekonomi masyarakat.

Persoalan lainnya meski petani berhasil, apapun komoditinya beras atau durian, perekonomian masih jadi persoalan ketika panen harga anjlok.

“Sebab pemerintah daerah belum punya aturan menstabilkan atau punya perusahan daerah. Sehingga para tengkulak bisa memainkan harga, sehingga perekonomian diseputaran danau Poso terkesan lambat. Bantuan sosial dicanangkan pemerintah tidak menjawab persoalan, sebab hanya sesaat,” bebernya.

Hal terpenting lagi, menurutnya, bagaimana pemerintah turun memberikan edukasi kepada masyarakat metode pertanian baik menggunakan lahan sempit tapi menghasilkan hasil maksimal itu yang mereka tidak dapatkan.

“Kami harus mencari lembaga independen memberikan edukasi pertanian atau mendampingi seperti cara membuat pupuk , bercocok tanam yang murah dan lain sebagainya,” katanya.

Lebih lanjut dia sampaikan, masuknya Poso energi sangat berpengaruh bagi sebagian perekonomian masyarakat sekitar Danau Poso, khususnya masyarakat Meko. Terdapat sekira 96 hektare sawahnya terendam dan tidak bisa diolah.

Bila mengikuti siklus alam, ujarnya, bulan 3 sampai bulan 6 tidak bisa menanam sebab air danau pasang. Bulan yang bisa mengolah sawah bulan 6 sampai bulan 10, satu tahun dua kali panen.

Adanya proyek bendungan PLTA, air tidak turun meskipun tidak musik hujan. Hal ini sudah diadukan baik ke pemerintah daerah, provinsi dan DPR, tapi diabaikan atau diperhatikan.

Sementara petani di Meko ketika mengolah sawahnya harus meminjam modal, dan diganti ketika panen. Dan ketika sawah mereka terendam mereka tidak memiliki hasil lagi untuk membayar hutang-hutang mereka.

“Saya juga berusaha membuat surat penangguhan utang masyarakat. Bukan dihapuskan hutang mereka, tapi diberi perpanjangan waktu jatuh temponya, guna meringankan beban mereka sebab sudah kehilangan mata pencaharian,” katanya.

Olehnya menurutnya, lembaga keuangan ada di Desa Meko hanya bisa memberikan waktu tidak terlalu lama, sabab bila terlalu lama uang mengendap kerugian bagi mereka.

Akibat dari terendamnya sawah petani, masyarakat sempat berunjukrasa, sebagai aksi protes terhadap kebijakan pemerintah dianggap tidak berpihak. Selain itu mereka pernah menempuh jalur hukum menggugat pemerintah, DPR, perusahanan, sampai menemui gubernur. Tapi upaya itupun gagal.

Sehingga pilihan terakhir ujarnya lagi, petani melakukan negosiasi dengan perusahaan. Karena situasi sangat kritis, maka aset petani akan disita. sebab jadi jaminan di lembaga keuangan tempat mereka meminjam.

“Jadi berapapun diganti untung perusahaan ikut saja akhirnya,” katanya.

Selanjutnya tambahnya, kemarin penggantiannya 10 killogram perare, 15 killogram perare dan 15 kilogram perare. Terhitung mulai 2019-2021 yang diterima. Sebab semua petani pinggiran danau Poso sudah menerima kompensasi yang sama.

Semua dana kompensasi itu sudah terealisasi bagi 71 KK terdampak, diterima di rekening masing- masing nilai 1 hektare Rp34 juta. Sebenarnya menjadi tuntutan petani 40 kg perare sesuai petani dapatkan ketika panen.

Untuk sekarang kompensasi tahap I ganti untung telah dibayarkan selesai oleh PT.Poso Energi. Dan sekarang terhitung 2022 proses jangka panjang negosiasi masih berlangsung

“Hasil kesepakatan bersama petani, kami tidak lagi meminta ganti untung perpanen, usulan petani dibayarkan sekali dalam jangka waktu 5 atau 10 tahun,”ucapnya

Menurut pertimbangannya, ketika kompensasi mereka dibayarkan 10 tahun sekali bayar, uang tersebut bisa berguna apakah membeli lahan lain atau buka usaha.

