BERBAGAI peristiwa bencna alam di Lembah Palu zaman dahulu telah terekam dalam memori kolektif secara turun temurun dalam bentuk cerita rakyat atau legenda. Bukan sekedar dongeng pelipur lara orang-orang tua kepada anak cucunya, melainkan sebuah cara pengungkapan berita yang menyiratkan suatu peristiwa dan perlunya kewaspadaan.
Kearifan budaya lokal itu beberapa contoh bisa ditampilkan berikut ini;
Cerita tentang dikeramatkannya kucing sebagai binatang peliharaan rumah yang tidak boleh disiram air atau disakiti. Konon dapat mengakibatkan hujan deras dan banjir bah. Sebagian masyarakat tradisional di Lembah Palu masih mempercayai hal ini sebagai bentuk rasa sayang pada binatang peliharaan paling dekat dengan manusia. Syahdan suatu masa di Tanah Kaili, seekor kucing menyelam ke dalam sebuah telaga mengambil jarum milik Sang Putri yang jatuh. Akibatnya, kucing itu basah kuyub dan tak lama kemudian hujan deras dan banjir datang mengakibatkan kerusakan dan genangan air bah.
Dalam mitologi beberapa suku di Sulawesi Tengah, kucing masih disakralkan tidak boleh disakiti atau disiram karena dipercaya akan menimbulkan bencana. Hal ini sekedar contoh tentang perlunya keseimbangan alam, manusia dan makhluk di dalamnya yang disimbolkan dengan kucing yang harus diperlakukan sesuai habitatnya.
Legenda paling umum dikenal orang-orang tua di Sigi maupun di Donggala adalah tentang terjadinya Lembah Palu dan Danau Lindu. Konon tepi laut zaman dahulu dari Ganti di wilayah barat Donggala hingga ke arah selatan kampung Bangga dan Bora (Sigi). Alkisah, dalam sebuah pelayaran dari lautan utara menuju lautan selatan, Sawerigading singgah di perairan laut Kaili dengan menambatkan perahunya di pelabuhan Bora wilayah Kerajaan Sigi Namun pada saat itu tanpa diketahui, ternyata anjing raksasa miliknya bernama Labolong turun ke darat tanpa diketahui.
Pada saat mengejar buruan, Labolong terperosot dan jatuh ke dalam telaga yang menjadi kubangan tempat berdiamnya belut raksasa bernama Lindu. Maka seketika itu juga sang Lindu langsung menggigit kaki Labolong yang perkasa.
Sebagai anjing pemburu, Labolong tak rela diusir begitu saja. Meskipun memberi alasan pada Lindu tentang kehadirannya di tepi telaga, tetapi alasan itu tidak digubris sang raja belut. Bahkan terus menyerang hingga Labolong yang kemudian berhasil keluar dari kubangan Lindu dengan kaki dan punggungnya sudah berdarah kena gigitan penguasa telaga itu.
Saking dahsyatnya perkelahian antara kedua binatang raksasa itu, mengakibatkan gempa bumi dahsyat, menggetarkan jagad raya. Akibat pertarungan itu pula, air kubangan tempat berdiamnya Lindu berubah menjadi air bah. Terus mengalir seakan tiada henti. Telaga yang tadinya hanya kecil kemudian melebar dan air yang keluar dari perut bumi pun meluap hingga mengalir ke segala arah. Pohon-pohonan bertumbangan dan bukit-bukit di sekitar tempat sekitarnya luluh-lantak diterjang banjir bandang.
Peristiwa gempa ini getarannya terasa sampai di pusat Kerajaan Sigi di arah utara tempat kapal Sawerigading berlabuh. Gempa bumi dan banjir besar dengan tanah longsor yang tumpah dari lereng pegunungan sekeliling laut teluk hingga menutupi laut Kaili. Maka sejak itu perairan teluk Kaili yang sebelumnya menjadi tempat pelayaran, akhirnya mengering menjadi daratan seperti yang terlihat saat ini menjadi Lembah Palu.
