PALU – Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut pidana penjara dua tahun kepada I Putu Dedi Artono Bendahara Pengeluaran pada satuan kerja (satker) bidang teknologi informasi (TI) Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, terdakwa kasus dugaan korupsi senilai Rp589 juta pada program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Polri tahun 2016.
“Selain pidana penjara terdakwa membayar denda Rp 50 juta, subsidair 3 bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp 598 juta, subsidair satu tahun penjara.”
Demikian tuntutan dibacakan JPU Ariati pada sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Djamaluddin Ismail di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Negeri (PN) Palu, Rabu (12/7).
JPU Ariati mengatakan, terdapat kegiatan yang dianggarkan namun tidak masuk dalam rencana kerja sehingga menyebakan kerugian Negara.
Terdakwa dianggap terbukti melanggar pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Usai pembacaan tuntutan, Ketua majelis hakim Djamaluddin Ismail memberi kesempatan kepada terdakwa dan penasehat hukumnya untuk mengajukan pledoi pada Senin (17/7).
Tahun 2016 Satker Bidang TI Polda Sulteng mendapat anggaran program peningkatan sarana dan prasarana telah direvisi sebesar Rp 720 juta, dengan rincian guna perawatan kenderaan motor roda empat Rp100 juta, roda dua Rp21 juta, perbaikan peralatan perkantoran Rp2 juta dan perbaikan perawatan fungsional Rp616 juta.
Terdaka I Putu Dedi Artono mengajukan surat permintaan pembayaran uang persedian (SPP-UP) dan surat perintah membayar uang persedian (SPM-UP) sebesar Rp 80 juta ke kantor pelayanan perbendaharaan Negara (KPPN) Palu.
Kemudian, setelah uang persedian (UP) habis dibelanjakan, terdakwa melalui Rusdin Mustafa pejabat pembuat komitmen (PPK) mengajukan surat permintaan pembayaran ganti uang persedian (SPP-GUP) ke KKPN Palu, melalui Suwoto pejabat penandatanganan surat perintah membayar (PPSPM).
Terdakwa dalam mengajukan permintaan ganti uang persedian ke KPPN memalsukan tanda tangan Suwoto. Sehingga anggaran sebesar Rp 720 juta untuk program peningkatan sarana dan prasarana telah dicairkan semuanya.
Setelah itu terdakwa memerintahkan Irsan dan Puspa Adhe Putri membuat pertanggungjawaban fiktif dan memasukan data palsu pada aplikasi SMAP online Polri, yang mana seolah-olah telah dipertanggungjawabkan.
Tim Itwasda Polda Sulteng melakukan pemeriksaan dan pengawasan tahap II menemukan bahwa dana telah dicairkan sebesar Rp 709 juta, sementara yang bisa dipertanggungjawabkan 164 juta. Maka tersisa Rp 545 juta tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan perhitungan BPKP Sulteng, negara mengalami kerugian Rp589 juta dengan rincian jumlah pertanggungjawaban penggunaan yang ada Rp 230 juta, nilai penggunaan anggaran tidak dijumpai Rp 489 juta, dan nilai pertanggung jawaban fiktif Rp 100 juta. (IKRAM)