Perusahaan menawarkan sawah terapung, tapi spontan petani menolak sebab bukan budaya mereka dan belum terpikir teknologi seperti itu. Sebanyak 71 KK terdampak yang sawah terendam dan tidak punya lahan, mereka sudah menjadi buruh tani, mengolah pinus, mencari damar, dan menjadi buruh tani.

Ia sebagai pemerintah desa sangat prihatin. Menurutnya, mau cari lahan di hutan pun terbentur dengan cagar alam.

Bahkan dirinya sudah mengancam bila 329 ha tidak dibebaskan, maka ia akan merebut paksa. Pernyataan itu ia sampaikan ke BKSDA.

“Saya sendiri punya lahan berada masuk dalam cagar alam. Bahkan keberadaan penetapan cagar alam. Sudah kami pertanyakan bukti fisik surat keputusan penetapan cagar alam. Bukti fisik SKnya, tapi sampai kini belum ditunjukkan,” katanya.

Ia mengatakan sepengetahuannya, penentuan cagar alam, bila suatu kawasan sudah didiami orang, minimal sosialisasi kepada masyarakat.

Penetapan cagar alam ini baru diketahui saat mereka mengajukan cetak sawah baru. Namun setelah sepakat dan pengukuran tanah, dan alat berat datang untuk menggusur, pihak kehutanan tiba dan melarang untuk menggusurnya. Mereka dari kehutanan menyampaikan, hutan ini sudah jadi cagar alam, padahal di dalamnya terdapat coklat dan tanaman palawija milik masyarakat.

PT. Poso Energi sendiri imbuhnya, menawarkan tiga pilihan kepada masyarakat terdampak, yaitu, ganti untung lahan, alih fungsi lahan dan pemberdayaan. Dari ketiga pilihan ditawarkan perusahaan, semua ditolak. Mereka mengusulkan pilihan keempat membayarkan 10 tahun sekali bayar.

“Dan selama dirinya menjabat kepala desa, tidak ada jual beli lahan ke perusahaan, dan bila itu ada dia tidak menandatanganinya,” menyudahi.

Made Sadia salahsatu warga Desa Meko terdampak meluapnya air danau Poso merendam sawah miliknya, hingga kini tidak dapat diolah.

Bapak dari tiga anak inipun kini bekerja sebagai buruh tani untuk menghidupi keluarga dan membiayai uang pendidikan anaknya, yang diupah Rp80 ribu sehari. Itupun tidak selalu ada panggilan dan dirasa belum mencukupi untuk kebutuhan rumah tangga.

Ketika sawahnya belum terendam air danau Poso, dalam sekali panen lahan seluas 3 ha bisa menghasilkan beras 5 sampai 5,5 ton. Dan dalam setahun dua kali panen. Hasil itu bisa menghidupi keluarga dan membiayai pendidikan anaknya.

Olehnya kata dia, dari 3 ha sawahnya terendam, Ia mencoba memaksakan mengolah sawahnya 2 ha untuk ditanami padi, kala air merendam sawahnya surut. Bila hanya berharap gaji, tidak cukup.

“Baru-baru ini, hasil panen kami dari 2 hektar diolah menghasilkan sekitar 1 ton beras,” ucapnya.

Meskipun ujarnya, kompensasi diberikan PT.Poso Energi sudah dibayarkan kepada mereka, uang kompensasi itu hanya habis dipakai menutupi hutang, modal pinjaman dipakai untuk mengolah sawah.

“Bahkan dana kompensasi diberikan belum mencukupi menutupi hutang, masih tersisa hutang Rp13 juta,” mengakhiri.

Reporter: IKRAM
Editor: NANANG