PALU– Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tengah mendorong kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, tokoh masyarakat, dan komunitas sastra untuk memperkuat budaya literasi di daerah.
Hal tersebut disampaikan oleh kepala Balai Bahasa Provinsi Sulawesi tengah Syarifuddin secara resmi membuka Temu Penulis bertajuk “Palu dalam Esai: Denyut Kota dan Antologi Sastra” yang selenggarakan Balai Bahasa berkolaborasi komunitas Nemu Buku, di Aula Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Tengah, Sabtu (20/9).
Syarifuddin menekankan pentingnya kerja sama lintas sektor agar program pengembangan bahasa dan sastra dapat berjalan maksimal.
Salah satu program kini populer, khususnya di kalangan pelajar Pendidikan Agama Islam (PAIS), adalah bantuan pendidikan berbasis literasi. Program tersebut juga mendapat dukungan dari pemerintah pusat melalui skema bantuan komunitas.
” Tahun ini, lima komunitas di Sulawesi Tengah tercatat berhasil menerima dukungan tersebut, termasuk komunitas sastra diharapkan mampu melahirkan karya berkualitas,” bebernya.
Syarifuddin menilai produktivitas penulis lokal mulai menurun dan berpotensi melemahkan daya jelajah kesastraan di daerah. Okehnya ia mengajak guru, siswa, dan komunitas untuk meningkatkan keterampilan menulis, baik dalam bentuk karya sastra maupun publikasi akademik.
“Menulis adalah keterampilan berbahasa yang harus terus diasah. Dengan kolaborasi, karya penulis Sulawesi Tengah tidak hanya dikenal di tingkat nasional, tetapi juga internasional,” tegas Syarifuddin.
Sementara koordinator Nemu Buku Neni Muhidin mengatakan, kegiatan ini dimaknai bukan sekadar pertemuan, melainkan wadah pertukaran gagasan tentang pendidikan, kota, dan identitas kultural di Sulawesi Tengah, khususnya Palu, Sigi, dan Donggala.
Neni mengatakan, forum ini setiap peserta menjadi narasumber, bukan sekadar pendengar.Olehnya perlu menghadirkan wawasan baru tentang kota Palu kerap tidak tampak di permukaan.
” Melalui esai dan tulisan, para peserta diharapkan mampu menyingkap sisi-sisi lain kota ini, sekaligus memperkuat ikatan sosial dan kultural masyarakat” katanya.
Neni menegaskan pentingnya literasi sebagai sarana kolektif untuk membangun kesadaran bersama tentang ruang hidup dan sejarah lokal.
Sejumlah pegiat literasi, penulis, dari berbagai latar belakang berkumpul dalam forum silaturahmi di Lembah Palu, wilayah yang dalam catatan arsip kolonial Belanda dikenal dengan sebutan Palu Beli atau Palu Balei. Dalam forum berlangsung setengah hari itu, peserta dibagi ke dalam dua sesi.