Terkait sebutan Loli Tasiburi di Kecamatan banawa, dalam legenda juga dikaitkan peristiwa perkelahian anjing Labolong dengan Lindu. Konon, ketika perkelahian itu tanpa sadar Labolong dan belut raksasa itu hanyut dan terdampar di Kampung Loli Tasiburi yang kini bagian dari tepi barat Teluk Palu wilayah Banawa, Donggala. Di sinilah kedua binatang itu mati tenggelam. Sejak itu pula tempatnya dinamai Tasiburi (artinya laut yang hitam), karena tempat matinya Labolong dan secara alamiah keberadaan laut di tempat tersebut cukup dalam. Dalam bahasa Bugis Labolong berarti hitam dan dalam bahasa Kaili disebut Buri.
Bekas yang dilalui Lindu saat diseret dari lubangnya menjadi aliran sungai besar yang kini disebut Sungai Palu. Sedangkan bekas kubangan belut raksasa dinamai Danau Lindu yang saat ini dikenal sebagai hulu sungai Palu.
Sampai sekarang masih banyak belut hidup di Danau Lindu, meskipun tidak lagi yang bentuknya raksasa seperti zaman dahulu. Danau itu terletak di sebuah dataran tinggi dalam wilayah Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi dikeliling kawasan Taman Nasional Lore Lindu.
Ada pulang peristiwa bencana alam yang terekam dalam memori warga Watusampu (Vatusampu) di zaman dahulu. Suiatu masa hujan deras disertai halilintar yang terus bergemuruh sepanjang siang dan malam. Mendung yang terus menggantung di langit, menumpahkan air seakan tiada henti. Air bah mengalir selama dua hari dari lereng-lereng gunung di kawsan Watusampu. Lama kelamaan tumpukkan tanah dan bebatuan dari lereng gunung terbawa air semakin banyak hingga menutupi seluruh tepian pantai Teluk Kaili (Teluk Palu) wilayah barat menjadi daratan. Di ataranya kini dinamai Watusampu salah satu permukiman tua yang secara administrasi masuk wilayah Kecamatan Ulujadi.
Di kawasan ini terdapat sebuah makam berusia ratusan tahun ikut tergeser dari arah lereng pegunungan ke tepi pantai dalam posisi yang tetap utuh. Makam tersebut berada di perairan beberapa meter dari tepi pantai yang oleh masyarakat Watusampu menamainya makam Pue Pasu. Seorang tokoh yang dikeramatkan, dianggap memiliki kearifan dan kedidayaan dalam menyatukan kelompok-kelompok etnis serumpun di Lembah Kaili. Memiliki hubungan sosial yang luas, sering melakukan pelayaran ke berbagai kawasan di Nusnatara, bahkan konon berlayar sampai ke Tanah Cina dengan kemampuan luar biasa dalam menaklukkan lautan. Ganasnya gelombang lautan tidak menggetarkan jiwanya setiap berlayar dan tidak mengenal situasi cuaca seburuk apapun kalau mau berlayar akan dilakukan.
Posisi makam Pue Pasu yang semula berada di lereng gunung kemudian berada di tepi pantai, menyiratkan suatu peristiwa alam banjir dan longsor pernah terjadi. Mengakibatkan pergeseran tanah dan berbagai material sehingga sebagian batu besar termasuk makam bergeser ke tepi pantai. Secara toponim dalam cerita rakyat, tempat pembangunan rumah pertama di tepi pantai itu terdapat sebuah batu besar yang dinamai Vatu Sampau. Vatu berarti batu dan Sampau berarti serumpun. Secara harfiah bermakna serumpun batu. Masyarakat kemudian menamainya Vatu Sampu yang belakangan dalam penulisan popular dikenal Watusampu. (JAMRIN ABUBAKAR)